Fokus Pengurangan Kemiskinan
Haryono Suyono ; Mantan Menko Kesra dan Pemberantasan
Kemiskinan
|
KOMPAS,
21 November 2015
Dalam suatu paparan
menarik beberapa waktu lalu, Bappenas melihat bahwa upaya penanggulangan
kemiskinan di Indonesia belum efektif dan optimal dalam pelaksanaan program
dan kegiatannya. Hal itu antara lain disebabkan tak tepatnya sasaran, tak
adanya keterpaduan lokasi, waktu, dan lemahnya koordinasi antarprogram dan
kegiatan antara pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi dianggap belum
seluruhnya selaras. Juga diakui masih ada marjinalisasi pada penerima program
penanggulangan kemiskinan
Bappenas pun mengakui
masih ada ketimpangan pemahaman terhadap kebijakan makro dalam melihat upaya
pengentasan kemiskinan antara pusat dan daerah. Di samping itu, pada tiap
daerah terdapat kesenjangan di antara berbagai pemegang tanggung jawab
terhadap hal yang sama. Biar pun tidak seluruhnya tepat, dilihat juga oleh
Bappenas, kesadaran sebagian masyarakat dalam mengakses layanan pendidikan
serta kesehatan ibu dan anak masih rendah.
Dari segi kebijakan,
ada jurang penyerapan tenaga kerja yang belum optimal serta sistem logistik
yang kurang efisien. Sementara dari sudut akses, bagi keluarga miskin diakui
kurangnya jangkauan pelayanan dasar, rendahnya akses kredit usaha bagi
keluarga miskin, serta rendahnya pemilikan aset bagi keluarga miskin.
Akibatnya, perkembangan ekonomi di Indonesia lebih mengarah ke sektor
industri dan jasa, sementara keluarga miskin bekerja di sektor pertanian.
Sebab musabab itu yang
kiranya menyebabkan upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia selama 15
tahun terakhir boleh dikatakan gagal. Seperti ditargetkan dalam Pembangunan
Abad Millennium, kita gagal melaksanakan amanat menurunkan tingkat kemiskinan
separuh dari keadaan sebelum tahun 2000. Kalau upaya yang akan dilakukan
dalam 15 tahun mendatang tidak diperbaiki, hampir pasti target dalam era
Pembangunan yang Berkelanjutan (SDGs), yang diputuskan PBB akhir bulan lalu,
akan gagal. Lebih parah lagi, kesenjangan hampir pasti akan lebih menganga di
mana keluarga kaya melejit dan keluarga miskin akan jauh lebih sengsara.
Langkah pemerintah
Dari berbagai
pernyataan Presiden dan para menterinya, tercatat bahwa upaya pembangunan dan
pengentasan kemiskinan akan dimulai dari daerah pinggiran. Awalnya, ada
sekitar 500 desa di daerah perbatasan diberikan dukungan melalui Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi serta aparat pemerintah
di daerah. Pada tahun kedua ditingkatkan menjadi 1.000-1.500 desa dan
selanjutnya akan meningkat lebih tinggi lagi. Kementerian Sosial akan
menangani sekitar 5.000 keluarga harapan dan memberikan santunan keluarga
miskin dengan berbagai skim dan bantuan beras bagi warga miskin alias raskin.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat akan menggarap sekitar 6.000
kelurahan yang dianggap memiliki masalah kemiskinan yang parah.
Angka-angka itu boleh
dikata sangat impresif kalau kita lihat betapa sibuknya mengurus ribuan desa
dengan sasaran keluarga miskin. Belum yang digarap oleh pemerintah daerah
melalui skim yang sama impresifnya. Namun, kita juga menyimak bahwa dewasa
ini masih terdapat tidak kurang 6 juta keluarga miskin dan masih banyak lagi
yang dengan goncangan sedikit saja akan jatuh miskin.
Dilaporkan pula bahwa
terdapat sekitar 550.000 permukiman kumuh di seluruh Indonesia, sekitar
440.000 ada di Jawa dan Sumatera, bukan hanya di daerah perbatasan dan bukan
pula hanya di desa terpencil. Dari data tersebut terlihat, angka-angka
impresif yang akan dikerjakan oleh pemerintah pada tahun pertama dan tahun
kedua nanti masih sangat kecil dan perlu ditingkatkan jauh lebih besar lagi.
Ini artinya komitmen
politik yang telah disepakati pemerintah di PBB harus diterjemahkan menjadi
komitmen operasional, disertai penguatan anggaran dan personel yang secara
khusus diarahkan untuk mengawal program yang tak menunggu keluarga miskin
mengakses, tetapi program dan kegiatan yang diantarkan kepada mereka oleh
semua kekuatan pembangunan, bukan hanya oleh pemerintah.
Kalau keluarga miskin
ditunggu mengakses pelayanan yang disediakan, kesadaran untuk mengakses
kesempatan pendidikan, pelatihan keterampilan, dan modal untuk usaha tentu
akan lama sekali. Umumnya keluarga miskin ”takut” mengakses kesempatan itu
karena kemiskinan yang dideritanya menghambat tingkah laku dan membuat rasa
kaku dan tidak berani mengakses sesuatu yang dianggapnya ”mustahil”.
Pelayanan kesehatan sebagai penyangga utama tak boleh hanya ”disediakan”,
tetapi harus diantarkan kepada keluarga miskin dengan penuh kasih sayang.
Ukuran pelayanan bukan hanya kualitasnya yang luar biasa, tetapi diantar
dengan kasih sayang dan memberi dampak yang hampir langsung.
Membangun kerja sama
Dokumen yang
disepakati sebagai SDGs dengan 17 sasaran itu memuat pula anjuran untuk
membangun kerja sama antarnegara. Kiranya anjuran kerja sama antarnegara itu
juga dibaca secara nasional dan lokal, yaitu anjuran bekerja sama
antarkekuatan pembangunan yang ada pada setiap tingkat: nasional, regional
dan—utamanya—pada tingkat akar rumput.
Kemampuan pemerintah
yang luar biasa untuk merumuskan program dan cara-cara yang baik
melaksanakannya tidak dapat disaingi oleh siapa pun karena semua kekuatan
sumber daya tersedia dan kemampuan untuk mengundang siapa saja yang mampu ada
pada pemerintah. Alangkah baiknya kalau semua keputusan cara pelaksanaan
operasional yang diciptakan pemerintah itu dibagikan secara luas kepada semua
kekuatan pembangunan yang ada di akar rumput sebagai pedoman atau referensi.
Aparat pemerintah
perlu lebih terbuka dan di daerah yang tidak ada program atau kegiatan
pemerintah, aparat tingkat kabupaten/kota, kecamatan, dan desa perlu
diarahkan untuk ikut membantu atau minimal memberikan perhatian kepada
lembaga swadaya masyarakat atau kekuatan perorangan yang mengabdi memberi
perhatian dan berbagi kepada masyarakat luas. Bukan sebaliknya, karena bukan
proyek pemerintah, lalu tidak diberi perhatian atau malah dianggap tidak
menguntungkan rakyat banyak.
Jangan dilupakan bahwa
penduduk dan keluarga Indonesia umumnya tak ingin hidup dalam isolasi. Maka,
diperlukan suatu forum guna membangun kebersamaan dan solidaritas. Itulah
sebabnya kita menganjurkan pembentukan Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) di
setiap desa. Posdaya dijadikan forum silaturahim antarkeluarga guna saling berbagi
dan menolong sesama. Melalui forum ini setiap keluarga bisa saling memberi
dan menerima sehingga mereka bisa merasa tidak terkucil dalam masyarakatnya.
Proses pemberdayaan
yang dilakukan Posdaya, yang semula difokuskan pada bidang kesehatan dan
pendidikan, sudah mulai mengarah pada upaya pemberdayaan ekonomi. Kegiatan
pemberdayaan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang mandiri dan diantarkan
kepada keluarga miskin tidak mudah. Keputusan politik dan dukungan komitmen
dari pimpinan di setiap wilayah diperlukan agar pelayanan pendidikan itu
sekaligus memberi kesempatan kepada keluarga miskin untuk ikut aktif dan
mendapatkan keuntungan dengan bebasnya keluarga dari kemiskinan dan
kemungkinan kelaparan. Begitupun upaya kegiatan pemberdayaan ekonomi perlu lebih
didukung dengan fasilitasi berbagaiaparat pemerintah.
Keputusan politik PBB
bukan suatu keputusan yang mudah untuk dilaksanakan karena keluarga menengah
dan atas akan iri kalau ”kue”-nya dikurangi. Keluarga menengah dan kaya tetap
ingin mendapat kemudahan yang sama karena kemudahan dalam bidang kesehatan
dan pendidikan itu mengurangi pengeluaran yang juga mahal bagi keluarga kaya.
Bukan urut kacang
Setelah pelaksanaan
delapan target MDGs, PBB memperluas target SDGs menjadi 17 sasaran. Dalam
target ini disajikan adanya opsi baru, misalnya dalam bidang ekonomi kelautan
dan hasil laut, dalam lingkungan darat dengan segala upaya yang bisa
menyajikan kesempatan baru, dan kewaspadaan mengantisipasi perubahan musim
serta kemampuan untuk mengatur pola konsumsi yang sehat dan tidak
meninggalkan sisa. Dimasukkan juga syarat-syarat yang harus dianut oleh
aparat pemerintah yang makin peduli terhadap keluarga miskin atau keluarga
prasejahtera, serta persyaratan perdamaian dan perhatian terhadap hak-hak
asasi manusia dengan keadilan yang lebih baik.
Ke-17 sasaran itu,
menurut pengalaman sewaktu melaksanakan MDGs, bukan harus diikuti seperti
urutan antre karcis atau urut kacang: mulai nomor satu sampai 17. Namun,
harus dibaca dengan cermat bahwa nomor satu dan dua adalah target utama,
sementara target nomor tiga sampai 17 harus bersifat mendukung dua target
utama tersebut. Artinya, upaya pengentasanmasyarakat dari kemiskinan dan
bebas dari kelaparan adalahsatu-satunya target yang diakhir tahun 2030
posisinya pada setiap negara adalah nol persen: tidak ada penduduk miskin dan
tidak ada penduduk yang kelaparan.
Kedua target utama itu
harus didukung oleh bidang kesehatan dan pendidikan yang diantar kepada
penduduk miskin agar setiap penduduk makin sehat dan cerdas serta mampu
mengakses kesempatan yang tersedia, baik di darat maupun di laut, untuk maju
bekerja di bidang apa saja.
Pada masa pembangunan
berkelanjutan selama 15 tahun mendatang, pemerintah dan rakyat diingatkan
adanya kemungkinan perubahan musim sehingga waspada dan siap selalu. Secara
khusus diingatkan agar dikembangkan pola konsumsi yang wajar sehingga timbul
keseimbangan antara manusia dan lingkungan yang menjamin keberlanjutan
kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Itulah sebabnya dalam 17 target ini dimasukkan
target khusus tentang pemerintahan yang menyangkut tata kelola dan demokratis
yang mengatur keperpihakan yang mapan dan tidak bersifat eksklusif, tetapi
memastikan pelayanan yang selalu inklusif dengan keadilan yang merata
ditujukan guna memenuhi hak-hak asasi manusia.
Promis itu sangat
menarik dan disepakati dunia secara aklamasi. Promis ini bisa dijalankan
apabila kepala negara memahami dan mengetok palu komitmen yang mengajak
seluruh menteri, gubernur, bupati/wali kota, camat, dan pimpinan politik di
setiap level di negara masing-masing. Mereka ini dituntut melaksanakan
komitmen dan menerjemahkannya secara operasional, disertai tanggung jawab dan
kasih sayang yang memihak dan mau mengantarkan proses pemberdayaan bagi
keluarga miskin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar