Tribunal Rakyat Internasional:
Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (Bagian 1)
Ayu Wahyuningroem ; Kandidat Doktor, Australian National
University (ANU); Peneliti International Peoples’ Tribunal untuk Kejahatan
Berat 1965 (IPT 65)
|
INDOPROGRESS,
04 November 2015
Kemunculan dan Perjalanan Tribunal Rakyat Internasional
“May this Tribunal prevent the crime of silence”
KALIMAT di atas adalah
petikan dari pidato penutup Bertrand Russell, seorang filsuf besar dari
Inggris, ketika meresmikan War Crimes
Tribunal di London, 13 November 1966. War
Crimes Tribunal, atau Tribunal Kejahatan Perang, adalah suatu pengadilan
non Negara yang ia gagas bersama karibnya, Jean Paul-Sartre, seorang
eksistensialis kiri asal Perancis, dan rekan-rekan lain dari mulai pengacara,
aktivis gerakan mahasiswa, ilmuwan, dokter, korban perang, hingga pensiunan
tentara Amerika.
Tribunal ini murni
merupakan inisiatif masyarakat sipil dari beberapa Negara, dan dilakukan
untuk menuntut pertanggung jawaban Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk
Inggris, Australia, dan Korea, atas perang di Vietnam. Tribunal ini, yang
kemudian dikenal dengan Russell’s Tribunal, lantas menginspirasi kemunculan
tribunal rakyat di level internasional (biasa disebut International People’s Tribunal) terhadap beragam kasus-kasus
kejahatan serius, termasuk kejahatan perang, agresi, genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan di banyak Negara di dunia, termasuk yang berkaitan
dengan Indonesia.
Hingga saat ini, lebih
dari delapan puluh tribunal rakyat internasional, atau beberapa menggunakan
istilah pengadilan warga internasional (International
Citizen’s Tribunal) sudah diselenggarakan, baik yang bersifat permanen
seperti Permanent People’s Tribunal
yang berbasis di Roma, ataupun yang ad
hoc berdasarkan kasus-kasus tertentu.
Apa dan bagaimana
sebetulnya Tribunal Rakyat Internasional, dan apa kontribusinya terhadap
rejim HAM internasional serta narasi besar tentang keadilan? Apa relevansinya
terhadap upaya memutus impunitas di Indonesia? Apa pula prospek dan
kontribusinya terhadap penguatan gerakan masyarakat sipil dan wacana
penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat d Indonesia? Hal-hal ini akan
menjadi bahasan utama dalam tulisan singkat ini.
Saya akan membagi
tulisan ini dalam dua bagian. Tulisan bagian pertama akan mencakup pertanyaan
yang pertama, sedangkan tulisan bagian kedua membahas dua pertanyaan lainnya.
Masing-masing tulisan akan saya tutup dengan sebuah kesimpulan.
Tribunal Rakyat Internasional: Kritik terhadap Sistem dan
Politik Hukum Internasional
Salah satu kejahatan
yang seringkali diamini banyak orang dan banyak Negara, adalah kejahatan yang
diistilahkan oleh Russell sebagai crime
of silence, atau kejahatan atas kebungkaman terhadap kasus-kasus
pelanggaran HAM berat. Jenis kejahatan ini tidak diatur dalam instrumen hukum
baik nasional maupun internasional, tapi pembungkaman dan kebungkaman umumnya
selalu menjustifikasi kekuasaan Negara yang sewenang-wenang dan berujung pada
impunitas. Seringkali upaya masyarakat sipil yang oposan terhadap rezim
penguasa menemui jalan buntu. Tidak saja perangkat hukum dan alat politik
yang ada tidak cukup efektif sebagai senjata perlawanan, tapi juga perangkat
dan ruang yang ada umumnya dikooptasi oleh rezim penguasa untuk melanggengkan
impunitas.
Sasaran perlawanan
lantas dialihkan di ruang internasional, dimana perangkat hukum pidana
internasional sudah dibentuk dan sudah ada preseden untuk meminta
pertanggungjawaban Negara yang telah melanggar hak-hak dasar warganya atau
warga negara lain. Sayangnya, di tingkatan internasional pun seringkali tidak
efektif membantu perlawanan kelompok oposisi untuk membela keadilan bagi
mereka yang ditindas. Sistem hukum pidana internasional mendapat banyak
kritikan dari kelompok legalis kritis, realis, poskolonial, dan juga kelompok
kiri, terutama dalam kaitannya dengan politik dan kepentingan ekonomi
negara-negara tertentu serta keterbatasan implementasinya di tingkatan
praksis. Karl Marx, misalnya, termasuk yang memberikan warisan kritik atas
institusi hukum borjuis yang menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas.[1]
Dari sini, Samuel Moyn (2012) mengkritik asas ‘netralitas’ yang diumbar oleh
sistem hukum pidana internasional yang pada prakteknya tidak lebih sebagai
kamuflase untuk memberi jalan bagi liberalisme untuk menghancurkan perjuangan
sosialis dan anti-kolonialisme. Kelompok poskolonial juga melihat ketidak
seimbangan kekuasaan antara negara-negara bekas penjajah dan negara-negara
yang baru merdeka, yang umumnya adalah negara miskin dan powerless, sehingga sistem hukum internasional malah justru
melanggengkan kolonialisme dalam bentuk baru.
Hal ini juga disadari
Russell dan kawan-kawan ketika menggagas War
Crimes Tribunal.[2] Amerika Serikat dan sekutunya tidak pernah digugat
atas kejahatan perang yang mereka lakukan terhadap Vietnam, negara yang baru
merdeka, di tahun 1960-an. Kondisi ini bertolak seratus delapan puluh derajat
dari komitmen negara-negara “Barat” dalam hal kejahatan berat yang dilakukan
oleh Nazi. Pengadilan Nuremberg digelar khusus untuk mengadili Jerman Timur,
dalam hal ini Nazi, atas kejahatan genosida terhadap bangsa Yahudi. Berkaca
pada Nuremberg Tribunal tersebut, tribunal yang banyak dikritik sebagai
pengadilan sang pemenang atas mereka yang jadi pecundang, Russel dan
kawan-kawan menggagas sebuah cermin baru untuk masyarakat dunia berkaca pada
kejahatan perang yang sesungguhnya. Sebagaimana disampaikan Sartre dalam
salah satu sesi tribunal:
You know the truth: in the last twenty years, the great
historical act has been the struggle of the underdeveloped nations for their
freedom. The colonial empires have crumbled, and in their place independent
nations have grown or have reclaimed ancient and traditional independence
which had been eliminated by colonialism. All this has happened in suffering,
sweat and blood. A tribunal such as that of Nuremberg has become a permanent
necessity. I have already said that, before the Nazi trials, war was lawless.
The Nuremberg Tribunal, an ambiguous reality, was created from the highest
legal principles no doubt but, at the same time, it created a precedent, the
embryo of a tradition. Nobody can go back, stop what has already existed,
nor, when a small and poor country is the object of aggression, prevent one
from thinking back to those trials and saying to oneself: it is this very
same thing that was condemned then. In this way, the hasty and incomplete
measures taken and then abandoned by the Allies in 1945 have created a real
gap in international affairs. We sadly lack an organization which has been
created and affirmed in its permanency and universality and which has
irreversibly defined its rights and duties. It is a gap which must be filled
and yet which no one will fill.[3]
Kalimat terakhir
merupakan benang merah dari beragam inisiatif pelaksanaan TRI. Sebuah TRI
berperan dalam mengisi kekosongan hukum yang diciptakan oleh negara-negara
besar yang kemudian ditinggalkan ketika kejahatan justru dilakukan oleh
negara-negara ini terhadap negara kecil. Kekosongan yang sama yang juga
ditinggalkan oleh rezim-rezim penguasa di sebuah Negara yang dengan
sewenang-wenang melakukan kejahatan berat terhadap warga negaranya sendiri,
atau terhadap warga negara lain. Tribunal ini menegaskan pentingnya keadilan
formal, dan bahwa keadilan adalah juga suatu hak dan kewajiban bagi
masyarakat dunia, tidak hanya terbatas pada otoritas resmi negara atau
pemerintah, untuk mewujudkannya.
Tentu saja, sebuah TRI
tidak bisa menggantikan formalitas hukum yang hanya mampu disahkan atau
dimandatkan kepada Negara. Ini juga kritik utama yang sering ditujukan pada
model tribunal masyarakat sipil yang demikian. TRI dinilai tidak memiliki
basis formal dalam sistem dan mekanisme resmi yang didukung oleh
negara-negara, sehingga tidak mampu mengimplementasikan putusan-putusan yang
dibuatnya dalam perangkat hukum yang ada.[4] Meski begitu, TRI punya tiga
peran penting: secara prinsip, teori, dan politik.
Secara prinsip, TRI
mengadopsi prinsip-prinsip dan mekansime internasional dengan keluaran yang
seringkali berbeda dari mekanisme resmi Negara atau lembaga antar-negara yang
juga mengadopsi prinsip yang sama. Argumentasi dan putusan didasarkan
pemeriksaan terhadap bukti-bukti primer dan sekunder yang didapatkan dari
investigasi dan riset yang ketat, serta public
hearing atau kesaksian publik yang juga melibatkan saksi-saksi baik
pelaku maupun korban. Karena berjarak dengan kepentingan rezim penguasa, dan
umumnya mandat didapat dari korban-korban kekerasan, maka hasil dari proses
eksaminasi atau pemeriksaan ini lebih mencerminkan prinsip-prinsip keadilan
yang dianutnya.
Pemihakan terhadap
korban berarti juga merupakan peran teoretis yang difungsikan oleh tribunal,
yakni melawan asumsi bahwa Negara melalui representasinya bebas bias dan
adil. Pada kenyataannya, senada dengan kritikan Marx, institusi dan sistem
hukum seringkali ikut berperan dalam menindas kelompok atau negara tertentu.
TRI menegaskan bahwa keadilan sesungguhnya juga merupakan relasi perjuangan
atas kekuasaan, dan karenanya hukum perlu memihak pada mereka yang ditindas
oleh kekuasaan yang sewenang-wenang. TRI juga membongkar berbagai kelemahan
dan keterbatasan dalam sistem hukum yang ada, dan menunjukkan dengan gamblang
impunitas yang terjadi lewat upaya-upaya pembungkaman oleh negara. Dengan
begitu, TRI mempertanyakan sumber legitimasi dan kepemilikan atas norma-norma
hukum internasional dengan menunjukkan berbagai kesenjangan atau kekosongan
keadilan yang ada.
Secara politik, peran
terbesar TRI adalah membuka ruang artikulasi sekaligus mengesahkan klaim dan
pengalaman mereka yang ditindas di saat ruang-ruang resmi negara telah
tertutup semua. Tidak saja ruang ini memberi jalan bagi mereka yang ditindas
di dalam negeri, tapi juga mereka yang di luar negeri dan bahkan masyarakat
dunia ikut mengakuinya.[5] Karena ruang lingkupnya dan penglibatannya yang
mendunia, TRI merupakan sebuah gerakan transnasional atau lintas negara yang
menggalang dukungan dan kesadaran masyarakat dunia atas kejahatan-kejahatan
serius yang dilakukan oleh pemerintah atau Negara, sekaligus mengingatkan
perlunya memori bersama untuk mencegah keberulangan di tempat dan masa yang
lain. Dalam prinsip demokrasi, penguasa tetap harus mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada rakyat yang memilihnya, dan rakyat inilah yang menjadi
anggota masyarakat dunia yang bisa menekan pemerintahnya untuk menghadirkan
keadilan. Negara, lewat mekanisme yang resmi, bisa saja mengabaikan sebuah
kejahatan dan menegaskan impunitas. Namun, masyarakat sipil internasional
dapat memobilisasi gerakan yang luas untuk menolak pembungkaman oleh negara
terhadap sebuah ketidak adilan.
Russell Tribunal atas
kejahatan perang di Vietnam, terlepas dari berbagai kritik yang menyertainya,
adalah salah satu contoh sukses gerakan transnasional lewat mekanisme
tribunal non resmi ini. Tribunal ini adalah yang pertama kali di dunia yang
menegaskan bahwa Vietnam adalah satu negara, bukan dua, yang baru merdeka,
dan menjadi obyek ekspansi imperialisme Amerika Serikat. Kedua, Amerika
Serikat, dibantu oleh Australia, New Zealand, dan Korea Selatan menyerang
bukan hanya Vietnam, tapi juga Kamboja dan Laos. Dalam serangan ini, negara
tetangga seperti Thailand, Filipina dan Jepang juga complicit terhadap
serangan brutal Amerika dan sekutunya. Sesi-sesi tribunal dilakukan di
beberapa negara, dan mengumpulkan dukungan dari berbagai lapisan. Respon
dunia dari tribunal ini adalah pengakuan atas invasi Amerika dan sekutunya,
dan dukungan luas untuk pembebasan Vietnam dan mengakhiri perang di Asia
Tenggara. Kesuksesan tribunal ini dilanjutkan dengan Russel Tribunal kedua yang
diadakan untuk memeriksa dan memberi putusan terhadap kasus pelanggaran HAM
berat di Amerika Latin oleh rejim dikatator militer.
Contoh yang lain
adalah tribunal rakyat atas pendudukan Palestina oleh Israel. Didukung
sepenuhnya oleh Bertrand Russell Foundation, tribunal yang dikenal dengan Russell Tribunal for Palestine
(disingkat RToP) ini diselenggarakan untuk menginvestigasi pelanggaran hukum
internasional yang mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Palestina dan
menghalangi hak mereka untuk menentukan nasib sendiri (self determination). Tribunal ini melibatkan seratus enampuluh
nama-nama besar di berbagai dunia, mulai dari musisi, artis, peraih nobel,
ilmuwan, mantan petinggi PBB, hingga mantan kepala negara, dan juga ratusan
lembaga serta organisasi yang mendukung perdamaian dan penyelesaian masalah
Palestina. Termasuk juga yang terlibat adalah Carmel Budiarjo, seorang mantan
tahanan politik 1965 di Indonesia yang kemudian mendirikan organisasi Tapol
di London. Dalam situs RToP disebutkan:
This Tribunal has been named the Russell Tribunal on Palestine.
It will reaffirm the supremacy of international law as the basis for a
solution to the Israeli Palestinian conflict. It will identify all the
failings in the implementation of this right and will condemn all the parties
responsible for these failings, in full view of international public opinion.[6]
Kemampuan RToP
memobilisir dukungan terhadap penyelesaian masalah Palestina mendesak
pengakuan dunia dan PBB atas kejahatan serius yang terjadi di Palestina, sekaligus
menolak pembungkaman yang dilakukan oleh negara-negara besar termasuk juga
PBB. RToP, dalam putusan akhirnya, menegaskan terbuktinya kejahatan perang,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan hasutan ke arah genosida. Meskipun RToP
tidak secara eksplisit menyebutkan genosida dalam tuntutannya, namun RToP
berpendapat bahwa genosida dapat terjadi karena impunitas terus dibiarkan di
tengah kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dan adanya hasutan
langsung ke arah genosida.[7] Israel dan beberapa negara pendukungnya dinilai
mengabaikan hukum internasional, dan PBB serta negara-negara di dunia diminta
bersikap untuk aksi-aksi illegal yang dilakukan Israel dalam okupasinya di
Palestina. Putusan RToP ini adalah pengakuan internasional pertama yang resmi,
mengadopsi hukum internasional yang tidak pernah dilakukan oleh negara-negara
dan PBB sebelumnya. Pengakuan ini menjadi rujukan resmi dan advokasi jangka
panjang untuk penyelesaian masalah Palestina.
Selain RToP, Russell
Tribunal juga menginspirasi berbagai tribunal lain. Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) adalah salah satunya. Berbeda
dengan RToP atau beberapa tribunal lain yang sifatnya per kasus (ad hoc), PPT dibentuk berdasarkan
pertimbangan perlunya sebuah mekanisme tribunal masyarakat sipil yang berkelanjutan,
yang dapat terus menerus mengakomodir kebutuhan akan keadilan yang terus
dibungkam atau tidak mampu dihadirkan oleh negara lewat mekanisme resminya.
PPT dibentuk tahun 1979 dan berbasis di Roma, Italia, diinisiasi awalanya
oleh pengacara dan senator Italia Lelio Basso dan didukung oleh sejumlah
tokoh masyarakat sipil di beberapa negara. PPT mendasarkan dirinya pada
Dekalarasi Universal Hak-hak Rakyat (Universal
Declaration of the Rights of the Peoples, atau dikenal juga dengan
Deklarasi Aljir) dan Kesimpulan Russel Tribunal Kedua tentang Amerika Latin.
Hingga hari ini, tidak kurang dari tiga puluh Sembilan kasus sudah digelar
oleh PPT di berbagai negara.[8] PPT memeriksa berbagai complain atas dugaan
pelanggaran HAM yang diajukan oleh beragam komunitas yang terkena dampak
pelanggaran tersebut. Sama seperti TRI lainnya, PPT juga menggunakan format
pengadilan formal yang ketat, dan mengeluarkan putusan. Beberapa kasus besar
yang selama ini dibungkam oleh negara-egara lewat pemerintah dan institusinya,
antara lain kasus genosida Armenia, dan intervensi Amerika di Nikaragua dan
Amazon.
Kesimpulan
Sejarah mencatat,
hanya sedikit saja kasus-kasus kejahatan oleh Negara yang bisa diadili dalam
sistem hukum internasional yang ada saat ini. Dengan kata lain, hukum
internasional dan domestik tidak selalu dapat memberikan keadilan karena
memiliki berbagai keterbatasan dan selalu beririsan dengan kepentingan
politik dan ekonomi tertentu. Hukum kemudian menjadi milik penguasa, dan
memapankan impunitas serta membuat sebuah kejahatan pembungkaman terhadap
ketidak adilan dan penindasan.
TRI menjadi sebuah ide
yang dikongkritkan atas pertimbangan kekosongan dan kesenjangan hukum, antara
yang normatif dan yang riil. TRI adalah keresahan masyarakat sipil yang
muncul dari ambiguitas negara-negara terhadap keadilan. Atas dasar keresahan
inilah pilihan TRI mengadopsi sepenuhnya hukum-hukum dan norma yang ada untuk
menjadikannya sebuah cermin lain keadilan, yakni keadilan yang memihak pada
korban dan kelompok yang tertindas.
TRI, meskipun tidak
mendapatkan legitimasi formal dari negara, namun memiliki dampak penting
secara teori, prinsip dan politik. TRI tidak saja memberikan ruang bagi
korban untuk mereklamasi tuntutannya, tapi juga mampu memberi fondasi dan
pengakuan internasional terhadap sebuah kejahatan berat, dan memobilisir
solidaritas dunia untuk menekan negara-negara menunaikan tanggung jawab
bersama untuk menegakkan HAM dan keadilan. TRI adalah suatu terobosan yang
mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip hukum, namun tetap mengedepankan
kebutuhan untuk kebenaran, pemulihan untuk korban serta reformasi institusi
untuk jaminan ketidak berulangan di masa depan.
Tulisan berikutnya,
sebagaimana saya sampaikan di bagian awal, akan membahas beberapa TRI yang
sudah dilaksanakan terkait dengan Indonesia, dan prospek serta tantangannya
untuk dilakukan kembali sebagai inisiatif penyelesaian pelanggaran HAM berat
di tanah air. ●
|
[1] Lihat Karl
Marx, The Rights of Man and Citizen in “On the Jewish Question”, pertama kali diterbitkan
tahun 1844.
[2] War Crimes
Tribunal yang digagas Russell dan kawan-kawan ini, menurut beberapa peneliti,
bukanlah inisiatif tribunal masyarakat sipil yang pertama. Hanya saja, dimensi
internasional, dengan pelibatan dari berbagai kalangan di beberapa negara dan
penyelenggaraan serta cakupannya yang menduinia, membuat tribunal ini menjadi
tribunal internasional pertama yang selanjutnya menginspirasi kmunculan banyak
tribunal rakyat internasional lainnya. Lihat diskusinya di Arthur Klinghoffer dan
Judith Apter Klinghoffer, International Citizens’ Tribunal: Mobilizing Public
Opiniion to Advance Human Rights, Palgrave, 2002.
[3] Peter Limqueco
and Peter Weiss (ed), Prevent the Crime of Silence, Reports from the Sessions
of International War Crimes Tribunal Funded By Bertrand Russell, 1971
[4] Simm, Gabrielle
dan Andrew Byrnes, “International Peoples’ Tribunal in Asia: Political Theatre,
Juridical Farce, or Meaningful Intervention?”, dalam Asian Journal of
International Law, September 2015, hal. 2
[5] Byrnes, Andrew
dan Gabrielle Simm, “Peoples’ Tribunals, International Law and the Use of
Force”, dalam University of New South Wales Law journal, 28, 2013, hal. 18
[6]
http://www.russelltribunalonpalestine.com/en/about-rtop
[7] ibid
[8] Lihat websitenya
http://www.fondazionebasso.it/2015/introduction?lang=en
Tidak ada komentar:
Posting Komentar