Paradigma Baru dalam APBN 2016
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat (2010-2014);
Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
|
KORAN
SINDO, 19 November 2015
Melalui lobi yang
alot, 30 Oktober lalu, DPR RI akhirnya mengesahkan APBN 2016. Volume APBN
mencapai Rp2.095,7 triliun.
DPR dan pemerintah
menyepakati asumsi makro: pertumbuhan ekonomi 5,3%, inflasi 4,7%, nilai tukar
Rp13.900 per dolar, suku bunga SPN 3 bulan 5,5%, harga minyak USD50 per
barel, lifting minyak 830.000 barel per hari, dan lifting gas 1,15 juta barel
setara minyak. Memang APBN 2016 masih menyisakan persoalan yaitu dibekukannya
pos penyertaan modal negara (PMN) pada sejumlah BUMN sebesar Rp40,42 triliun.
Namun, APBN pertama
kali kreasi Jokowi-JK ini menghadirkan paradigma baru. Apa itu? Yakni,
diadopsinya target-target pembangunan. Ada empat target: rasio gini 0,39;
pengangguran 5,2%-5,5% dari populasi; kemiskinan 9%- 10%; dan indeks pembangunan
manusia (IPM) 70,1. Ini merupakan sejarah baru. Sejak Indonesia merdeka,
inilah pertama kali ukuran-ukuran kesejahteraan ini diadopsi dalam anggaran
negara.
Selama bertahun-tahun,
pelbagai indikator makro dipakai mengukur kinerja pemerintah dan hasil-hasil
pembangunan. Pemerintah tampak ”alergi” saat PDIP pada 2012 mengusulkan
pengangguran dan kemiskinan jadi indikator APBN. Saat itu PDIP beralasan,
indikator itu untuk menentukan realisasi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat.
Selama ini pertumbuhan
ekonomi tinggi, tapi ukuran rakyat sejahtera apa? Siapa yang menikmati
pertumbuhan itu? Saat ekonomi dunia loyo, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap
tinggi. Tetapi, pertumbuhan itu hanya didorong oleh sektor modern atau
nontradable seperti sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan
komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran.
Pada 2014 pertumbuhan
sektor ini cukup tinggi, melampaui ratarata pertumbuhan ekonomi nasional
(5,02%). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur)
hanya tumbuh rendah, jauh di bawah rata-rata. Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable memiliki implikasi serius karena terkait pembagian
kue dan surplus ekonomi.
Sektor non-tradable bersifat padat modal,
teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable
padat tenaga kerja. Karena sifatnya itu, penyerapan tenaga kerja sektor
non-tradable lebih kecil dari sektor tradable . Ini tak hanya berimplikasi
pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah, tapi juga menyentuh dimensi
kesejahteraan: tumbuh, tapi tidak (semuanya) sejahtera.
Kontribusi sektor
pertanian di PDB nasional pada 2014 hanya 14%. Padahal, sektor ini masih
menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian
involutif, yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Per Maret
2015 jumlah penduduk miskin 28,59 juta orang (11,22%), bertambah 0,86 juta
orang dalam enam bulan.
Per Agustus 2014
pengangguran mencapai 5,94%. Ini memunculkan disparitas pendapatan antarpenduduk.
Kesenjangan kian melebar seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin
makin miskin. Ini terlihat dari kenaikan gini rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi
0,413 pada 2013 (makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh
pembangunan dilakukan pada 1966, ini pertama kalinya gini rasio Indonesia
masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah).
Pembangunan hanya
dinikmati sekelompok kelas ekonomi. Artinya, bila kemiskinan absolut menurun,
kemiskinan relatif meningkat. Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit
kesejahteraan. Ini kelemahan mengukur pembangunan yang lebih banyak terpaku
pada pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan bruto kotor/PDB).
Hidup bukan hanya soal
uang, tetapi juga soal kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan,
lingkungan, kontinuitas masa depan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan
banyak hal lagi. Ini semua tidak bisa dicakup oleh PDB, perlu indikator lain.
PDB adalah indeks tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara,
hitungan hasil produksi (barang dan jasa) pabrik, panen petani, penjualan
ritel, dan belanja konstruksi. Hitungan dilakukan dalam rentang tertentu.
Angka ini berfungsi
memadatkan luasnya perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas
luar biasa. Anggapan umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga.
Padahal, tidak demikian. PDB mencatat produksi barang dan jasa di suatu
negara, tak peduli siapa yang membuat.
Misalnya, perusahaan
asing berinvestasi di Indonesia mengeduk minyak, emas, dan batu bara, semua
kekayaan mineral yang diangkat dari bumi Indonesia adalah PDB Indonesia.
Semua mineral itu milik investor asing. Pemerintah Indonesia kebagian pajak
dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan para buruh Indonesia,
tetapi gajinya rendah.
Bagian terbesar dari
hasil itu milik investor asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB
Indonesia. Jika barangnya diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia
meningkat. Padahal, milik asing. Ada banyak ketidakpuasan atas pengukuran
tunggal itu. Pada 24 Mei 2011,Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan
(OECD) yang amat bergengsi itu mendeklarasikan Indeks Kebahagiaan (Your
Better Life Index ), indeks pengganti PDB.
Sejak didirikan 1961,
OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama keberhasilan
perekonomian dan sosial. Pertumbuhan pendapatan nasional boleh tinggi, tapi
apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman?
Itu salah satu alasan OECD kini memakai 11 indikator untuk mengukur kemajuan
perekonomian: mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat,
pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan,
serta keseimbangan pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).
Jauh sebelum itu,
Bhutan, sebuah negara kecil di pegunungan Himalaya, sejak 1972 telah
memperkenalkan indeks kebahagiaan nasional (gross national happiness), bukan
indeks pendapatan nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 juga
telah menciptakan alternatif pengukuran pembangunan: Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Index /HDI).
Ini merupakan
kombinasi dari pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Tiap tahun PBB mengukur
pembangunan di berbagai negara dengan indeks ini. Tapi, PBB tak dapat
memaksakan semua negara melaksanakan konsep ini. Hampir semua negara,
termasuk Indonesia, memakai HDI dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan.
Namun, HDI masih
dilihat hanya dipakai sebagai catatan pelengkap dalam melihat keberhasilan
pembangunan. Baru kali ini HDI jadi ukuran hasil pembangunan. Kini juga kian
banyak ekonom di dunia yang kecewa pada pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur
utama pembangunan ekonomi.
Para ekonom dunia
seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paui Fitoussi pada 2009
menghasilkan laporan yang menyarankan alternatif pengukuran pembangunan
ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, PDB bukan hanya gagal
menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat, tapi juga melencengkan tujuan
politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi semata.
PDB tidak memadai
untuk mengukur tingkat kesejahteraan dari waktu ke waktu, terutama berkaitan
dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. PDB adalah ukuran produksi pasar,
tapi kerap diperlakukan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi (Stiglitz, Sen,
dan Fitoussi, 2009). Indikator PDB yang hanya melihat sisi produksi. PDB
merupakan pengukuran jangka pendek.
Mungkin suatu saat
pendapatan tinggi, tetapi tidak berkelanjutan (Ananta, 2012). Karena itu,
perlu mengukur kekayaan suatu negara, bukan sekadar pendapatan. Indonesia
misalnya, ekonomi tumbuh tinggi. Ini diperoleh dari obral sumber daya alam
dengan cara ”keduk, keruk, dan tebang”. Investasi asing dan pertumbuhan
meningkat luar biasa.
Sialnya, suatu saat
sumber daya alam habis dan masyarakat di negara itu tidak dapat lagi
menikmati sumber daya alam yang berlimpah karena telah habis tandas. Kita
berharap, adopsi indikator kesejahteraan dalam APBN 2016 bisa mengubah
orientasi dalam menilai hasil pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar