Dunia yang Terkoyak
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 27 November 2015
Ketika saya menelusuri
beberapa negara Eropa, baik Eropa Barat maupun Eropa Timur, melalui jalan
darat (2014 dan 2015), ingatan saya melayang saat jalan-jalan ke Timur
Tengah. Situasinya sangat berbeda. Kita cukup memiliki visa satu negara Eropa
yang tergabung dalam Schengen, kecuali Inggris, kalau mau jalan-jalan. Bus
dengan leluasa keluar-masuk tanpa pemeriksaan paspor. Ini sangat berbeda
dengan pengalaman saya ketika tahun 1986 ke Arab Saudi dengan bus berangkat
dari Turki.
Sedikitnya ini saya
lakukan tiga kali ketika saya kuliah di Turki (1985-1990), yaitu untuk
beribadah haji dan kerja musiman di KBRI. Begitu masuk wilayah Suriah,
petugas keamanan memeriksa paspor semua penumpang dengan gayanya yang sok
wibawa. Namun sopir sudah paham, ujung-ujungnya minta uang dan makanan khas
Turki yang sudah disiapkan sopir.
Begitu pun ketika
kendaraan masuk perbatasan Yordania dan Arab Saudi, peristiwa serupa terjadi.
Kesimpulannya, mereka tidak punya tradisi melayani tamu yang datang agar tamu
memiliki kenangan indah dan simpatik. Di sepanjang jalan pun kita sulit
menemukan WC yang bersih. Apakah simpulan saya ini bersifat subjektif dan
tidak fair, silakan bandingkan dengan pengalaman Anda sendiri ketika
berurusan dengan petugas imigrasi negaranegara Timur Tengah, misalnya sewaktu
ibadah umrah atau haji.
Kini situasinya
semakin buruk. Ketika berkunjung ke Yerusalem, situasinya berbeda lagi. Di
sana-sini terlihat tentara Israel bersenjata lengkap layaknya mau perang.
Padahal sejak kecil saya diceramahi bahwa kota itu merupakan home base
penyebaran agama Yahudi yang dibawa Nabi Musa dan agama Nasrani yang dibawa
Nabi Isa, juga tempat Nabi Muhammad melakukan isra’ dan mi’raj.
Tapi yang kita tahu
wilayah ini justru menjadi medan konflik dan perang yang dampak negatifnya
dirasakan seluruh penduduk bumi. Bagi mereka yang menelusuri wilayah Arab
dengan jalan darat, dibutuhkan bekal kesabaran tinggi.
Di daratan Afrika juga
mirip kondisinya. Batas antarnegara yang merupakan gurun pasir tidak jelas
dan tidak permanen memisahkan antarnegara sehingga potensial memancing
konflik. Belum lagi konflik
politik dan ideologi antarmereka. Sudan, Nigeria, Aljazair, Libya, dan
beberapa negara lain tak sepi dari konflik.
Meski perjalanan ke negara-
negara Eropa cukup lancar dan menyenangkan, semua pemandu wisata Indonesia
selalu mengingatkan, hati-hati dengan copet yang beroperasi dengan sangat
canggih. Penampilan perlente, sangat di luar dugaan bagi turis Indonesia yang
mudah tertarik pada penampilan luar. Turis Asia saat ini
jadi sasaran empuk bagi copet karena lebih senang membawa uang tunai dalam
jumlah besar, bukannya mengandalkan kartu kredit. Jumlah turis China bisa
mencapai 100 juta dalam setahun. Turis Indonesia pun ikut naik citranya di
Eropa. Dianggap negara kaya. Sasaran empuk bagi copet dan penipuan.
Meminjam istilah JJ
Rousseau, sejak manusia mengenal ungkapan ceci est a moi, ini milikku, this
is mine, sumber kekayaan alam lalu jadi objek perebutan. Maka bumi pun
dikaveling-kaveling. Pada awalnya mungkin saja kepemilikan itu berdasarkan
hubungan darah dan warna kulit yang telah lama mendiami sebuah wilayah.
Tapi lama-lama
perebutan dan pengavelingan itu atas nama bangsa dan negara yang ditopang
senjata dengan motif akumulasi materi dan kekuasaan politik. Tidak hanya bumi,
lautan dan udara pun dikaveling-kaveling. Dalam drama perkelahian antara
Kabil dan Habil, nafsu kepemilikan ini dibumbui kedengkian dan kecemburuan
seperti dalam kisah Alquran.
Akhir-akhir ini bahkan
ditambah lagi dengan klaim atas nama Tuhan oleh sekelompok gerakan keagamaan
yang mengusung nama tentara dan wakil Tuhan di muka bumi. Tak ada kepemilikan
sejati kecuali semua ini milik Tuhan. Jadi merekalah yang punya hak, di luar
mereka adalah kafir, perampok yang halal darahnya. Memang benar dikatakan bahwa
damai itu merupakan dambaan fitri setiap manusia.
Namun kenyataannya
sejarah manusia tak pernah sepi dari bahasa kebencian yang mengarah pada
konflik dan perang. Langit canopy senantiasa terkoyak oleh perang simbolik,
sementara perang fisik juga terjadi di mana-mana. Pakistan pisah dari India
dengan kemarahan.
Menyusul kemudian
Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan. Ketegangan antara Pemerintah Korea
Utara dan Korea Selatan masih berlangsung sekalipun warganya rindu untuk
rekonsiliasi. Sisa-sisa kemarahan pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia juga
masih jauh dari redam. Kadang kala apa yang disebut negara memang tak ubahnya
penjara. Biangnya para elite penguasanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar