Kontroversi Ujaran Kebencian
Widati Wulandari ; Pengajar Mata Kuliah Hukum Pidana dan Hak
Asasi Manusia pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung;
Sedang Mengikuti Program Doktor
dengan Disertasi mengenai Hate Crimes
|
KOMPAS,
21 November 2015
Menarik mencermati
bagaimana satu surat edaran Kepala Kepolisian Negara RI awal November 2015
menimbulkan banyak perdebatan. Padahal, surat edaran (circular letter) ini merupakan media komunikasi internal di
lingkungan kepolisian dan sejatinya dimaknai, sekalipun dibahasakan sebagai
pedoman, lebih sebagai instruksi komandan kepada bawahan (jajaran
kepolisian). Apa sebenarnya yang diributkan?
Tulisan singkat ini
tidak akan mengomentari surat edaran tersebut, tetapi akan mencoba mengurai
benang kusut kesalahpahaman banyak orang tentang konsep ujaran kebencian (hate speech) yang dipopulerkan oleh
surat edaran di atas. Sebagai tambahan akan juga diuraikan berkaitan antara
ujaran kebencian dan kejahatan kebencian (hate
crimes), satu hal yang tidak atau jarang diangkat ke permukaan oleh media
di Indonesia.
Kekhawatiran
masyarakat ialah bahwa larangan mengekspresikan kebencian (lisan/tulisan)
dipersamakan begitu saja dengan ujaran yang mengungkap ketidaksukaan atau
kritikan kepada pemerintah, lembaga atau instansi pemerintah, kelompok orang
atau perseorangan.Kekhawatiran yang dapat dimengerti karena ujaran kebencian
dalam surat edaran Kepala Polri di atas disebut bersamaan dengan pasal-pasal
penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, bahkan perbuatan tidak
menyenangkan. Teramati pula adanya kekhawatiran bahwa pasal-pasal tersebut
akan digunakan untuk mengesampingkan hak asasi: kebebasan berbicara,
berpendapat, atau lebih tepatnya kebebasan warga untuk mengajukan kritik.
Kekhawatiran yang
wajar mengingat kasus Prita Mulyasari beberapa tahun silam yang membawanya ke
hadapan pengadilan. Bahkan, sejumlah pejabat lembaga negara (Komisi Yudisial
atau Kompolnas) berurusan dengan polisi karena pernyataan mereka dianggap
tidak menyenangkan oleh pihak yang dikritik.
Ujaran kebencian vs kejahatan kebencian
Apakah betul ujaran
kebencian dapat dipersamakan begitu saja dengan perbuatan menghina,
mencemarkan nama baik, menista, atau perbuatan tidak menyenangkan pada setiap
orang, bahkan kritikan yang diajukan warga negara atau pejabat negara
terhadap kinerja pejabat pemerintah atau wakil-wakil rakyat?
Sebenarnya, ujaran
kebencian sudah diatur dan diancam dengan sanksi pidana dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No
40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU Informasi dan
Transaksi Elektronik merumuskan ujaran kebencian sebagai perbuatan
”menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Apa yang dituju adalah
perbuatan menyebarkan informasi yang dilandaskan motivasi atau intensi (niat
atau maksud dan kesengajaan) untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
pada kelompok masyarakat yang berbeda suku, agama, ras dan golongan.
Sementara itu, UU
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis mengancam perbuatan ”dengan sengaja
menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi
ras dan etnis”. Kata ”menunjukkan” merujuk pada perbuatan mengekspresikan
kebencian—dengan ragam cara—yang selanjutnya harus dimaknai dalam konteks
munculnya ajakan atau hasutan membenci kelompok berbeda. Kebencian itu dapat
berujung pada dilakukannya kejahatan lain (perusakan, pembunuhan,
penganiayaan, pemerkosaan, atau lainnya).
Perbuatan kedua itu
dikategorikan sebagai kejahatan berbasiskan kebencian. Korban kejahatan ini
adalah mereka (individu atau kelompok masyarakat) yang karena perbedaan suku,
etnis, ras, dan agama menjadi sasaran kejahatan.
Alasan (ratio legis)
negara melarang ujaran kebencian adalah melindungi mereka yang berbeda (suku,
agama, ras, jender, atau orientasi seksual tertentu, serta difabilitas) dari
potensi menjadi sasaran kekerasan atau tindak pidana lain yang berbasiskan
kebencian. Negara wajib mencegah (melalui hukum pidana) muncul dan
berkembangnya ekspresi kebencian yang dapat berujung pada
ajakan/propaganda/hasutan untuk melakukan kekerasan atau perbuatan pidana
lainnya (perusakan, pembakaran, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, dan
lain-lain) terhadap orang perorang atau kelompok orang (golongan dalam
masyarakat) yang semata-mata berbeda dari kelompok lain.
Sasaran ketentuan
pidana ini bukanlah perbuatan mengajukan kritikan—yang tidak serta-merta
dapat dipersamakan begitu saja dengan kebencian—yang ditujukan kepada siapa
pun (individu ataupun kelompok orang atau pemerintah). Kritikan wajar yang
diajukan warga negara biasa bahkan pejabat negara atau wakil rakyat tidak
serta-merta dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Beda pendapat yang
muncul dalam bentuk saling mengkritik dalam alam demokrasi tidak boleh
dibungkam. Begitu juga keluhan konsumen yang disampaikan melalui surat
pembaca atau media lain tidak boleh dipersamakan begitu saja dengan ekspresi
kebencian.
Perlindungan negara
Alasan lain pentingnya
memahami dengan tepat berkaitan dan perbedaan antara ujaran kebencian,
kejahatan kebencian, dengan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik,
penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan adalah pentingnya negara
merespons perbuatan- perbuatan individu atau kelompok masyarakat (berbasiskan
kebencian pada yang lain atau berbeda) yang dalam kenyataan telah dan
berpotensi memunculkan konflik sosial (horizontal) dengan tepat guna.Mereka
yang merasa terhina, tercemar nama baiknya, atau ternista dapat membela diri
mereka sendiri, termasuk memperjuangkan keadilan melalui pengadilan (pidana
atau perdata). Berbeda dengan itu apabila yang terjadi adalah ujaran dan/atau
kejahatan kebencian. Korban dalam kenyataannya sering kali adalah individu
atau kelompok masyarakat dari golongan minoritas. Dalam hal demikian, negara
sejatinya harus melindungi mereka dari ”ekspresi kebencian” yang ditunjukkan
sekadar karena mereka berbeda.
Satu alasan penting
lainnya memahami konteks kejahatan ujaran kebencian ialah kenyataan Indonesia
adalah masyarakat multi-kultural, etnik dan agama/keyakinan dan sebab itu
pula—terlepas dari potret diri sebagai masyarakat toleran—tidak asing dengan
konflik sosial (terutama horizontal) yang berujung pada kekerasan kolektif.
Kekerasan yang dilakukan massa yang marah terhadap kelompok minoritas—di
Indonesia muncul dalam wujud tragedi Mei 1998; Sampit, Kalimantan; Sampang,
Madura; Cikeusik, Jawa Barat; Aceh Singkil, Aceh; tahun 2015—diduga kuat
terjadi sebagai dampak ujaran kebencian yang disebarluaskan.
Peristiwa akhir:
perusakan benda/bangunan, kematian atau luka-luka ringat/berat termasuk
hilangnya kebebasan untuk menjalankan ibadah darisatu kelompok berbeda harus
dimaknai bukan sebagai kejahatan biasa, melainkan kejahatan berbasiskan
kebencian. Semoga para penegak hukum, politisi, pengamat, dan masyarakat umum
tidak lagi salah kaprah mengartikan ujaran kebencian yang tiba-tiba tenar
belakangan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar