Uji Konsistensi Penyelenggara Pilkada
Fadli Ramadhanil ; Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
|
KOMPAS,
21 November 2015
Badan Pengawas Pemilu
menunjukkan sikap tegas atas kisruh calon kepala daerah yang berstatus bebas
bersyarat. Hal ini setidaknya terjadi di dua daerah yang akan
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah pada Desember mendatang: Kota Manado
di Sulawesi Utara dan Kabupaten Boven Digoel di Papua.
Perdebatan panjang
terkait status hukum dua orang calon kepala daerah di atas berlangsung hampir
satu bulan. Jika berkaca pada aturan hukum yang ada, seseorang yang berstatus
bebas bersyarat jelas tak memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah. Namun,
entah apa sebabnya, KPU Kota Manado dan KPU Boven Digoel menerima orang bebas
bersyarat menjadi calon kepala daerah.
Perdebatan kian
panjang karena terdapat disparitas keputusan antarpenyelenggara pemilihan,
dalam hal ini KPU, ketika menentukan sikap terhadap calon kepala daerah
dengan status bebas bersyarat. Di KPU Provinsi Sulawesi Utara, misalnya,
bakal calon gubernur bernama Elly Engelbert Lasut, yang juga merupakan
terpidana dengan status bersyarat, dinyatakan tak memenuhi syarat oleh KPU
Sulawesi Utara sebagai calon kepala daerah. Ketika keputusan ini diuji di Badan
Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Utara, Bawaslu memperkuat keputusan KPU
yang menyatakan benar bahwa seorang terpidana yang berstatus bebas bersyarat
tak memenuhi syarat menjadi calon kepala daerah.
Lalu, mengapa muncul
keputusan berbeda dari KPU Kota Manado dan KPU Boven Digoel? Entahlah. Yang
pasti, sikap tegas Bawaslu mengambil peran dalam memberi rekomendasi agar
kedua calon kepala daerah dengan status bebas bersyarat dibatalkan
pencalonannya telah menjawab kepastian hukum penyelenggaraan pilkada.
Lama ditunggu
Sudah lama sikap tegas
Bawaslu ditunggu. Sebagai lembaga yang juga memiliki tanggung jawab
pengawasan terhadap seluruh tahap pelaksanaan pilkada, Bawaslu beserta
jajarannya jelas punya andil kenapa calon bebas bersyarat bisa lolos dan ditetapkan
menjadi calon kepala daerah.
Ketika calon bebas
bersyarat dinyatakan lolos oleh KPU, semestinya peran pengawasan langsung dan
melekat yang dimainkan Bawaslu harus berjalan. Satu hal yang pasti, baik KPU
dan Panwaslu Kota Manado maupun KPU Kabupaten Boven Digoel sudah dilaporkan
ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atas dugaan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu.
Namun, anehnya,
rekomendasi dari Bawaslu terhadap KPU Kota Manado melalui Bawaslu Provinsi
Sulut ternyata masih belum dilaksanakan (Kompas, 10/11). Padahal, rekomendasi
sudah dikeluarkan sejak dua minggu lalu. Bawaslu bahkan sudah menonaktifkan
tiga anggota Panwaslu Kota Manado atas rekomendasinya yang menyatakan Jimmy
Rimba Rogi memenuhi syarat, di tengah status hukumnya yang berstatus bebas
bersyarat.
KPU Kota Manado masih
ingin menelaah dan mengkaji rekomendasi itu. Padahal, proses verifikasi yang
dilakukan langsung oleh KPU dan Bawaslu kepada Kemenkum HAM sudah jelas,
status hukum Jimmy Rimba Rogi terpidana dengan bebas bersyarat dan belum bisa
dinyatakan memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah.
Hal yang sama juga
terjadi di Boven Digoel. Ketua Bawaslu Papua baru merespons bahwa salah satu
calon kepala daerah bernama Yusak Yaluwo masih berstatus bebas bersyarat dan
semestinya dibatalkan pencalonannya. Padahal, laporan dan pernyataan sikap
terhadap beberapa calon kepala daerah yang berstatus bebas bersyarat sudah
disampaikan hampir satu bulan yang lalu.
Mesti bergerak
Bawaslu dan KPU mesti
bergerak dan menyupervisi langsung rekomendasi dan fakta hukum yang sudah
ditemukan. Apalagi, langkah hukum pembatalan calon ini sangat berkaitan
dengan tahap pilkada berikutnya: pengadaan dan pencetakan logistik. Tidak
mungkin KPU kabupaten/kota yang belum tahu pasti berapa pasang calonnya
melakukan pengadaan dan pencetakan logistik. Padahal, jika dihitung mundur,
hari pemungutan suara kurang dari satu bulan lagi.
KPU dan Bawaslu sedang
berpacu dengan waktu. Jangan sampai pelaksanaan pilkada di beberapa daerah
menjadi terganggu dan gaduh karena aparatur mereka di daerah tidak konsekuen
dan patuh dalam menjalankan rekomendasi dan fakta hukum yang sudah ditemukan.
Sekali lagi,
pelaksanaan pilkada serentak gelombang pertama tahun 2015 adalah cermin awal
bagi pembaruan dan pembangunan demokrasi lokal di daerah untuk ke depannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar