Memperdagangkan Pengaruh
Eddy OS Hiariej ;
Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada
|
KOMPAS,
24 November 2015
Politisi Senayan
kembali berulah. Tak tanggung-tanggung, kali ini yang dicatut adalah nama
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk mendapatkan saham
PT Freeport Indonesia.
Jika pencatutan nama
itu terbukti, politisi tersebut tidak hanya melanggar etika sebagai anggota
DPR, tetapi terdapat indikasi yang kuat telah melakukan pelanggaran hukum.
Paling tidak, sang politisi dapat dijerat memperdagangkan pengaruh. Trading in influence atau
memperdagangkan pengaruh tidak terdapat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, tetapi secara jelas diatur dalam Pasal 18 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah
diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.
Perihal keberlakuan
UNCAC, terdapat perbedaan pendapat di antara ahli hukum pidana. Ada yang
berpendapat bahwa UNCAC belum efektif berlaku karena UU nasional kita belum
menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC. Argumentasi ini
didasarkan pada teori transformasi dalam hukum internasional yang menyatakan
bahwa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh suatu negara tidak
serta-merta berlaku sebelum disesuaikan dengan UU nasional. Pendapat yang
lain menyatakan, ratifikasi yang dilakukan terhadap UNCAC berlaku sebagai self executing treaty. Artinya, dapat
serta-merta diberlakukan sebagai hukum positif.
Argumentasi teoretis penerapan
Berdasarkan prinsip-prinsip
dalam hukum pidana internasional, saya pun sependapat bahwa UNCAC yang telah
diratifikasi berlaku sebagai hukum positif dan serta-merta dapat diterapkan.
Hal ini didasarkan pada beberapa argumentasi teoretis. Pertama, merujuk pada
UNCAC, korupsi adalah kejahatan internasional. Artinya, berlaku asas
universal dalam hukum pidana bahwa setiap negara wajib melakukan penuntutan
dan penghukuman terhadap pelaku kejahatan internasional. Kedua, ratifikasi
UNCAC oleh Pemerintah Indonesia tentunya sudah didasarkan pada pertimbangan
yang matang bahwa isi konvensi itu sesuai dengan situasi dan kondisi negara
yang sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan korupsi.
Ketiga, ratifikasi
suatu konvensi internasional tunduk pada prinsip umum hukum internasional,
yakni pacta sunt servanda yang berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak
mengikat ibarat UU. Menurut Oppenheim, sebagaimana dikutip Anthony Aust, di
dalam asas pacta sunt servanda tercakup asas keadilan dan itikad baik untuk
melaksanakan isi suatu perjanjian/konvensi yang telah diratifikasi.
Keempat, dalam konteks
hubungan antara hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional, hukum
pidana internasional berfungsi sebagai pelengkap terhadap hukum pidana
nasional bilamana aturan-aturan yang berada dalam konvensi internasional yang
telah diratifikasi belum diatur dalam UU nasional. In casu, ’trading in influence’ yang belum diatur dalam UU
pemberantasan tindak pidana korupsi, Pasal 18 UNCAC berfungsi sebagai
instrumen pelengkap dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kelima, asas hukum
pidana internasional, yakni asas civitas maxima, secara tegas menyatakan
bahwa hanya ada satu sistem hukum universal yang dianut semua bangsa di dunia
dan harus dihormati serta dilaksanakan. Keenam, korupsi sebagai kejahatan
internasional yang merupakan substansi dari hukum pidana internasional dalam
hubungan dengan paham monisme dan paham dualisme, hukum pidana internasional
lebih menitikberatkan pada paham monisme bahwa hukum internasional dan hukum
nasional merupakan satu kesatuan sistem hukum berupa kaidah-kaidah yang
mengikat individu, negara, ataupun kesatuan lainnya yang bukan negara.
Secara eksplisit,
Pasal 18 UNCAC menyatakan, Setiap Negara Pihak dapat mempertimbangkan untuk
mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap perlu untuk
menetapkan kejahatan pidana, apabila dilakukan dengan sengaja (a) Janji,
penawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain siapa pun,
secara langsung atau tidak langsung manfaat yang tidak semestinya agar
pejabat publik atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata
atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh dari otoritas administrasi
atau publik dari Negara Pihak suatu manfaat yang tidak semestinya untuk
kepentingan penghasut yang sebenarnya dari tindakan tersebut atau untuk orang
lain siapa pun. (b) Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau orang
lain siapa pun, secara langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak
semestinya untuk dirinya atau untuk orang lain agar pejabat publik atau orang
tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang dianggap ada dengan
maksud memperoleh dari otoritas administrasi atau publik dari Negara Pihak,
suatu manfaat yang tidak semestinya.
Berdasarkan pasal
tersebut, ada beberapa catatan. Pertama, adanya kata-kata ”... dapat mempertimbangkan ...”.
Menunjukan bahwa tindakan yang dikriminalisasikan sebagai trading in influence bersifat non-mandatory offences. Artinya, tidak
ada kesepakatan di antara Negara Pihak untuk mengkriminalisasi tindakan
tersebut sebagai tindak pidana korupsi. Kedua, hakikat Pasal 18a dan Pasal
18b UNCAC mendefinisikan trading in influence menjadi dua bagian, yakni
active trading in influence sebagaimana terdapat dalam Pasal 18a dan passive
trading in influence sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18b. Active trading in influence berarti
memberikan tawaran untuk memperdagangkan pengaruh, sedangkan passive trading in influence berarti
menerima tawaran memperdagangkan pengaruh.
Ketiga, bentuk
kesalahan dalam pasal tersebut adalah kesengajaan yang berarti menghendaki
adanya pengetahuan dan kehendak (weten
en wilen) dari pelaku. Bahkan, kalau ditelaah lebih detail adanya
kata-kata ”... dengan maksud...” dalam pasal tersebut telah membatasi corak
kesengajaannya adalah kesengajaan sebagai maksud. Motivasi seseorang sangat
memengaruhi perbuatannya (affectio tua
nomen imponit operi tuo).
Keempat, bentuk
kesengajaan dengan corak kesengajaan sebagai maksud pada dasarnya tidak mudah
untuk dibuktikan. Akan tetapi, kesulitan untuk membuktikan corak kesengajaan
sebagai maksud tersebut diimbangi dengan wujud penyalahgunaan pengaruh yang
sangat mudah dibuktikan. Hal ini tersirat dalam kata-kata, ”...yang nyata
atau yang dianggap ada...”. Artinya, untuk membuktikan adanya penyalahgunaan
pengaruh, tidak mesti ada penyalahgunaan pengaruh secara nyata, tetapi cukup
berdasarkan suatu anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah penyalahgunaan
pengaruh.
Kelima, untuk
membuktikan corak kesengajaan sebagai maksud seperti yang terdapat dalam
rumusan pasal itu biasanya dengan menggunakan teori kesengajaan yang
diobyektifkan sehingga orang tersebut dianggap memperdagangkan pengaruh.
Kesengajaan yang diobyektifkan sebenarnya bukanlah jenis kesengajaan, melainkan
cara untuk memastikan adanya kesengajaan.
Subyek hukum yang bisa dipidana
Keenam, subyek hukum
yang dapat dipidana atau adresat dari pasal tersebut tidak hanya pejabat
publik, tetapi juga setiap orang, baik yang mempunyai hubungan dengan pejabat
publik tersebut maupun tidak. Dapatlah dikatakan rumusan pasal tersebut ada
perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang memperdagangkan
pengaruh. Tidak hanya seseorang yang memperdagangkan pengaruh terhadap
pejabat publik, tetapi juga perantara dalam perbuatan memperdagangkan
pengaruh dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Tegasnya, rumusan pasal
tersebut mengandung teori penyertaan yang ekstensif.
Kembali kepada kasus
pencatutan nama oleh politisi Senayan, adanya rekaman pembicaraan, pengakuan
dari yang bersangkutan, dan kesaksian Maroef Sjamsoeddin, Presiden Direktur
PT Freeport Indonesia, sudah merupakan bukti permulaan yang cukup untuk
memproses secara pidana. Artinya, KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri harus
proaktif melakukan pengusutan.
Apabila dihubungkan
dengan UU pemberantasan tindak pidana korupsi, beberapa unsur memperdagangkan
pengaruh diatur dalam Pasal 11 mengenai penyuapan pasif atau setidak-tidaknya
diatur dalam Pasal 12e, 12f, dan 12g terkait pemerasan. Terlebih dalam Pasal
15 UU a quo, percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi dipidana sama
dengan tindak pidana korupsi itu sendiri. Selanjutnya, politisi yang mencatut
nama, dalam rangka mempermudah pengusutan, lebih elegan mengundurkan diri
dari jabatannya.
Hendaklah becermin
kepada beberapa menteri dan politisi partai yang mengundurkan diri dari
jabatannya ketika mereka terbelit kasus korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar