Setahun Bersama Neoliberalisme?
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
REPUBLIKA,
20 Oktober 2015
Masih jelas dalam ingatan
publik, 20 Oktober 2014, Jokowi-JK mengambil sumpah jabatan di gedung MPR-DPR
sebagai pemegang estafet kekuasaan otoritatif demokratik dari pemerintahan
sebelumnya. Ketika itu pula slogan “Kerja, Kerja, dan Kerja” menemukan
popularitas verbal pertamanya, karena hari itu adalah hari pertama dimana pedoman
strategis bagi seluruh jajaran eksekutif muncul dari mulut Jokowi dalam
kapasitasnya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Secara ekonomi, slogan
“kerja, kerja, dan kerja” bermakna “reformasi
struktural”. Dalam bahasa yang agak sedikit tendensius, istilah ini
jamak dengan terminologi teoritik yang diperkenalkan oleh Jhon Williamson
untuk program kerja Bank Dunia dan IMF sekitar tahun 1979 lalu, yakni Structural Adjusment Programs (SAPs) atau kerab dikenal dengan istilah “Wanghington Consensus”.
Kawasan yang menjadi
korban pertamanya adalah kawasan Amerika latin, yang sampai hari ini masih
terlihat sesak nafas akibat utang yang menumpuk dan pergeseran struktural
yang semula sangat apolitis alias tidak mengenal karakter rezim setempat,
sehingga kegagalan demi kegagalan kerab kali menjadi gunjingan-gunjingan
negative yang tak berkesudahan.
Bahkan faktanya, resep
ekonomi dari John Williamson ini — yang diadopsi secara gamblang (boleh
jadi juga secara gambling) oleh IMF dan Bank Dunia — pernah membuat
negara-negara Amerika Latin meringkuk dalam keterpurukan. Menurut
penelitian Johnson dan Schafer (1997), selama tahun 1965-1995, perekonomian
48 dari 89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF akhirnya justru
tidak menjadi lebih maju. Bahkan, 32 dari 48 negara tersebut justru menjadi
lebih miskin. Dan mangsa mutahir dari program ini tentu saja masih kental
dalam ingatan, yakni Yunani yang sukses membukukan utang jauh diatas Gross
Domestik Productnya (GDP), bahkan berhasil membuat zona eropa kebakaran
jenggot sejak 2010 lalu.
Tahun 2012, Jonathan
Stevenson menulis sebuah essay yang
sangat representatif untuk mewakili kondisi pelik yang dialami oleh Yunani
waktu itu terkait dengan kegagalan jenis kebijakan ini. Menurutnya, krisis
yang melanda Yunani adalah pengulangan sejarah kegagalan kebijakan penyesuaian
struktural yang pernah mandul, bahkan destruktif, saat diterapkan di
daratan Amerika Latin pada era 1980-1990an. Karena kebijakan-kebijakan
tersebut, Yunani pada akhirnya harus menelan pil pahit dengan merelakan
hampir semua infrastrukturnya dikuasai oleh pihak asing (baik institusi
keuangan maupun negara-negara adikuasa), mulai dari bandara, pelabuhan, rel
kereta api, jalan tol, sampai ke sistem pengelolaan kotoran/sewage system (Wolrd
Development Movement, 2012).
Untuk Indonesia, langkah
teknis pertama Jokowi-JK dalam kapastitasnya sebagai representator kebijakan
penyesuaian struktural adalah penyesuaian harga
jual BBM dalam negeri. Secara ekonomi, mau
tak mau kebijakan ini berimbas pada pencabutan berbagai subsidi barang publik
lainnya, sebut saja misalnya pupuk, tarif angkutan, kenaikan pajak
jalan tol, dan lain-lain. Namun bagaimanapun, alasannya cukup masuk
akal ketika itu, yakni untuk memperlebar ruang fiskal pemerintah. Sehingga
pengalihan dana subsidi energi pada umumnya dan subsidi BBM pada khususnya
bisa digunakan untuk menghujani sektor infrastruktur dengan likuiditas yang
lumayan memadai. Pasalnya, sektor ini adalah sektor yang dikeluhkan banyak
pelaku usaha karena efek ekonomi berbiaya tinggi yang diakibatkanya.
Secara politik-fiskal,
kebijakan ini tentu terverifikasi sangat rasional karena diperkirakan
dengan keberlimpahan anggaran akibat pengalihan subsidi BBM bisa
dipergunakan oleh pemerintah untuk memenuhi janji-janjinya saat kampanye
pilpres tempo hari dan memang sudah seharusnya demikian. Kemudian untuk
menutupi imbas sosial ekonomi yang akan ditanggung masyarakat, pemerintah
ketika itu juga telah menyiapkan berbagai macam
kartu ajaib yang sampai saat ini ternyata belum terlalu jelas
juntrungannya.
Nah, kebijakan peralihan ini disinyalir menjadi salah
satu beban pemberat mengapa perlambatan ekonomi domestik akhirnya semakin
menjadi-jadi. Kenaikan harga BBM menggerus daya beli masyarakat lantaran
kenaikan harga-harga bahan pokok sehingga menekan angka konsumsi publik,
kemudian memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang
semula memang sangat bergantung pada sisi konsumsi, yakni lebih dari 55% berdasarkan
angka statistik 2014.
Imbas sosial ekonominya,
biaya hidup masyarakat jadi meningkat namun tak diiringi dengan peningkatan
pendapatan. Sementara itu, dari sisi korporasi, biaya produksi ikut meningkat,
namun permintaan justru menipis akibat daya beli yang melemahkan tingkat
konsumsi dalam negeri. Celakanya, bergesernya stabilitas ekonomi makro membuat
tuntutan kenaikan pendapatan pekerja juga semakin meninggi dan tentunya
menjadi berita buruk bagi korporasi.
Selain itu,
kebijakan yang rasanya kurang bermomentum tepat secara global ini membuat
rupiah terus terjerumus ke jalur merah. Semula angka Rp. 13.000
tertembus, kemudian berlanjut ke level Rp. 13.500, dan sempa bertahan beberapa
bulan. Angka paritas Rupiah terhadap dollar di level ini sudah cukup meresahkan
pelaku pasar di sektor finansial, akibat mengendornya kepercayaan bisnis
terhadap pemerintah yang dianggap kurang cakap dalam merawat kurs mata uang.
Sementara itu, pelaku
usaha yang berbasiskan barang modal dan bahan baku impor benar-benar merasa
terpukul akibat menggilanya biaya produksi disatu sisi dan tergerusnya nilai
asset disisi yang lain. Setuju atau tidak, ini adalah salah satu penyebab mengapa
niatan pemerintah untuk menggenjot ekspor dibalik depresiasi Rupiah agak
kurang mendapatkan energy riil dari ekonomi domestic karena produksi
di dalam negeripun ikut terganggu, selain faktor pelandaian harga komoditas
global yang mengakibatkan pengecilan porsi pendapatan ekspor. Maka
akibatnya, perlambatan ekonomi semakin nyata karena disisi yang lain
tekanan-tekanan global yang sudah sedari masa akhir pemerintahan SBY justru
semakin menggila.
Sampai akhirnya Rupiah
beringsut ke atas mendekati level Rp.15.000/USD. Paket ekonomi I-IV pun
digelontorkan. Penguatan Rupiah mulai terjadi paska paket ekonomi jilid III
diumumkan, karena beberapa hari sebelumnya ternyata hasil pertemuan FOMC
The Fed menunda rencana kenaikan suku bunga pinjaman AS dan harga komoditas
global sempat tersundul naik akibat pernyataan petinggi OPEC yang bersedia
berdiskusi lebih lanjut dengan para negara anggota dan AS tentang rencana
pengurangan produksi minyak mentah untuk mengantisipasi penurunan harga
lebih lanjut lantaran keberlimpahan pasokan global.
Namun nampaknya penguatan
mata uang Garuda belum bersifat permanen, karena kondisi ekonomi makro
Amerika yang semakin membaik dan perlambatan ekonomi terbesar kedua dunia,
Tiongkok. Kedua faktor global ini akan terus mengganggu ekspektasi percepatan
perbaikan ekonomi Nasional.
Pemerintah yang baru
berusia satu tahun ini tentu masih punya banyak waktu untuk membuktikan
diri, namun starting point yang jelas, stabil, dan cenderung menebar kenyamanan
untuk semua pihak tentu jauh lebih baik ketimbang titik awal yang penuh dengan kisruh dan relasi-relasi
konfliktual yang jauh dari produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar