Papa Minta Apa (Lagi)?
Boni Hargens ;
Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 26 November 2015
SELASA, 6 Januari 2015 ialah titik balik
penting dalam hidup Benyamin Purnama, 33. Tak tanggung-tanggung, pria yang
sehari-hari bekerja sebagai sopir pribadi dan masih terdaftar sebagai
mahasiswa STKIP Pancasakti Depok itu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) dalam kapasitasnya sebagai komisaris PT Pilar Girih Sasanti yang
berlokasi di Tangerang, Banten. Dengan wajah lusuh, dalam rasa takut yang
sukar disembunyikan, Benyamin mendatangi kantor KPK untuk pemeriksaan selama
6 jam. KPK tentu tidak menemukan sedikit apa pun bukti keterlibatan Benyamin
dalam proyek pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten karena memang ia tidak
punya urusan apa pun dengan hal semacam itu.
Dikabarkan, Benyamin dan sejumlah rekan lain
pernah dimintai fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) oleh seorang rekan yang
bekerja untuk keluarga Ratu Atut, mantan Gubernur Banten. Dengan iming-iming
pekerjaan yang bagus, Beni dan kawan-kawan tidak mencurigai motif pengumpulan KTP itu.
Setelah lama tak ada kabar tentang pekerjaan
yang dijanjikan, tiba-tiba Benyamin mendapat surat pemanggilan dari KPK untuk
pemeriksaan atas tuduhan keterlibatan dalam proyek fiktif pengadaan alat
kesehatan yang menjerat adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.
KPK akhirnya membebaskan Beni tanpa syarat.
Peristiwa itu mengingatkan kita pada rekaman
pembicaraan yang dikuak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang
melibatkan terduga Ma’roef Syamsudin dari PT Freeport Indonesia, Ketua DPR
Setya Novanto, dan pengusaha minyak Riza Chalid. Pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla, terkait jatah saham (11% untuk Presiden dan 9%
untuk Wapres), muncul dalam rekaman itu meski belakangan Novanto membantahnya.
Meskipun Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum
selesai menyidangkan dugaan keterlibatan Setya Novanto, pimpinan Koalisi
Merah Putih (KMP) sudah dengan lantang mematok garis defensi. Fadli Zon
menyatakan siap membela Novanto habis-habisan. Alasannya tidak ada kalimat
langsung ‘papa minta saham’ dalam rekaman yang dimaksud Sudirman Said.
Secara harfiah, Fadli benar. Namun, secara
substantif, argumentasi Fadli kehilangan naluri moral. Fadli seperti tidak
mengerti bahwa ‘papa minta saham’ ialah jenaka yang mempertegas substansi
pelanggaran pidana yang dilakukan Novanto. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua
DPR, tidak ada justifikasi legal, apalagi moral, bagi Novanto untuk
bernegosiasi dengan tujuan apa pun karena perpanjangan kontrak Freeport ialah
kewenangan pemerintah, bukan legislatif.
Selain itu, angka 11% dan 9% sudah secara
gamblang terungkap dalam rekaman itu. Bagaimana mungkin Fadli membantah asap
yang sudah mengepul? Dalam bukunya berjudul The responsible administrator: An approach to ethics for the
administrative role, Cooper (2012) menjelaskan dengan bagus pejabat
publik yang bertanggung jawab secara etis. Baginya, pejabat publik yang
bertanggung jawab ialah dia yang (1) memperlihatkan tanggung jawab objektif
atas sikap dan tindakannya sebagai pejabat publik dan (2) memperlihatkan
kongruensi subjektif dari sikap dan tindakannya dengan nilai-nilai yang lahir
dari dan melekat pada jabatannya (Cooper, 2012:1-8).
Sikap dan tindakan seorang pejabat publik
terikat dengan kode etik dan aturan legal tertentu sehingga setiap tindakan
harus (diminta untuk) dipertanggungjawabkan. Inilah dasarnya kenapa publik
dulu mempersoalkan Novanto, Fadli, dkk bertemu kandidat Presiden AS, Donald
Trump.
Ini juga alasan kenapa, kalau benar, publik
menuntut klarifikasi soal surat Novanto ke PT Pertamina tentang pembayaran
biaya penyimpanan bahan bakar minyak pada PT Orbit Terminal Merak. Begitu
juga dengan ketersangkutannya dalam kasus Bank Bali, kasus PON Riau, dan proyek
e-KTP.
Meskipun persidangan di MKD belum tuntas, kini
Novanto melakukan serangan balik. Melalui pengacaranya, Rudi Alfonso, Novanto
berencana melaporkan Sudirman Said ke kepolisian karena dinilai telah merusak
nama baiknya. Alfonso mencatat tiga pelanggaran Menteri ESDM Sudirman Said.
Pertama, perekaman percakapan secara tersembunyi. Kedua, distribusi rekaman
merusak nama baik.
Ketiga, tuduhan pencatutan nama Presiden dan Wakil
Presiden oleh Novanto.
Kita belum tahu bagaimana kelanjutan drama ini
ke depan. Yang jelas rencana gugatan
Novanto ialah pembenaran tidak langsung terhadap percakapan yang berisikan
pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden karena yang dipersoalkan ialah
perekaman dan distribusi hasil rekaman, bukan soal apakah isi rekaman itu
benar atau tidak. Dengan kata lain, tidak perlu ada pengujian laboratorium soal
rekaman itu karena pihak tertuduh telah mengakui sekaligus adanya pertemuan
dan materi pertemuan.
Bagi kita, terkuaknya rekaman itu bukan hanya
soal membuka topeng seseorang, melainkan soal kotak pandora abuse of power, penyalahgunaan
wewenang yang sudah lumrah terjadi. Karena itu, ada tiga pelajaran penting di
sini. Pertama, rekaman itu memperlihatkan modus operandi, cara kerja, dari abuse of power yang berorientasi pada
pengejaran kepentingan parsial.
Substansi
rekaman itu tidak saja menyangkut kode etik pejabat publik, tetapi juga sudah
memuat unsur pidana. Ada tendensi memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan
kelompok. Karena itu, Sudirman Said tak cukup sekadar melapor ke majelis etik
(MKD), tetapi semestinya melimpahkan kasus ini ke institusi penegak hukum.
Kedua, arus serangan balik yang diduga Fadli
Zon merupakan upaya
mereduksi pelanggaran hukum yang terjadi. Fadli
mengolah isu hukum menjadi isu politik. Sudirman Said telah membantu Fadli cs, dalam
hal ini dengan hanya melapor ke MKD, padahal substansi pelanggaran itu ialah
perkara hukum yang melibatkan kepolisian. Kalau sudah menjadi isu politik,
ujungnya sudah jelas bahwa tidak akan ada kejelasan apa pun.
Ketiga, pencatutan nama Presiden dan Wakil
Presiden bukan sekadar masalah pribadi. Karena itu, kemarahan Wapres Jusuf
Kalla, termasuk Presiden Jokowi, selayaknya bukan kemarahan personal,
melainkan kemarahan sebagai pimpinan tertinggi negara dan pemerintahan.
Kewibawaan institusi politik dan hukum ialah taruhannya.
Konsekuensinya ialah penyelesaian kasus ini
harus tuntas. Tidak boleh ada excuse
atau permintaan maaf dalam bentuk apa pun. Penghalusan konsekuensi pun tidak
boleh terjadi sebab sublimasi dalam kasus seperti ini berpotensi menjustifikasi
praktik serupa. Padahal, kita tidak tahu, ‘papa akan minta apa lagi’
nantinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar