Tentang "Papa Minta Saham"
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
21 November 2015
Tak ada gunanya cemas
menyaksikan kegaduhan yang diakibatkan peristiwa "papa minta saham"
hari-hari ini. Pemerintah boleh saja gaduh, tetapi tak perlu merasa telah
terjerumus ke dalam kondisi krisis.
Tetapi, kita tetap
saja mengernyitkan dahi. Seperti telah terungkap, peristiwa "papa minta
saham" ini mengaitkan hubungan yang penuh tanda tanya antara Presiden;
Wakil Presiden; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; dan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Otomatis ada penilaian
Kabinet Kerja (termasuk Presiden dan Wapres) kurang solid dan mungkin di
ambang perombakan. Itu masih tidak apa-apa karena kegaduhan belakangan ini,
toh, belum berdampak negatif terhadap kondisi politik dan ekonomi yang
stabil.
Betapapun, tidak elok
jika mereka berperilaku ganjil di depan umum. Apalagi, dalam sebuah
demokrasi, publik adalah pemangku kepentingan yang berhak untuk mengetahui
apa sesungguhnya yang terjadi?
Informasi transparan
tentang peristiwa "papa minta saham" sebaiknya diungkap ke publik
tanpa ditunda. Perilaku erratic (sukar ditebak) dalam proses pengambilan
keputusan sudah agak sering terjadi selama sekitar setahun pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla).
Sebelum ini, misalnya,
muncul kehebohan akibat jurus "Rajawali Ngepret" yang diperankan
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya. Bukan rahasia umum,
"kepretan" Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya itu secara sengaja
ditujukan untuk mencederai menteri/pejabat tinggi lainnya.
Mungkin saja publik
masih mafhum dengan perilaku erratic tersebut. Pasalnya, mayoritas publik
ternyata masih cukup puas dengan kepemimpinan Jokowi-Kalla, seperti yang
dibuktikan oleh berbagai survei.
Kita mafhum Kabinet
Kerja merupakan hasil kompromi yang kurang sempurna karena sarat dengan
kepentingan politik dan ekonomi tokoh-tokoh/partai-partai yang tergabung di
dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tidak mustahil kompromi politik yang
harmonis tidak akan pernah tercapai sampai selesainya pemerintahan ini tahun
2019.
Sekali lagi, suka atau
tidak, publik menginginkan Presiden, sebagai pejabat tertinggi pemerintahan,
mengungkapkan kebenaran akhir peristiwa "papa minta saham" ini.
Presiden tak perlu khawatir karena publik tampaknya masih yakin Presiden out of the loop (tidak terlibat)
meminta saham Freeport.
Dan, apa pun
alasannya, tidak etis bagi siapa pun mencatut nama Presiden atau Wapres.
Terlebih lagi jika pencatutan nama itu berhubungan dengan kepentingan
korporasi asing yang telah berpuluh-puluh tahun beroperasi dalam dunia
bisnis-politik yang kerap kurang transparan di negeri ini.
Kita lega mendengarkan
gurauan Presiden yang mengaku mengikuti trending topic tentang "papa
minta saham". Ini reaksi manusiawi Presiden yang dikemukakan tanpa
tedeng aling-aling.
Kita juga lega Wapres
menyatakan tekad akan menempuh jalur hukum. Ada baiknya Presiden mengikuti
jejak Wapres melaporkan pencatutan nama ini kepada pihak yang berwajib.
Perhatian Presiden dan
Wapres terhadap masalah ini menunjukkan kesungguhan pemerintah yang baru
berjalan sekitar setahun ini untuk "bersih-bersih". Ini langkah
yang penting untuk membasmi kongkalikong antara para pejabat publik dan
korporasi raksasa lokal ataupun internasional.
Toh, sebelum ini sudah
ada gebrakan terhadap Petral yang kini dalam proses pembubaran, yang menjadi
preseden penting pembasmian kongkalikong. Sudah tiba saatnya kita menjaga dan
mengeksplorasi sumber daya alam, khususnya minyak dan tambang, untuk
kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Sedikit catatan: kita
prihatin dengan apa yang dialami oleh Ketua DPR. Harap dicamkan bahwa ia
masih dalam posisi belum terbukti bersalah secara hukum dan masih menunggu
proses pemeriksaan etika oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Kita prihatin Ketua
DPR, salah seorang wakil pilihan rakyat di cabang kekuasaan legislatif,
menjadi bahan gunjingan negatif. Suka atau tidak, itulah berkah dari
keterbukaan yang menempatkan media massa/sosial yang telanjur menjadi
"bintang demokrasi".
Kita, publik, sedang
menjalani perubahan sosial penting, yakni menjalani dengan tekun fungsi
kontrol sosial yang kritis terhadap kekuasaan. Kontrol itu hari demi hari
semakin terbuka dan, bahkan, sering kurang jinak.
Pasalnya, kita juga
"punya saham" dalam kekuasaan ketika memberikan suara untuk
eksekutif dan legislatif melalui pemilihan anggota legislatif (pileg) dan
pemilihan presiden (pilpres). Oleh karena itu, kita berhak "minta saham"
kepada mereka agar dengan terang benderang menjelaskan apa yang sesungguhnya
terjadi dalam peristiwa "papa minta saham" dan agar pejabat publik
bersikap ksatria mundur dari jabatan karena jelas melanggar etika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar