Mengawasi Amnesti Pajak
Adrianto Dwi Nugroho ; Ketua Departemen Hukum Pajak
Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada
|
KOMPAS,
20 November 2015
Rencana amnesti bagi
para terduga pelaku kejahatan pajak hampir pasti akan diberlakukan tahun ini.
Imaji melenggangnya para pengelak pajak di depan publik tanpa jerat
pemidanaan akan mengisi lembaran kelam penegakan hukum di Tanah Air. Pada
saat yang sama, masalah keterpurukan kondisi perekonomian nasional memerlukan
solusi konkret. Pemerintah juga akan memanfaatkan program ini untuk menutup
defisit penerimaan pajak melalui uang tebusan yang wajib dibayarkan oleh
penerima amnesti, dan memperluas basis pajak melalui perputaran dana di dalam
negeri.
Keputusan politik
bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meneruskan
pembahasan rancangan undang-undang tentang pengampunan pajak merupakan upaya
untuk meyakinkan publik bahwa kebijakan amnesti pajak memiliki peluang
keberhasilan besar. Artinya, pemikiran saat ini sebaiknya tidak lagi didedikasikan
mendukung atau tidak mendukung kebijakan, melainkan untuk mengawasi atau
tidak mengawasi pelaksanaannya.
Justifikasi ekonomi
Apabila dilakukan,
tujuan pengawasan ini adalah untuk memastikan bahwa perbedaan perlakuan di
depan hukum yang timbul akibat penghapusan pidana terhadap penerima amnesti
pajak akan terjustifikasi oleh manfaat ekonomi yang nyata bagi segenap
anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, ada tiga aspek kebijakan
amnesti pajak yang perlu diawasi.
Pertama, pelaksanaan
pemeriksaan permohonan amnesti pajak. Perlu dicatat bahwa kebijakan amnesti
pajak melembagakan keterbukaan sukarela (voluntary disclosure, Larking: 2005)
dari wajib pajak dalam negeri untuk melaporkan harta kekayaan yang dimiliki
di luar negeri. Artinya, kejujuran wajib pajak menjadi tumpuan pelaksanaan
amnesti pajak. Untuk menguji kesesuaian antara data dan informasi yang
dilaporkan pemohon amnesti dengan keadaan sebenarnya, perlu pemeriksaan oleh
suatu tim pemeriksa permohonan amnesti pajak.
Berbeda dengan pemeriksaan
pajak yang diatur pada Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (UU KUP), hasil pemeriksaan oleh tim pemeriksa permohonan amnesti
pajak bersifat final, dan menjadi dasar keputusan pemberian atau penolakan
amnesti pajak. Artinya, ada wewenang besar yang perlu diawasi agar
praktik-praktik pemerasan dan korupsi dapat diberantas.
Pengawasan yang dapat
dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaksanaan prosedur ini adalah melalui
pelaporan dan pengaduan terhadap penyimpangan yang diketahui olehnya.
Kemunculan para whistle blower dari dalam tim pemeriksa dan pemohon amnesti
pajak juga bersifat instrumental dalam melawan aksi pemerasan dan korupsi.
Peran pengawasan juga dapat dijalankan oleh komite pengawas perpajakan
melalui pengamatan, pengumpulan informasi, dan pengaduan masyarakat.
Kedua, kerahasiaan
data dan informasi hasil amnesti pajak. Perlu diakui bahwa aspek kerahasiaan
ini memiliki daya tarik yang kuat untuk meningkatkan jumlah permohonan
amnesti pajak. Untuk itu, pemohon amnesti pajak harus mendapat kepastian
bahwa laporan harta yang dibuatnya tidak akan diteruskan kepada penegak hukum
lainnya untuk penuntutan pidana terhadap kejahatan yang berbeda.
Larangan pembocoran
Aspek come clean yang menjadi fasilitas
utama dalam kebijakan amnesti pajak harus dikaitkan dengan larangan
membocorkan data dan informasi wajib pajak sebagaimana diatur dalam UU KUP.
Sesuai ketentuan Pasal 41 Ayat (3) UU KUP, pengaduan terhadap dugaan
pelanggaran kewajiban merahasiakan data dan informasi oleh petugas pajak
hanya dapat dilakukan oleh orang yang kerahasiaannya dilanggar. Mutatis
mutandis, pemohon amnesti pajak juga dapat mengadukan pembocoran rahasia oleh
tim pemeriksa dan atau petugas pajak lainnya.
Ketiga, tujuan
peningkatan kepatuhan wajib pajak. Perlu disadari bahwa amnesti pajak
merupakan kebijakan taktis dengan biaya sosial tinggi berupa kepercayaan
publik terhadap integritas sistem pemungutan pajak. Artinya, kebijakan ini
harus diterapkan dengan mengasumsikan ada penurunan tingkat kepatuhan dari
wajib pajak lainnya. Penolakan terhadap pemeriksaan pajak dan pengabaian
terhadap sanksi administrasi dapat menjadi fenomena baru. Oleh karena itu,
relaksasi penegakan hukum terhadap wajib pajak yang bukan menjadi target
amnesti pajak juga perlu untuk memperkecil celah diskriminasi.
Perlu disadari pula
bahwa amnesti pajak merupakan kebijakan jangka pendek, sehingga tidak dapat
menyelesaikan permasalahan laten penghindaran pajak, pengelakan pajak, dan
transfer pricing. Antisipasi terhadap ketiga modus perlawanan wajib pajak
tersebut hanya dapat dilakukan dengan mengubah peraturan perundang-undangan,
terutama Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Maka, masyarakat dapat
mengawasi pencapaian tujuan peningkatan kepatuhan wajib pajak dengan mengusulkan
perubahan UU PPh melalui representasinya di DPR. Dalam konteks amnesti pajak,
penciptaan rezim PPh yang kondusif dapat memastikan uang yang sudah masuk ke
dalam negeri tidak dikeluarkan kembali ke luar negeri.
Akhirnya, amnesti
pajak merupakan kebijakan realistis yang harus dipilih pemerintah untuk
keluar sepenuhnya dari keterpurukan ekonomi nasional. Pengawasan masyarakat
mutlak diperlukan untuk memastikan agar tujuan dapat tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar