Membangun Riset Perguruan Tinggi
Ali Khomsan ;
Ketua Program Studi S-3 Ilmu Gizi,
Pascasarjana IPB
|
KORAN
SINDO, 26 November 2015
Profesor digugat.
Mengapa dan apanya yang digugat? Ada yang mengatakan jumlah profesor di
negeri kita terlalu sedikit (hanya sekitar 5.000 orang). Yang lain bilang
publikasi profesor Indonesia kurang. Bahkan ada yang menyatakan syarat meraih
jabatan profesor terlalu mudah. Janganjangan ada yang berpendapat, profesor
gajinya besar, tapi kinerjanya tidak beda dengan dosen lain yang bukan
profesor.
Yang jelas, dulu
profesor banyak yang menderita karena gajinya hanya Rp5 juta per bulan,
tetapi di era pemerintahan SBY jabatan profesor diberi apresiasi, yaitu
tunjangan guru besar senilai dua kali gaji pokok ditambah tunjangan
sertifikasi yang juga diterima dosen-dosen nonguru besar sebesar satu kali
gaji pokok. Saat ini banyak profesor yang sudah bisa bernapas lega, tidak
lagi dikejar-kejar kebutuhan hidup.
Profesor atau guru
besar mempunyai tugas utama mendidik mahasiswa. Saking pentingnya darma
pendidikan ini, seorang dosen apalagi profesor diharapkan tidak pernah absen
dalam mengajar. Kalau toh sampai tidak hadir di kelas, maka dia harus mencari
hari lain sebagai gantinya. Urutan kedua yang menjadi tugas profesor adalah
melakukan darma penelitian.
Kinerja guru besar
dapat diukur dari publikasinya di berbagai jurnal ilmiah nasional maupun
internasional. Publikasi ini tentunya berdasarkan hasil riset yang
bersangkutan. Tugas ketiga adalah pengabdian pada masyarakat, yang sering
hanya menjadi pelengkap, namun tetap harus ada dan dilakukan. Ketiga tugas
ini disebut tridarma perguruan tinggi.
Tulisan ini akan memfokuskan
pada riset yang memang lebih banyak disorot untuk mengukur kinerja profesor.
Kegiatan riset menjadi kurang menantang kalau dana riset terbatas. Dana
penelitian dari Ditjen Dikti yang sebagian besar “hanya” Rp100 juta atau
Rp150 juta per judul riset ibarat hanya menggoyang-goyang peneliti untuk
melakukan riset, tetapi tidak peduli kualitas riset seperti apa yang
dihasilkan. Kualitas riset akan sangat ditentukan oleh besarnya dana
penelitian.
Menurut saya, sebuah
riset yang bagus ratarata memerlukan dana sekitar Rp300 juta. Penulis sejak
2005 dan secara berkesinambungan tiap 1-2 tahun mendapatkan dana hibah
penelitian (research grants) dari
luarnegeri, misalnya dari Neys-van
Hoogstraten Foundation, Belanda; juga dari the Nestle Foundation, Swiss. Dalam hibah ini penulis sebagai
seorang guru besar juga melibatkan dosendosen muda baik yang masih bergelar
S-2 maupun S-3.
Ini merupakan bentuk
pembinaan staf muda agar mereka mampu berkompetisi dengan peneliti dan dosen
luar negeri untuk mendapatkan hibah penelitian. Besar dana yang dapat diraih
adalah USD25.000-70.000 per judul penelitian, suatu jumlah yang signifikan
untuk menghasilkan karya penelitian yang berkualitas. Ketika hasil riset
tersebut akan dipublikasikan di jurnal internasional, sebagian pengelola
jurnal mengenakan publication fee
yang besarnya USD300-600.
Untungnya, sponsor
riset dari luar negeri mau menanggung fee tersebut sehingga peneliti tidak
terbebani dengan biaya publikasi yang cukup mahal untuk ukuran kantong dosen
Indonesia. Bahkan bila hasil penelitian akan diseminarkan dalam forum
internasional yang biayanya bisa mencapai Rp20 juta rupiah (termasuk ongkos
pesawat, hotel, dan akomodasi lainnya), sponsor luar negeri bersedia
menanggungnya karena masih terkait dengan riset yang dulu didanainya.
Urusan administrasinya
tidak bertele-tele, cepat, dan membuat peneliti merasa nyaman. Evaluasi
proposal dari hibah luar negeri sepanjang pengalaman penulis biasanya
bersifat desk evaluation, artinya
penilai (reviewer) yang berada di
Belanda dan Swiss hanya melihat draf proposal riset yang dikirim melalui
email. Penilai bisa langsung menolak kalau proposal dianggap tidak bermutu,
atau menerima dengan perbaikan sesuai usulan perbaikan dari tim reviewer.
Sistem penilaian ini
saya anggap lebih sederhana dibandingkan yang selama ini dilakukan Ditjen
Dikti. Evaluasi di Ditjen Dikti bersifat desk
evaluation (sama) dan ditambah dengan kewajiban presentasi proposal untuk
kemudian dilakukan tanya jawab antara penilai dengan dosen yang menulis
proposal. Ironisnya, anggota tim reviewer-nya
terkadang harus menelaah puluhan proposal dari dosen-dosen se-Indonesia dalam
waktu beberapa hari saja, yang saya anggap terlalu singkat, sehingga saran
perbaikan yang muncul tidak optimal.
Salah satu indikator universitas
bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya. Publikasi ilmiah harus
didasarkan pada hasil-hasil penelitian. Peringkat perguruan tinggi ternama di
Indonesia seperti ITB, UGM, IPB, Unpad di tingkat dunia belum cukup
membanggakan. Mungkin hanya UI yang bisa menembus world class university.
Saat ini
peneliti/dosen di Indonesia yang mendapatkan hibah riset dari dalam negeri
justru disibukkan oleh laporan pertanggungjawaban keuangan yang njlimet dan
dapat menyurutkan semangat untuk meneliti. Tidak jarang kegiatan penelitian
belum tuntas sudah dikejar-kejar deadline penyampaian laporan akhir. Ini
wujud manajemen penelitian yang seadanya. Laporanadministrasi dianggap lebih
penting daripada hasil penelitian. Kita semua menyadari bahwa dunia riset di
perguruan tinggi Indonesia memang masih lemah.
Mungkin ada yang
berpendapat bahwa penelitian yang dilakukan hanya sekadar untuk membantu
kenaikan pangkat. Setelah laporan riset dijilid dan disimpan di perpustakaan,
dosen sudah memperoleh kum (angka kredit). Dosen-dosen di perguruan tinggi
harus lebih proaktif berdiversifikasi menjaring dana penelitian dari berbagai
sumber, termasuk dari sponsor luar negeri.
Terbuka kesempatan
bagi dosen-dosenyangkreatif untuk mendapatkan research grants dari
mancanegara. Semuanya tergantung kemauan dankemampuanmasing-masing dosen. Era
Jokowi-JK diharapkan mampu menggugah para dosen dan peneliti untuk
menghasilkan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) melalui riset.
Ditjen Dikti harus mengalokasikan hibah riset per penelitian dengan jumlah
dana yang lebih bermakna.
Kekuatan riset
perguruan tinggi juga didukung keberadaan mahasiswa pascasarjana, khususnya
S-3, yang salah satu persyaratan disertasinya adalah adanya unsur kebaruan
dalam karya ilmiahnya. Sinergi dosen atau guru besar dengan mahasiswa
pascasarjana akan semakin mengukuhkan riset sebagai tulang punggung
perkembangan iptek di perguruan tinggi. Agenda riset di perguruan tinggi
harus diimplementasikan oleh semua dosennya.
Sesungguhnya bukan
hanya kinerja profesor yang harus ditingkatkan, tetapi kinerja seluruh dosen
(termasuk yang belum guru besar) agar mereka semua mau berkomitmen membangun
kampus melalui kegiatan penelitian. Visi-misi sebagian perguruan tinggi di
Indonesia untuk menjadi universitas unggul di Asia Tenggara atau bahkan di
dunia, atau keinginan agar universitas kita membumi dan mendunia, bisa-bisa
hanya mimpi kalau roadmap riset tidak digarap dengan serius. Jalan menuju research university masih panjang.
Tanpa komitmen dari
dosen untuk selalu hadir di kampus dan melakukan penelitian, maka mustahil
perguruan tinggi di Indonesia mampu bersaing dengan perguruan tinggi di
belahan dunia lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar