Puasmu Kapan, Pemimpin?
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 19 November 2015
Belakangan rakyat kita
ramai bergunjing tentang ulah para tokoh yang tak pernah puas. Anda tentu
tahu yang saya maksud. Yang satu suka memaki, yang satunya gemar menyalahkan,
yang lainnya tak pernah puas dengan mencari-cari kesalahan pada orang yang
bekerja, dan kini ada lagi mereka yang suka meminta minta jatah. Maaf, mereka
bukan orang tak punya. Maksud saya, jabatan bagus mereka sudah punya,
kekuasaan untuk menyejahterakan rakyat ada di tangan, dan satu lagi, uang
juga sudah bukan masalah. Bahkan ada yang sampai punya pulau, mobil-mobil
mewah, jet pribadi, dan properti di mana-mana.
Alamak, mengapa jadi
kurang bersyukur? Memang keterlaluan yang terjadi beberapa hari ini. Sudah
dipilih oleh rakyatnya sebagai pemimpin kok tegateganya masih menjadi makelar
atau calo atau apa pun. Intinya sama, mencari rente. Apa gaji yang dia
terima, yang diambil dari uang pajak yang kita bayarkan setiap tahun, masih
kurang?
Beranjak dari
gunjingan itu, sekarang saya ajak Anda untuk sama-sama membuka wawasan soal
pemimpin dan kepemimpinan. Ini isu yang seru. Yang mengawali dari munculnya
penguasa yang tak pernah puas, apalagi bersyukur. Materinya mengasyikan untuk
menjadi bahan obrolan di sela-sela jamjam kantor, saat ngopi di kafe,
menjelang jeda makan siang atau sesudahnya, atau menjelang pulang kerja.
Saya lihat, ada dua
isu utama yang terkait, yaitu pemimpin dan kepemimpinan. Ini bukan hanya di
tataran pemerintahan, tetapi juga organisasi lain. Pertama, kita mesti rada
jeli untuk membedakan antara pemimpin dengan atasan. Kita bisa saja punya atasan,
tetapi belum tentu punya pemimpin.
Kedua, kita juga mesti
rada jeli dalam memahami konsep pemimpin dan kepemimpinan. Kita mungkin saja
punya banyak pemimpin, tetapi miskin kepemimpinan. Mari kita bahas lebih
detail.
Atasan vs Pemimpin
Kita sebenarnya bisa
dengan mudah menemukan mana yang atasan dan mana yang pemimpin. Ciri-cirinya
sederhana. Pertama, pemimpin selalu menjadi orang pertama yang bertanggung
jawab kalau ada sesuatu yang salah. Dia bukan saja berani mengakui bahwa
dirinya bersalah kalau memang bersalah, tapi juga siap menanggung segala
risikonya. Kalau ada masalah, dialah orang yang pertama kali tampil di depan.
Bagaimana dengan
atasan (dan juga bawahan)? Sebaliknya. Kalau ada yang salah, dia malah
sembunyi dan sibuk mencari-cari siapa saja pihak yang bisa disalahkan.
Pokoknya jangan sampai dia yang disalahkan. Harus orang lain. Itu ciri
pertama.
Ciri kedua, seorang
pemimpin biasanya juga tidak berusaha agar dirinya kelihatan menonjol dan
menjadi yang terbaik. Justru sebaliknya, dia lebih suka untuk memberikan
kesempatan kepada bawahannya agar merekalah yang terlihat menonjol dan
menjadi yang terbaik. Mengapa? Simpel saja. Seorang pemimpin tahu persis
bahwa keberhasilan bawahannya adalah keberhasilan dirinya. Jadi, buat apa repot-repot
menonjolkan diri.
Kalau atasan?
Sebaliknya, dia justru akan berusaha terlihat menonjol dan menjadi yang
terbaik. Peduli setan kalau kinerja bawahannya pas-pasan. Atasan yang semacam
ini selalu sibuk mencari cara agar hanya dirinya yang terlihat menonjol.
Gayanya main perintah.
Ketiga, pemimpin
biasanya rendah hati dan sederhana. Ia tidak gengsi untuk berbaur dengan
bawahannya. Kalau bertemu bawahan, ia tak segan-segan untuk menyapa terlebih
dahulu. Kalau atasan? Ah, Anda tahulah gayanya. Kalau ketemu bawahan, ada
yang pura-pura buang muka atau menunggu disapa lebih dulu.
Keempat, seorang pemimpin
biasanya tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan kepentingan
organisasinya. Ia tahu bagaimana caranya menjaga keseimbangan antara
kepentingan pribadinya dengan kepentingan organisasi. Kalau atasan? Jelas,
kepentingan pribadinya yang dia utamakan. Peduli setan dengan kepentingan
organisasinya.
Kelima, pemimpin yang
baik selalu mengutamakan musyawarah sebelum membuat keputusan. Ia selalu
mendengarkan dulu masukan dari bawahannya, baru setelah itu mengambil
keputusan. Kalau atasan? Dia lebih suka mengambil jalan pintas dengan membuat
keputusan sesuai dengan pertimbangannya sendiri. Maaf, kata ”pertimbangan”
mungkin masih terlalu baik. Saya ganti saja, ”Dia akan mengambil jalan pintas
dengan membuat keputusan sesuai dengan ”selera” sendiri. Lebih cocok, bukan?
Keenam, pemimpin
adalah seseorang yang berani membuat keputusan yang sulit. Berani
menyampaikan kabar buruk, meski dengan risiko popularitasnya bakal turun.
Kalau atasan? Dia tidak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Sukanya
hanya menyampaikan kabar baik, supaya popularitasnya naik terus. Padahal,
perjalanan organisasi tak selamanya selalu bergerak ke atas. Bisa saja suatu
ketika roda organisasi berada di bawah. Bahkan sampai di titik nadir.
Pemimpin vs Kepemimpinan
Untuk bisa menjalankan
perannya sebagai pimpinan, seorang pemimpin mesti memiliki kemampuan untuk
memimpin. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan. Anda merasa ruwet? Saya
coba dengan definisi yang ini: Kepemimpinan adalah kemampuan untuk
memengaruhi seseorang atau kelompok agar dia atau mereka mau melakukan
sesuatu guna mencapai tujuan tertentu.
Nah, supaya bisa
mengajak seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan sesuatu, seorang
pemimpin yang akan menjalankan peran kepemimpinannya mesti memiliki beberapa
hal.
Pertama, kekuasaan.
Apa jadinya seorang pemimpin tanpa kekuasaan? Dia tidak akan bisa memaksa
orang lain untuk menjalankan perintahnya. Tapi kekuasaan itu apa sih ? Apa
selalu karena menjabat? Bagaimana kalau ia tak lagi menjabat? Punyakah ia
reputasi? Keahlian? Kehormatan?
Kedua, wewenang. Ini
adalah hak mendasar yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin. Kita, melalui
UU atau regulasi lainnya, mesti memberikan hak yang paling mendasar ini.
Bayangkan seorang pemimpin tanpa wewenang, dia pasti tak akan bisa membuat
keputusan atau mengambil kebijakan tertentu.
Ketiga, pengaruh.
Jelas seorang pemimpin mesti memiliki pengaruh. Dengan pengaruhnya, seorang
pemimpin akan mampu membuat orang lain atau sekelompok orang tunduk dan mau
mengikuti kepemimpinannya.
Keempat, pengikut.
Seorang pemimpin yang berpengaruh pasti akan mempunyai banyak pengikut.
Mereka inilah yang bersama-sama dengan pemimpinnya akan membawa organisasi
bergerak untuk mewujudkan tujuannya. Itulah kurang lebih wawasan yang saya
tawarkan tentang pemimpin dan kepemimpinan.
Kini, setelah memiliki
wawasan tersebut, mari kita potret wajah para pemimpin kita. Saya bukan orang
yang pesimistis, tetapi kalau melihat gunjingan yang beredar di masyarakat
dan ramai diberitakan di berbagai media massa, saya tiba-tiba merasa ngeri.
Bayangkan dengan kualitas pemimpin seperti yang ramai kita gunjingkan di
atas, apa Anda mau menjadi pengikutnya? Saya? Jelas tidak!
Lalu, saya menjadi
semakin ngeri ketika tahu bahwa salah satu tugas mulia dari seorang pemimpin
adalah mempersiapkan calon-calon pemimpin berikutnya. Kalau benar begitu, apa
Anda rela anak-anak muda kita dididik menjadi pemimpin oleh orang-orang yang
kita gunjingkan sejak tadi? Saya? Jelas tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar