Industri Gula dan Kerisauan Presiden
M Husein Sawit ; Senior Advisor Asosiasi Gula Indonesia;
Mantan Ketua Forum Komunikasi
Profesor Riset di Kementerian Pertanian
|
KOMPAS,
21 November 2015
Beberapa waktu lalu,
Asosiasi Gula Indonesia dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara,
Jakarta. Presiden amat menaruh perhatian terhadap industri manufaktur, salah
satunya industri gula. Presiden menanyakan apa yang diperlukan dari
pemerintah agar industri gula kokoh dan impor gula semakin berkurang.
Pemerintahan
sebelumnya, termasuk 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, industri
gula tidak lepas dari sejumlah dukungan/subsidi dan proteksi. Akan tetapi,
target produksigula sebesar 5,7 juta ton tidak pernah terwujud,
ketergantungan impor gula semakin tinggi. Mengapa hal itu terjadi?
Presiden sangat risau
melihat Indonesia menjadi negara importir gula terbesar di dunia. Indonesia
mengimpor gula lebih kurang 3,5 juta ton per tahun, 95 persen di antaranya
gula mentah (raw sugar) untuk bahan baku industri gula rafinasi. Gula
rafinasi diperuntukkan buat industri makanan, minuman, dan farmasi besar,
yang memang memerlukan gula dengan kemurnian tinggi dan halus.
Semakin besar
kapasitas produksi industri gula rafinasi, makin tinggi kebutuhan impor gula
mentah. Total kapasitas produksi industri gula rafinasi dalam negeri mencapai
4,7 juta ton, yang dihasilkan 11 pabrik. Pabrik-pabrik itu umumnya berlokasi
dekat pelabuhan, yang sejak awal dirancang berbahan baku impor.
Ini adalah tipe
footloose industry, seperti halnya industri tepung terigu, dibangun tanpa
mempertimbangkan lokasi dan tempat karena dianggap tak berpengaruh pada
sumber daya alam dan biaya transportasi. Sejumlah industri, terutama permata
dan cip komputer, masuk dalam kelompok ini, hanya sedikit ditemukan pada
industri pangan.
Gula juga dihasilkan
62 pabrik gula (PG) pengolah tebu,55 persen pabrik itu di Jawa. Kemampuan
produksi 2,6 juta ton gula kristal putih (GKP) per tahun, dengan luas areal
tebu lebih kurang 470.000 hektar, atau 64 persen disumbangkan Pulau Jawa.
Jumlah PG di Jawa 49
unit, 65 persen di antaranya milik badan usaha milik negara (BUMN), dengan
ciri berusia tua (lebih dari 100 tahun), 70 persen di antaranya berkapasitas
kecil, kurang dari 4.000 ton tebu per hari (TCD). PG milik BUMN bergantung
pada bahan baku tebu (90 persen) yang berasal dari petani dengan beragam
keahlian, kemampuan modal, dan minatnya. Sejak 20 tahun terakhir, hampir
semua PG di Jawa mengalami kesulitan memperoleh bahan baku tebu, areal tebu beralih
ke lahan kering, serta beroperasi di bawah kapasitas giling. Semua itu telah
berpengaruh terhadap biaya produksi GKP yang semakin mahal (sekitar Rp 8.000
per kg), padahal PG swasta kurang dari Rp 5.000 per kg.
Pemerintah telah lama
memberikan sejumlah dukungan/subsidi dan proteksi, tetapi sekadar
menghilangkan ”rasa sakit sementara”, tidak menyembuhkan ”penyakit parah”
pada industri gula. Revitalisasi PG milik BUMN dengan perbaikan kapasitas dan
teknologi, termasuk penggabungan PG kecil, semuanya berjalan di tempat.
Demikian juga
perluasan perkebunan tebu di luar Jawa tidak kunjung terwujud. Para investor
”harus berjuang” mencari lahan, tanpa banyak dukungan dari pemerintah
setempat sehingga banyak investor swasta mundur.
Konflik kebijakan
Gula adalah salah satu
komoditas yang sarat kebijakan pemerintah untuk memengaruhi keputusan pelaku
usaha, termasuk konsumen, agar tercapai tujuan nasional swasembada gula.
Namun, kebijakan pergulaan nasional terpilah-pilah antarkementerian/lembaga,
tak bersinergi satu dengan yang lain, belum ada ”koordinator kuat” yang mampu
menggiring ke tujuan nasional.
Masing-masing
kementerian/lembaga, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan, BUMN, BKPM, merancang kebijakan
sektoralnya yang kerap bertentangan dengan tujuan nasional. Konflik
antarkementerian/lembaga kerap terjadi, demikian juga konflik antara petani
tebu, serta produsen GKP dengan produsen gula kristal rafinasi dan importir
gula kristal mentah. Petani tebu rakyat juga berkonflik dengan PG yang
mengolah tebu mereka.Tampaknya, SK Kemendag No 527/2004 tentangKetentuan
Impor Gula sudah ketinggalan zaman sebagai rujukan dalam mengatasi berbagai
konflik tersebut.
Oleh karena itu, fokus
swasembada haruslah, pertama, kebijakan pergulaan nasional agar ditata ulang,
harus mengurangi konflik, tertuju ke tujuan nasional yang sama, yaitu
swasembada, dan mengurangi ketergantungan impor gula. Salah satu
kemungkinannya penerbitan instruksi presiden dengan menunjuk Kemenko
Perekonomian sebagai koordinator. Tingkat swasembada jangan dipatok harus 100
persen, dibuat misalnya 60 persen, ditingkatkan besarannya tiap 2-3 tahun.
Kedua, revitalisasi PG
BUMN harus ditangani serius karena membutuhkan banyak dana yang sulit
ditangani PTPN sehingga perlunya peran swasta dalam penyediaan dana dan
teknologi.
Ketiga, pemerintah
perlu menyediakan areal tebu 350.000 hektar di luar Jawa. Itu akan mendorong
swasta membangun 10 PG modern yang mampu menghasilkan beragam produk, seperti
GKP, gula mentah, dan berbagai produk hilir. Secara bertahap produksi gula
kristal rafinasi diutamakan untuk ekspor. Jangan lagi bangun PG baru di Jawa
serta hentikan peningkatan kapasitas pabrik gula rafinasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar