Guru, ”Sing Digugu lan Ditiru”
Siswono Yudo Husodo ;
Ketua Yayasan Pembina Pendidikan
Universitas Pancasila
|
KOMPAS,
25 November 2015
Tanggal 25 November
adalah Hari Guru. Tak diragukan, sangatlah besar peran guru dalam menyiapkan
generasi penerus bangsa. Dalam bukunya, The
Republic, Socrates menyebut dua profesi yang harus sarjana, yang pada
2.000 tahun sebelum Masehi itu dianggap sebagai orang yang luas
pengetahuannya, arif dan bijaksana, yaitu guru dan anggota parlemen.
Alasannya, guru bertugas menyiapkan generasi yang akan datang dan anggota
parlemen berwenang membentuk aturan untuk hidup bersama dengan baik.
Setelahmendapat
laporan bahwa Jepang takluk kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki
dibom atom, Kaisar Hirohito menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa.
Dengan sekitar 250.000 guru yang masih hidup, Kaisar Jepang menyatakan tekad,
dalam satu generasi, Jepang akan lebih maju dari kondisi sewaktu ditaklukan.
Pada 1960-an, Jepang membuktikan dapat lebih unggul dalam teknologi dan
ekonomi daribanyak negara Barat penakluknya.
Guru dalam tradisi
Jawa merupakan akronim dari ”digugu lan ditiru” (orang yang dipercaya dan
diikuti), bukan hanya bertanggung jawab mengajar mata pelajaran yang menjadi
tugasnya, melainkan lebih dari itu juga mendidik moral, etika, integritas,
dan karakter. Martin Luther King Jr menyatakan, ”Intelegence plus character; that is the true goal of education.”
Saat ini, di Tanah Air
kita, perilaku menyimpang meluas di kalangan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan di masyarakat luas walaupun, pada saat yang sama,
sarana-sarana ibadah dipenuhi jemaah. Kondisi kita seperti Italia, sebuah
negeri maju yang sejahtera, yang gereja-gerejanya di hari Minggu penuh sesak,
bersamaan dengan itu banyak politisinya bermasalah, sistem hukumnya
dipengaruhi suap dan ancaman mafia, penjaranya pun penuh sesak. Berbeda
dengan Austria, yang gerejanya tak penuh, tetapi penjaranya juga kosong.
Dengan kondisi negara kita ini, kalangan pendidik, para guru, bisa jadi
tempat menggantungkan harapan akan negara yang lebih baik ke depan.
Mochtar Lubis, dalam
pidatonya di Taman Ismail Marzuki, 16 April 1977, berjudul ”Manusia
Indonesia”, menekankan, salah satu ciri manusia Indonesia yang harus
diperbaiki adalah enggan dan segan bertanggung jawab karena dampaknya luas.
Di ruang publik kita, ketidaktertiban dan kengerian di jalan raya adalah
pemandangan biasa. Banyak mobil pribadi, angkutan umum ataupun barang, dan
sepeda motor dikemudikan dengan mengabaikan banyak aturan dan mengancam
keselamatan orang lain. Begitu juga orang yang menyeberang di sembarang
tempat.
Sangat memprihatinkan
laporan Global Status Report on Road
Safety yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia 2014, yang menyebutkan
bahwa peningkatan jumlah kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia
menempati urutan tertinggi dunia, dari 80 jiwa per hari tahun 2012 menjadi
120 jiwa per hari tahun 2013. Penggunaan bahan kimia beracun, seperti boraks
untuk jajanan anak sekolah juga menunjukkan sikap tak bertanggung jawab
sebagian orang.
Datangnya musim hujan
membuat Indonesia lepas dari asap kebakaran hutan. Api sebesar gunung dimulai
dari percikan kecil yang dibiarkan membesar. Seluruh daratan Indonesia yang
luasnya 1,9 juta kilometer persegi tak satu jengkal pun yang tak berada di
bawah tanggung jawab kepala desa/lurah, camat, bupati, dan gubernur.
Kebakaran besar ini tugas utama pencegahannya ada di tingkat lokal, yaitu
memadamkan sewaktu api masih kecil.
Revolusi mental
Membangun rasa
tanggung jawab adalah unsur pendidikan yang sangat penting. Sejak Indonesia
merdeka, keinginan membangun nilai-nilai dasar yang unggul selalu ada di tiap
pemerintahan. Bung Karno mencetuskan perlunya revolusimental bagi bangsa
Indonesia dalam pidato HUT RI 17 Agustus 1957. Ia menyadari akibat penjajahan
350 tahun, 14 generasi berturut-turut, rakyat hidup dalam suasana
terjajah/tak berdaulat, ketakutan dan miskin, sehingga membentuk warga bangsa
yang kepercayaan dirinya rendah, terlalu bersikap pasrah, rendah diri, tidak
berani berinisiatif, dan feodal.
Bung Karno ingin
mengubah manusia Indonesia jadi bangsa pejuang yang percaya diri, berdaulat,
dan berdikari. Revolusi Mental dalam Gerakan Hidup Baru. Perangkat yang
dipakai indoktrinasi, dengan materi Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi (Tubapi),
meliputi Pancasila, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, Manifesto Politik, dan Kebudayaan Indonesia.
Pada era Orde Baru,
muncul Penataran P4 (Pendidikan, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) yang
wajib diikuti para siswa sekolah, aparat pemerintah, dan masyarakat. Kedua
program itu terlalu dibebani kepentingan politik pemerintah dan karenanya
target utamanya meningkatkan kualitas mental individu warga bangsa menjadi
meleset. Presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2011 menekankan lima
karakter manusia unggul yang ingin dicapai Indonesia. Karakter itu, pertama,
bermoral, berakhlak, dan berperilaku baik. Kedua, masyarakat yang cerdas dan
rasional. Ketiga, manusia indonesia yang inovatif dan terus mengejar
kemajuan. Keempat, rakyat Indonesia yang bersemangat ”harus bisa”, membuat
solusi dalam setiap kesulitan. Kelima, menjadi patriot sejati yang mencintai
bangsa, negara, dan Tanah Airnya.
Presiden Joko Widodo
juga melihat masalah mental menjadi penghalang besar kemajuan negara kita.
Karena itu, ia mengangkat tema revolusi mental sewaktu kampanye pemilu
presiden. Revolusi, dalam arti perubahan cepat dan drastis. Cara yang
ditempuh antara lain melalui ”bela negara”.
Dengan melihat
dinamika perubahan dunia yang kian tinggi, kita memang harus waspada dan
menyiapkan diri dengan baik. Dua puluh tahun lalu, tak terbayangkan dunia
akan seperti sekarang dengan globalisasi dan interdependensi, yang didorong
oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat cepat serta siasat-menyiasati
yang semakin canggih. Banyak bangsa yang tak bisa menyesuaikan diri dengan
perubahan dahsyat ini. Lima tahun lalu, Libya dan Suriah, walau dengan
kepemimpinan yang imperatif, masih cukup tenang; sekarang, tercabik-cabik
kejamnya perang saudara dengan campur tangan asing terang-terangan.
Di lingkungan bisnis,
angin perubahan berembus sangat kencang. Sepuluh tahun lalu, Nokia adalah
pemimpin pasar telepon seluler. Perusahaan kebanggaan rakyat Finlandia ini
pada September 2013 diakuisisi Microsoft dengan nilai 7,2 miliar dollar AS.
Rajiv Suri,CEO Nokia, menyatakan Nokia tidak melakukan kesalahan, tetapi
dunia berubah terlalu cepat dan Nokia terlena dengan keberhasilannya. Rakyat
Jepang bersedih karena Sony, raksasa elektronik Jepang, baru saja diakuisisi
Samsung dari Korea Selatan. Sony sudah menjadi raksasa ketika Samsung memulai
bisnisnya. Samsung pada 2014 membukukan keuntungan Rp 200 triliun, sementara
Sony merugi Rp 25 triliun.Pasar lebih memilih produk Samsung karena teknologi
Sony terasa kuno dibandingkan Samsung. Samsung mencapai prestasi itu karena
termotivasi mengalahkan Sony. Untuk mengejar Sony, tema kerja di Samsung
adalah ”Ganti segalanya (cara pikir, cara kerja, dan lain-lain) kecuali
istrimu”.
Pendidikan karakter
Mentalitas suatu
bangsa memang bisa diubah. Samsung adalah contoh keberhasilan Korea Selatan
melakukan itu. Dalam biografi Jenderal MacArthur seusai Perang Korea tahun
1950, disebutnya bahwa bangsa Korea tidak akan menjadi bangsa yang maju
karena cirinya feodal, korup, dan bukan bangsa pekerja. Lelaki Korea idaman
wanita Korea waktu itu adalah yang pakaiannya bersih, sepatunya mengilap,
bukan tipe pekerja. Namun, sejarah mencatat Korea Selatan sekarang menjadi
bangsa sangat produktif.Perubahan terjadi terutama sejak era Presiden Park
Chung-hee. Kerja yang sangat efisien tergambar di pabrik-pabrik seantero
Korea Selatan dengan tema kerjanya ”Triple
Zero: zero waste, zero defect, zero lost” (bekerja tanpa limbah, tanpa
kesalahan, dan tanpa pemborosan).
Sebagai suatu bangsa,
nilai unggul yang ingin kita capai perlu jelas, antara lain beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; mencintai Tanah Air, negara, bangsa,
dan bahasa Indonesia; memiliki semangat juang yang tinggi, jujur, tabah,
tegar, berani, dan bertanggung jawab; pekerja keras yang produktif dan
efisien; berwawasan luas, bijaksana, saling menghormati, dan dapat bekerja
sama dengan banyak pihak yang berbeda agama, ras, suku, dan pandangan
politik; bersikap ksatria, kritis, dan konstruktif serta optimistis; setia,
santun, rendah hati, dan memiliki tenggang rasa.
Membangun bangsa
adalah proses tanpa akhir dari satu generasi ke generasi berikutnya dan
setiap generasi bertanggung jawab membangun peradaban dan sistem yang lebih
baik untuk diserahkan kepada dan diteruskan oleh generasi berikutnya.
Pendidikan untuk mengubah karakter ini perlu terus dilaksanakan secara
konsisten sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Bangsa Jepang adalah
bangsa yang sangat sejahtera dan rendah hati, pekerja keras yang santun. Anak-anak
Jepang membersihkan sekolah mereka setiap hariselama seperempat jam
denganpara guru yang memunculkan generasiJepang yang sederhana, suka pada
keberhasilan, dan peka pada lingkungannya. Menjaga kebersihan adalah bagian
dari etika mereka. Siswa Jepang, dari SD kelas I hingga VI, diutamakan
belajar etika yang berguna kelak ketika berinteraksi dengan orang lain di
masyarakat. Sekolah di Jepang memang mengutamakan pembentukan karakter.
Bangsa Jepang yang sangat makmur juga sangat efisien dan hemat. Di restoran
Jepang, setelah selesai makan, piring sangat bersih, tak ada makanan tersisa.
Ini diajarkan sejak anak-anak.
Sekolah memang tempat
utama membentuk wawasan mengenai negara, bangsa, dan masyarakat. Tugas guru
di sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang ilmu pengetahuan dan
keterampilan, melainkan juga mendidik dan membentuk kepribadian, karakter,
integritas, moral, dan etika siswa sebagai orang Indonesia. Thomas Jefferson
menyatakan, ”Built Nation Built
School.” Penugasan kepada guru di sekolah sejak TK sampai dosen di
perguruan tinggi untuk membentuk sifat-sifat unggul bangsa kita adalah tepat
karena guru dibekali ilmu pedagogi yang akan lebih mampu mengubah dan
memotivasi anak didiknya.
Pelajar dan mahasiswa
berada pada usia pembentukan wataknya. Penulis pada usia 73 tahun ini masih
merasakan kuatnya kesan ketika menjadi siswa SMP (sekarang SLTP) kelas I
tahun 1955; 60 tahun lalu ketika berdarmawisata di Candi Borobudur. Guru
Aljabar (sekarang Matematika), di hadapan sekitar 50 siswa, mengatakan, ”Candi besar ini dibangun pada abad ke-8
oleh Dinasti Syailendra dengan arsiteknya Gunadharma. Ini adalah candi umat
Buddha dan, 100 tahun sebelumnya, beberapa ratus meter dari tempat ini telah
berdiriCandi Mendut, candinya umat Hindu. Pada abad ke-17, di dekat sini
berdiri masjid dan pada abad ke-18 tak jauh dari sini berdiri gereja. Ratusan
tahun umat beragama masing-masing agama khusyuk di tempat peribadatannya
masing-masing dengan damai.”
Nilai toleransi dan
saling menghormati itu didengar siswa, mengendap dalam hati, serta mewarnai
caraberpikir dan bersikap. Penulis juga masih ingat ketika dosen favorit di
Jurusan Sipil ITB, Prof DR Ir Rooseno, teman Bung Karno, mengawali kuliah
pada 1963 dengan mengatakan, ”Bapak kemarin bertemu Bung Karno. Beliau gusar
karena harapannya agar perusahaan-perusahaan asing yang mengelola
pertambangan kita mengolahnya di sini dan tidak menjadikan Indonesia sekadar
eksportir bahan baku tidak mendapatkan tanggapan yang memadai. Dengan geram
Bung Karno menyatakan: kalau putra-putri Indonesia belum mampu mengolah
sendiri kekayaan alam tambang-tambang kita, biarkan tetap tersimpan di dalam
bumi Ibu Pertiwi. Kita tunggu sampai anak cucu kita nanti mampu mengolahnya
sendiri.” Cerita Rooseno selama dua menit, 52 tahun yang lalu itu, mengendap
kuat di dalam alam pikir mahasiswa Sipil ITB dan mewarnai sikap politik
ideologi mahasiswa pendengarnya.
Kiranya negara perlu
menugasi semua guru dan dosen agar, setiap kali mengajar ilmu yang menjadi
tanggung jawabnya, menyisihkan waktu tiga menit untuk mendidik dengan
menyampaikan contoh-contoh nilai kehidupan yang luhur, baik dari
pengalamannya pribadi, keteladanan tokoh-tokoh, atau dari buku-buku.
Pendidikan karakter, moral, etika, dan integritas oleh guru di sekolah sangat
penting karena banyak orangtua murid keduanya bekerja dan di masyarakat luas
terjadi tontonan yang tak edukatif oleh para elite. Semoga dalam waktu
singkat masyarakat Indonesia bisa berubah seperti Korea Selatan dan
termotivasi seperti Jepang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar