Kerja Sama Sipil dan Militer
Sjafrie Sjamsoeddin ; Siswa Kursus Krisis Manajemen
NATO School berammergau, Jerman
|
KOMPAS,
23 November 2015
Seluruh dunia terenyak
oleh serangan teror bom yang terjadi di Paris, Perancis.
Tragedi Paris itu membuka
mata dan pikiran semua pihak, dunia menghadapi ancaman yang tidak hanya
datang dari aktor negara (state actors),
tetapi nyatanya ada ancaman dari non-state
actors. Para pelaku serangan teror di Paris bukanlah pasukan negara
asing, melainkan kelompok masyarakat bersenjata.
Tantangan global kini
dan mendatang mengindikasikan dunia tidak lepas dari ketidakpastian politik
dan ekonomi. Ada kepentingan politik global dan pergeseran kekuatan ekonomi
yang dipastikan besar efek negatifnya bagi negara lain. Pada sisi strategis
lain, terjadi pergeseran kekuatan militer dari persenjataan pemusnah massal
beralih ke intensitas diseminasi teknologi canggih, baik yang berawak (manned) maupun tidak (unmanned), yang dioperasikan dalam
perang asimetris secara inkonvensional. Juga hadir mandala perang baru dalam
teknologi informasi, yaitu cyber war.
Fenomena strategis lainnya, korupsi dan disloyal people terhadap integrasi
nasional terutama yang berciri plural.
Jika mendalami
observasi global, ada faktor yang dominan berpengaruh, yaitu geopolitik, power, kepentingan ditambah kebudayaan
yang memengaruhi terjadinya krisis suatu negara. Bagi Indonesia, yang
dibutuhkan adalah respons bersama: kerja sama bahu-membahu sipil dan militer
melindungi negara.
Saat ini interaksi sipil
dan militer sudah mendunia menyelesaikan semua permasalahan kelangsungan
hidup kemanusiaan dan kenegaraan. Bahkan, itu menjadi strategi solusi di era
demokrasi. Lihat saja bagaimana Perancis menangani serangan teror saat 1.500
anggota pasukan militer langsung diterjunkan untuk ikut menangani persoalan.
Hal yang sama
dilakukan AS saat menghadapi serangan teror 11 September 2001 dan badai
Katrina di New Orleans tahun 2005. Krisis yang terjadi tak hanya ditangani
kekuatan sipil, tetapi juga melibatkan militer. Federal Emergency Management Agency yang dimiliki AS merupakan
lembaga negara yang bekerja lintas sektoral dan bertugas menangani semua
situasi krisis yang terjadi di negeri itu.
Pendekatan
mutualistis, interdependensi, serta konsultasi individu dan institusi telah
menjadi suatu kekuatan preventif yang dibangun dalam kerangka kerja sama
sipil dan militer. Interaksi sipil dan militer mengenal tiga elemen: (1)
bertukar informasi kapasitas, (2) membangun tim kerja dan pelatihan bersama
lintas sektor sipil dan militer, (3) menyusun program bersama.
Secara universal
dikenal dua tipe misi militer dan sipil bekerja sama. Dalam misi kemanusiaan
disebut humanitarian action, sedangkan misi politik negara disebut military
action. Pengerahan kekuatan militer jadi kewenangan keputusan politik
otoritas sipil yang berdaulat, yang lingkup penugasan militer pada area
stabilisasi dan rekonstruksi krisis.
Kapabilitas sipil
sangat dominan dalam interaksi sipil dan militer. Area profesi sipil
berkembang pesat tampak dari berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi
hardware dan software, medis, legal, manajemen lingkungan, ekonomi bisnis,
dan teknologi informasi. Peran militer bersifat ultima ratio, bukan penentu
akhir, melainkan menjadi elemen utama negara untuk menyelamatkan dan
mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara pada kondisi krisis. Oleh
karena itu, penugasan perlu kejelasan batas waktu dan skala penugasan.
Militer profesional menjalankan misi berpegang pada prinsip netral dan
imparsial.
Spektrum kerja sama
Perlu kemauan politik
untuk merumuskan konsep strategi terintegrasi operasionalisasi kerja sama
sipil dan militer dalam manajemen krisis. Para teknokrat profesional sipil
bekerja sama dengan personel militer dalam suatu misi gabungan merespons
krisis. Faktor dominan kontrol parlemen dan arahan strategis dalam regulasi
diperlukan untuk melegitimasi kerja sama ini.
Dalam era masyarakat
madani, masa kini dan mendatang, kerja sama sipil dan militer menempati ruang
yang luas. Indonesia sudah membangun peta jalan kerja sama mutualistis dan
merevitalisasi peran militer. Tentunya kita tak bisa berhenti, bahkan
diharapkan terus dilakukan optimalisasi dan sistematika oleh negara. Kita tak
boleh terkendala faktor psikologis dan traumatis, tetapi lebih bijak memandang
perlunya integrasi nasional menghadapi tantangan masa depan.
Esensi manajemen
krisis adalah kepemimpinan dan manajemen yang dikembangkan secara
terintegrasi dan terkendali. Faktor penting dalam manajemen krisis adalah
kemampuan mengambil keputusan cepat guna mengatasi krisis dengan menggunakan
sumber daya dan kemampuan seluruh kekuatan pertama yang ada. Semua unit
pendukung kedaruratan harus cepat dimobilisasi ke daerah krisis. Informasi
merupakan fakta yang dominan dalam manajemen krisis untuk mengantisipasi,
merencanakan, dan mengendalikan krisis. Informasi mengenai infrastruktur (critical infrastructure) yang
mempunyai nilai vital dan strategis harus menjadi bagian penting dalam
manajemen mengantisipasi serangan teroris. Beberapa serangan teror terjadi
disebabkan kegagalan melakukan identifikasi dan pengamanan wilayah sebagai
pencegahan.
Dalam bidang teknologi
informasi, kita sudah memiliki berbagai teknologi canggih. Hanya saja untuk
efektivitasnya, kita perlu dukungan traditional
resources yang di Indonesia dikenal dengan pembinaan teritorial.
Merekalah sumber informasi pertama yang diperlukan untuk melakukan respons
cepat. Pengalaman menunjukkan manajemen krisis juga butuh dukungan manajemen
operasi media. Media perlu memperoleh sebanyak mungkin informasi tepat waktu.
Fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit serta keperluan mendasar
masyarakat akan jadi perhatian media. Untuk itu, penanganannya harus
diutamakan.
Satu yang tak boleh
dilupakan adalah ancaman siber. Ancaman siber tak mematikan, tetapi
melumpuhkan sistem negara. Mengingat perang siber ini tak kenal batas dan
waktu, organisasi internasional seperti NATO perlu mengambil inisiatif untuk
merancang pertahanan internasional siber. Di Indonesia dilakukan interaksi
dengan para hacker untuk merespons suatu pusat pertahanan perang siber. Ada
keperluan untuk merancang strategi pertahanan siber secara terintegrasi guna
mengamankan kepentingan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar