Kamis, 26 November 2015

Demokrasi Kita

Demokrasi Kita

Asep Salahudin  ;  Dekan Fakultas Syariah IAILM;
Dosen FISS Universitas Pasundan Bandung
                                           MEDIA INDONESIA, 25 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

“Di mana-mana orang merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya. Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin merosot.... Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik semata.“

NARASI di atas ialah kutip an dari Bung Hatta yang ditulis 1962. Tentu Bung Hatta tidak hendak menyindir situasi politik keindonesiaan awal abad ke-21. Seandainya gambaran itu sama persis dengan kondisi negara hari ini, bukan juga tersebab Bung Hatta ahli nujum, tapi sesungguhnya bisa jadi ada rute perjalanan bangsa yang keliru kita tempuh.

Seandainya dwitunggal itu tanggal, Soekarno dan Hatta terpaksa berpisah pada 1956, perpisahan ini salah satu musababnya karena dalam pandangan Bung Hatta, Bung Karno terlampau sibuk mengurus politik bahkan ditahbiskannya sebagai daulat utama dan nyaris tidak pernah berhenti memuja elan revolusi yang sejak awal diimaninya belum selesai apalagi setelah demokrasi terpimpin diterapkan. Sementara itu, aspek tindakan harian seperti ekonomi yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak menjadi terlupakan. Di persimpangan ini keduanya mengambil jalan berbeda walaupun sejatinya keduanya memiliki mimpi yang sama; mempercepat kesejahteraan agar dapat dirasakan segenap warga.

Di titik ini bacaan Bung Hatta tidak meleset, politik selalu hanya menyisakan kebisingan dan sisanya ialah memperbanyak friksi yang apabila tidak terkelola dengan baik senantiasa berujung pada pergolakan. Sejarah mencatat entitas rezim Soeharto dengan mesin politik Golongan Karyanya ternyata tidak lebih bagus dari orde sebelumnya.

Hikayat kekuasaan yang dianggitnya dibangun di atas tiga kaki. Kaki pertama, memutus segala ihwal yang berbau Orde Lama bahkan tidak saja mazhab politik ‘kiri’ yang harus disingkirkan diburu dan dibinasakan, aliansi ‘kanan’ pun mendapatkan nasib serupa. Yang kedua, menerapkan teror sebagai siasat untuk menghentikan seluruh anasir yang diindikasikan dapat merontokkan wibawa penguasa. Ketiga, indoktrinasi melalui penataran P4, Darma Wanita, Kelompencapir, Safari Ramadan, dan lainnya menjadi media untuk menginjeksikan politik hegemoni: tafsir di luar yang direstui kaum penguasa dianggap liar.

Ekonomi yang dijadikan panglima melalui jargon pembangunan yang dikemas lewat Pelita dan Repelita pada gilirannya hanya menjadi pepesan kosong. Krisis Moneter 1997, yang dalam segenap telah merontokkan seluruh capaian itu, telah menunjukkan bahwa kita benar-benar telah ‘tinggal landas’, bukan menjadi macan Asia melainkan bahan tertawaan negeri tetangga.

Pekik politik

Setelah Orde Baru rontok, presiden datang silih berganti, mungkin satu yang bisa kita syukuri: perayaan kebebasan. Politik kembali menjadi pemenang. Orang menyebut kita menjadi negara di belahan Asia yang paling demokratis. Tidak saja anggota dewan yang dipilih langsung, tetapi takhta presiden, gubernur, bupati, dan kepala desa juga ditentukan suara warga.

Sayang, bersama kemenangan demokrasi, lambat tapi pasti kaum oligarki juga melakukan konsolidasi. Diam-diam demokrasi itu pun bermetamorfosis menjadi oligarki seperti dalam kajian Jeffrey Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia (Prisma, 2014), bahwa ketidaksetaraan material yang ekstrem telah menghasilkan ketidaksetaraan politik yang juga ekstrem. Dengan semakin tidak meratanya distribusi kekayaan dan semakin dibesar-besarkannya kekuasaan dan pengaruh orang kaya, kesenjangan material semakin intens mewarnai tujuan politik kaum oligarki.

Inilah penelitian Winters yang menggambarkan kaum oligarki bukan hanya menguasai sektor ekonomi, melainkan juga pada gilirannya telah ekspansi ke sektor politik yang pada akhirnya telah membuat keadilan hukum menjadi tertahan “...rata-rata kekayaan bersih 40 kaum oligarki terkaya di Indonesia lebih dari 630 ribu kali lipat PDB per kapita Indonesia. Meskipun kaum oligarki itu kurang dari 2 per 1 juta jumlah penduduk, gabungan aset mereka setara dengan 10% PDB. Sekalipun kita memperluas lensa pengamatan hingga mencakup 43 ribu orang Indonesia dengan aset keuangan lancar sekitar US$1 juta, hasilnya masih menunjukkan konsentrasi sumber daya kekuasaan material sangat besar tetap di tangan segelintir orang.”

Ini juga yang menjadi alasan paling pokok betapa kemudian demokrasi itu tidak kunjung membuahkan kesejahteraan, tegaknya keadilan, pemuliaan HAM, perbaikan pendidikan, dan keinsafan berdiri seimbang dihadapan hukum. Ternyata bukan demokrasi substansial yang tengah kita rayakan, melainkan prosedural dan boleh jadi artifisial.

Di titik ini menjadi tak terelakkan mencuatnya fenomena anomali. Tidak saja korupsi yang meruyak, malah dengan gampang skemanya menumpang risalah otonomi daerah yang dimaknai secara salah kaprah.

Relevansi

Di sini saya melihat betapa renungan-renungan Hatta menjadi relevan untuk kita simak. Hatta tidak pernah berhenti berijtihad mencari bentuk demokrasi yang paling relevan dengan konteks keindonesiaan.

Bagi Hatta, berpolitik yang benar harus senantiasa diiringi dengan keinsafan tegaknya daulat rakyat dengan cara mendidiknya secara benar, menata ekonomi dengan betul, dan di atas semua itu hal ihwal yang menyangkut hajat publik harus diselesaikan di atas hujjah akal sehat dengan cara ‘musyawarah mufakat’. Demokrasi desa telah memberikan contoh nyata bagaimana masyarakat kita sesungguhnya selalu menyelesaikan hal ihwal dengan cara mufakat, tolong-menolong, dan keberanian untuk ‘interupsi’ karena ketidaksepakatan tetap dihargai.

Demokrasi dengan kesadaran seperti ini yang pada gilirannya dapat mendefinisikan Indonesia secara nyata seperti dinyatakan dalam Sesudah 25 Tahun (1972), “Apakah yang dimaksud Indonesia yang adil? Indonesia yang adil maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan kepada seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya diperlakukan secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat.”

Jika tidak, rumusan keindonesiaan itu akan tetap timpang. Indonesia hanya dinikmati segelintir orang. Hiruk-pikuk kasus calo saham yang melibatkan ketua DPR dan kelompok kepentingan lainnya, bagi saya, melambangkan bagaimana negara ini dikelola dengan cara-cara primitif, cara-cara menghinakan akal sehat. ‘Kasus’ Setya Novanto seakan memberikan konfirmasi apa yang dirisaukan Mohammad Hatta bahwa keuangan negara telah dirampok kaum politikus yang telah tercerabut dari khitah keutamaan politik, “Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik semata.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar