Demokrasi Kita
Asep Salahudin ;
Dekan Fakultas Syariah IAILM;
Dosen FISS Universitas Pasundan
Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 25 November 2015
“Di mana-mana orang
merasa tidak puas. Pembangunan tak berjalan sebagaimana semestinya.
Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin
merosot.... Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik
semata.“
NARASI di atas ialah kutip an dari Bung Hatta
yang ditulis 1962. Tentu Bung Hatta tidak hendak menyindir situasi politik
keindonesiaan awal abad ke-21. Seandainya gambaran itu sama persis dengan
kondisi negara hari ini, bukan juga tersebab Bung Hatta ahli nujum, tapi
sesungguhnya bisa jadi ada rute perjalanan bangsa yang keliru kita tempuh.
Seandainya dwitunggal itu tanggal, Soekarno
dan Hatta terpaksa berpisah pada 1956, perpisahan ini salah satu musababnya
karena dalam pandangan Bung Hatta, Bung Karno terlampau sibuk mengurus
politik bahkan ditahbiskannya sebagai daulat utama dan nyaris tidak pernah
berhenti memuja elan revolusi yang sejak awal diimaninya belum selesai
apalagi setelah demokrasi terpimpin diterapkan. Sementara itu, aspek tindakan
harian seperti ekonomi yang langsung bersentuhan dengan hajat hidup orang
banyak menjadi terlupakan. Di persimpangan ini keduanya mengambil jalan
berbeda walaupun sejatinya keduanya memiliki mimpi yang sama; mempercepat
kesejahteraan agar dapat dirasakan segenap warga.
Di titik ini bacaan Bung Hatta tidak meleset,
politik selalu hanya menyisakan kebisingan dan sisanya ialah memperbanyak
friksi yang apabila tidak terkelola dengan baik senantiasa berujung pada
pergolakan. Sejarah mencatat entitas rezim Soeharto dengan mesin politik
Golongan Karyanya ternyata tidak lebih bagus dari orde sebelumnya.
Hikayat kekuasaan yang dianggitnya dibangun di
atas tiga kaki. Kaki pertama, memutus segala ihwal yang berbau Orde Lama
bahkan tidak saja mazhab politik ‘kiri’ yang harus disingkirkan diburu dan
dibinasakan, aliansi ‘kanan’ pun mendapatkan nasib serupa. Yang kedua,
menerapkan teror sebagai siasat untuk menghentikan seluruh anasir yang
diindikasikan dapat merontokkan wibawa penguasa. Ketiga, indoktrinasi melalui
penataran P4, Darma Wanita, Kelompencapir, Safari Ramadan, dan lainnya
menjadi media untuk menginjeksikan politik hegemoni: tafsir di luar yang
direstui kaum penguasa dianggap liar.
Ekonomi yang dijadikan panglima melalui jargon
pembangunan yang dikemas lewat Pelita dan Repelita pada gilirannya hanya
menjadi pepesan kosong. Krisis Moneter 1997, yang dalam segenap telah
merontokkan seluruh capaian itu, telah menunjukkan bahwa kita benar-benar
telah ‘tinggal landas’, bukan menjadi macan Asia melainkan bahan tertawaan
negeri tetangga.
Pekik politik
Setelah Orde Baru rontok, presiden datang
silih berganti, mungkin satu yang bisa kita syukuri: perayaan kebebasan.
Politik kembali menjadi pemenang. Orang menyebut kita menjadi negara di
belahan Asia yang paling demokratis. Tidak saja anggota dewan yang dipilih
langsung, tetapi takhta presiden, gubernur, bupati, dan kepala desa juga ditentukan
suara warga.
Sayang, bersama kemenangan demokrasi, lambat
tapi pasti kaum oligarki juga melakukan konsolidasi. Diam-diam demokrasi itu
pun bermetamorfosis menjadi oligarki seperti dalam kajian Jeffrey Winters, Oligarki dan Demokrasi di Indonesia
(Prisma, 2014), bahwa ketidaksetaraan material yang ekstrem telah
menghasilkan ketidaksetaraan politik yang juga ekstrem. Dengan semakin tidak
meratanya distribusi kekayaan dan semakin dibesar-besarkannya kekuasaan dan
pengaruh orang kaya, kesenjangan material semakin intens mewarnai tujuan
politik kaum oligarki.
Inilah penelitian Winters yang menggambarkan
kaum oligarki bukan hanya menguasai sektor ekonomi, melainkan juga pada
gilirannya telah ekspansi ke sektor politik yang pada akhirnya telah membuat
keadilan hukum menjadi tertahan “...rata-rata
kekayaan bersih 40 kaum oligarki terkaya di Indonesia lebih dari 630 ribu
kali lipat PDB per kapita Indonesia. Meskipun kaum oligarki itu kurang dari 2
per 1 juta jumlah penduduk, gabungan aset mereka setara dengan 10% PDB. Sekalipun
kita memperluas lensa pengamatan hingga mencakup 43 ribu orang Indonesia
dengan aset keuangan lancar sekitar US$1 juta, hasilnya masih menunjukkan
konsentrasi sumber daya kekuasaan material sangat besar tetap di tangan
segelintir orang.”
Ini juga yang menjadi alasan paling pokok
betapa kemudian demokrasi itu tidak kunjung membuahkan kesejahteraan,
tegaknya keadilan, pemuliaan HAM, perbaikan pendidikan, dan keinsafan berdiri
seimbang dihadapan hukum. Ternyata bukan demokrasi substansial yang tengah
kita rayakan, melainkan prosedural dan boleh jadi artifisial.
Di titik ini menjadi tak terelakkan mencuatnya
fenomena anomali. Tidak saja korupsi yang meruyak, malah dengan gampang
skemanya menumpang risalah otonomi daerah yang dimaknai secara salah kaprah.
Relevansi
Di sini saya melihat betapa renungan-renungan
Hatta menjadi relevan untuk kita simak. Hatta tidak pernah berhenti
berijtihad mencari bentuk demokrasi yang paling relevan dengan konteks
keindonesiaan.
Bagi Hatta, berpolitik yang benar harus
senantiasa diiringi dengan keinsafan tegaknya daulat rakyat dengan cara
mendidiknya secara benar, menata ekonomi dengan betul, dan di atas semua itu
hal ihwal yang menyangkut hajat publik harus diselesaikan di atas hujjah akal
sehat dengan cara ‘musyawarah mufakat’. Demokrasi desa telah memberikan
contoh nyata bagaimana masyarakat kita sesungguhnya selalu menyelesaikan hal
ihwal dengan cara mufakat, tolong-menolong, dan keberanian untuk ‘interupsi’
karena ketidaksepakatan tetap dihargai.
Demokrasi dengan kesadaran seperti ini yang
pada gilirannya dapat mendefinisikan Indonesia secara nyata seperti
dinyatakan dalam Sesudah 25 Tahun
(1972), “Apakah yang dimaksud Indonesia
yang adil? Indonesia yang adil maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan
kepada seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya diperlakukan
secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga negara. Itu akan
berlaku apabila pemerintahan negara dari atas sampai ke bawah berdasarkan
kedaulatan rakyat.”
Jika tidak, rumusan keindonesiaan itu akan
tetap timpang. Indonesia hanya dinikmati segelintir orang. Hiruk-pikuk kasus
calo saham yang melibatkan ketua DPR dan kelompok kepentingan lainnya, bagi
saya, melambangkan bagaimana negara ini dikelola dengan cara-cara primitif,
cara-cara menghinakan akal sehat. ‘Kasus’ Setya Novanto seakan memberikan
konfirmasi apa yang dirisaukan Mohammad Hatta bahwa keuangan negara telah
dirampok kaum politikus yang telah tercerabut dari khitah keutamaan politik, “Perkembangan demokrasi pun telantar
karena percekcokan politik semata.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar