Pengampunan Pajak
Todung Mulya Lubis ;
Senior Partner Lubis, Santosa & Maramis
Law Firm
|
KOMPAS,
27 November 2015
Wacana pengampunan
pajak yang banyak diperbincangkan oleh dunia usaha sudah menghasilkan sebuah
rancangan undang-undang, yaitu Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak. RUU
ini belum diajukan ke DPR, tetapi menurut kabar burung, RUU ini akan segera
diajukan ke DPR dalam waktu dekat, mungkin sebelum tahun ini berakhir.
Sejak awal, saya
mempunyai reservasi mengenai gagasan pengampunan pajak karena saya khawatir
bahwa tujuan pengampunan pajak itu tidak akan berhasil. Pengampunan pajak
hanya akan memberikan keuntungan yang tak seharusnya dinikmati oleh mereka
yang seharusnya membayar pajak terutang. Apalagi, kita semua tahu bahwa pengusaha
atau hampir semua wajib pajak selalu memperbesar pengeluaran dan belanja
untuk memperkecil kewajiban pajak terutang.
Lebih jauh, para
konsultan pajak bisa memberi nasihat yang memungkinkan untuk minimalkan
kewajiban pajak terutang. Semua ini masih dalam kerangka peraturan
perundang-undangan. It is legal.
Semua peraturan perundang-undangan tentang pajak di mana pun di dunia ini
memiliki loopholes atau celah-celah
hukum dan loopholes inilah yang
sering dimanfaatkan oleh pengusaha dan wajib pajak lain untuk mengurangi
kewajiban pajak terutang.
Khusus untuk
Indonesia, kecenderungan mengurangi jumlah kewajiban pajak terutang sebagian
juga dipicu oleh ketidakpercayaan terhadap institusi dan aparat pajak yang
ditengarai tak menggunakan uang pajak sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat
pembayar pajak. Sebagian uang pajak itu menguap. Jadi, untuk apa jujur
membayar pajak?
Kongkalikong wajib
pajak dengan instansi dan aparat pajak ditopang oleh kewajiban wajib pajak
melakukan self-assessment
(menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak terutang) dan atas
dasar itu pajak terutang dihitung. Pemerintah berasumsi bahwa semua wajib
pajak adalah orang atau pengusaha yang jujur. Pengusaha dan wajib pajak
berpegangan pada dalil bahwa sepanjang itu diperbolehkan, mengapa harus
membayar pajak dalam jumlah besar?
Kalau bisa
diminimalkan jumlah kewajiban pajak terutang, mengapa harus dimaksimalkan?
Sikap hakiki dari pengusaha dan wajib pajak adalah mencari semua keringanan
pajak. Bagi yang terlalu berani mengambil risiko, mereka melakukan tax avoidance (penghindaran pajak
dengan memakai cara-cara legal) dan tax
evasion (penghindaran pajak dengan memakai cara-cara ilegal).
Banyak kewajiban
Ada hal lain yang
membuat pengusaha tak begitu gembira membayar pajak, yaitu banyaknya
kewajiban pengusaha membayar semacam pajak, tetapi bukan pajak. Kewajiban
itu, misalnya, berupa biaya keamanan, baik itu kepada aparat keamanan maupun
preman, suap dan upeti dalam pengurusan surat izin usaha, biaya hubungan baik
dengan pejabat atau keluarganya, bunga bank, serta biaya-biaya lain yang
sering tak bisa dihindarkan. Ketika ada pilkada atau pemilu, pengusaha akan
menjadi donatur utama. Ada lagi biaya lain, tergantung kondisi dan situasi.
Jadi, kalau semua dihitung, para pengusaha akan merasa Indonesia adalah
tempat berbisnis biaya tinggi (high
cost economy).
Dalam kondisi seperti
ini, gagasan pengampunan pajak sudah barang tentu akan disambut gembira oleh
semua pengusaha dan wajib pajak karena akan meringankan. Namun, pertanyaannya
adalah apa sesungguhnya tujuan utama pengampunan pajak ini? Mungkin ada
beberapa tujuan yang hendak dicapai, tetapi salah satu tujuan utamanya adalah
menarik kembali uang Indonesia yang parkir di luar negeri, uang yang
kebanyakan sudah diinvestasikan dalam berbagai bentuk, atau uang yang sudah
dicuci dalam berbagai proyek.
Apakah uang-uang
tersebut akan kembali karena ada pengampunan pajak? Terus terang saya tak
sepenuhnya yakin bahwa pengampunan pajak akan mendorong para pengusaha
membawa uang mereka kembali ke Indonesia. Buat para pengusaha, money doesn’t smell. Uang juga tak
mengenal kewarganegaraan. Money does
not have nationality. Jadi, uang itu tak terpengaruh oleh pengampunan
pajak. Uang itu akan datang jika ada peluang (opportunity) bisnis yang memberikan keuntungan (profit). Untuk itu, diperlukan
berbagai kemudahan, seperti kemudahan dalam hal perizinan, kepemilikan tanah
dan bangunan, tenaga kerja yang relatif murah, sumber daya alam, kepastian
hukum, dan stabilitas politik serta keamanan. Kalau semua ini ada, modal akan
datang karena dalam penanaman modal, asing dan domestik, yang paling penting
adalah iklim bisnis yang kondusif.
Badan hukum asing
Adalah penting untuk
bersikap realistis bahwa uang yang akan dibawa masuk itu sangat mungkin memakai
kendaraan bisnis asing, apakah badan hukum Singapura, Malaysia, Hongkong,
Tiongkok, atau negara lain. Atau juga dari Cayman Island dan British Virgin
Island. Sekarang saja mereka sudah masuk melalui berbagai badan hukum asing.
Jadi, praktis uang Indonesia sudah ada yang kembali, tetapi tak bisa lagi
diidentifikasi sebagai uang milik orang atau pengusaha Indonesia. Dan, ke
depan, tampaknya kecenderungan ini tak akan berubah.
Yang penting disadari
adalah bahwa kita bersaing dengan negara lain dalam menggaet penanaman modal.
Vietnam, Myanmar, Filipina, Thailand, Kamboja, dan yang lain sedang
menawarkan iklim bisnis yang lebih kondusif dan modal akan datang ke negara
dengan iklim bisnis yang lebih kondusif. Persaingan kita bukan lagi sektoral,
persaingan kita sudah bersifat regional dan internasional. Di sini,
pengalaman saya sebagai konsultan hukum bisnis meyakinkan saya bahwa
pengampunan pajak bukanlah obat mujarab yang akan serta-merta menarik minat
pengusaha datang berinvestasi. Perlu lebih dari sekadar pengampunan pajak.
Saya menyadari bahwa
pemerintah ingin mengejar pertumbuhan ekonomi 7 persen seperti yang
dikampanyekan Presiden Joko Widodo. Saya mengapresiasi itu. Namun, kita mesti
melihat investasi dalam kacamata yang holistik. Pengampunan pajak hanya satu
bagian kecil. Kita perlu kebijakan menyeluruh yang menjamin investment sustainability. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar