Saatnya Melumat Islamic State (IS)
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for
Democracy Education (IDe)
|
MEDIA
INDONESIA, 18 November 2015
HANYA dalam waktu satu bulan, Islamic State (IS) berhasil melancarkan empat teror di empat
negara berbeda, membunuh sekitar 500 orang tak berdosa. Pada 10 Oktober, IS
meneror Turki dengan dua bom kembar di Ankara yang menewaskan 112 orang. Tiga
minggu kemudian (31/10), khilafat
teror itu menanam bom di pesawat Metrojet Airbus A321 milik Rusia yang
kemudian meledak di langit Gurun Sinai, Mesir, dan menewaskan seluruh 224
turis Rusia.
Dua hari sebelum rangkaian teror di Paris (11/11), bom
bunuh diri di Beirut selatan, Libanon, hunian komunitas Syiah menewaskan 43
orang, sedangkan bom di Paris membunuh sedikitnya 129 orang. Semua sasaran
teror di atas terkait dengan keterlibatan negara mereka secara langsung atau
tidak langsung dalam perang melawan IS.
Prancis sejak September tahun lalu sudah terlibat dalam
perang melawan IS; Turki baru terlibat setelah serangan bom IS terhadap Kota
Suruc pada 20 Juli; sedangkan Rusia sejak 30 September 2015 mengoperasikan
berbagai senjata, khususnya pesawat tempur, untuk menyerang sasaran-sasaran
IS di Suriah. Pemerintahan Libanon tidak terlibat, tapi milisi Syiah
Hizbullah asal Libanon sudah lama ikut berperang melawan IS bersama pasukan
Presiden Bashar al-Assad.
Di antara empat kejadian ini, teror di Beirut nyaris tak
terdengar dan teror di Paris justru paling menggemparkan. Penyebabnya, teror
di Paris terjadi di salah satu pusat peradaban dunia. Penyebab lain, teror
itu berlangsung di tujuh tempat berbeda dalam waktu hampir bersamaan. Lepas
dari itu, teror ini mengungkapkan adanya kelemahan serius di tubuh intelijen Prancis.
Bagaimana mungkin pihak
intelijen tidak mencium adanya ancaman teror padahal Prancis terlibat
langsung dalam perang melawan IS dan ratusan warganya yang berperang bersama
rezim zalim itu sudah kembali ke Prancis. Lebih jauh, sehari sebelum teror
Paris, pihak intelijen Irak telah memberi tahu Prancis soal adanya rencana IS
menyerang Paris.
Teror Paris dan teror-teror sebelumnya
merupakan pesan IS bahwa ia dapat menjangkau dan menghukum negara mana pun
yang memusuhinya.
IS memang menggunakan taktik teror yang sangat mengerikan untuk menurunkan
nyali lawan-lawannya. Apalagi, koalisi anti-IS,
termasuk Prancis, terkesan tidak tegas dalam memerangi IS. Melalui
kapal induk Charles de Gaulle di Teluk Persia, Prancis melakukan serangan
terbatas terhadap sasaran-sasaran IS di Irak dan Suriah.
Sementara negara-negara Arab
anggota koalisi tidak lagi bersemangat menyerang IS dan lebih sibuk dengan
perang di Yaman yang langsung terkait dengan kepentingannya mengonter Iran. Kendati telah menyatakan perang
terhadap IS, kenyataannya Turki lebih sibuk memerangi milisi Kurdi, seperti
Partai Pekerja Kurdistan (PKK) ketimbang IS. Hanya serangan udara AS yang
paling konsisten menyerang IS, tetapi ia tidak didukung pasukan darat–yang
merupakan inti angkatan perang yang memadai.
AS hanya mengandalkan milisi Kurdi di Irak (Peshmerga),
milisi Syiah, dan pasukan pemerintah Irak. Di Suriah, AS mengandalkan milisi
Kurdi Suriah (YPG) yang hanya fokus pada pembebasan wilayah Kurdi di timur
laut Suriah. Upaya AS merekrut dan melatih warga Suriah keturunan Turki gagal
total. Akibat konsistensi
sikap Presiden AS Barack Obama untuk tidak mengirim angkatan darat dalam
jumlah besar ke Timur Tengah perlu dipertanyakan, mengingat tanpa pasukan
darat yang terlatih baik serta persenjataan canggih, sulit mengalahkan IS.
Toh, milisi revolusioner semacam IS selalu lebih superior dari tentara
konvensional.
Pasukan rezim Suriah tidak dapat diandalkan. Selain harus
menghadapi ratusan kelompok oposisi, Presiden Bashar al-Assad nampak tidak
tertarik untuk memerangi IS pada saat ini, untuk dijadikan kartu
tawar-menawar dengan pihak Barat terkait dengan kelangsungan hidup rezimnya. Rusia juga bersikap sama, yakni lebih sibuk memerangi
kelompok oposisi ketimbang IS. Rusia ingin menyelesaikan krisis Suriah
melalui perundingan antara rezim al-Assad dan oposisi tempat rezim al-Assad
dalam posisi kuat.
Untuk itu, posisi militer oposisi harus dilemahkan dulu
untuk memaksa mereka maju ke meja perundingan dalam kedudukan lemah vis a vis rezim al-Assad.
Menyelamatkan Bashar al-Assad adalah tujuan utamanya berperang di Suriah demi
terjaganya pangkalan angkatan laut Rusia di Tartus, satu-satunya pangkalan
angkatan laut Rusia di Laut Tengah dan Timur Tengah. Dengan demikian, Rusia
hanya menjadikan IS sebagai justifikasi bagi keterlibatan militernya di
Suriah. IS ialah sasaran terakhir yang akan dilakukan bersama koalisi anti-IS
pimpinan AS.
Sikap setengah hati dari koalisi dan Rusia inilah yang
membuat IS di atas angin untuk melakukan teror kepada siapa pun yang
dikehendaki. Maka, saatnya dunia internasional
bersatu padu dengan tekad yang lebih tegas untuk menghancurkan IS. Makin lama
IS bertahan, makin membuat pendukungnya meyakini bahwa IS ialah negara yang
diberkati Tuhan. Hal ini akan memarakkan terorisme IS di seluruh dunia,
termasuk Indonesia.
Di media sosial, kita bisa menyaksikan bagaimana
simpatisan IS bergembira menyaksikan keberhasilan IS meneror Paris. Dalam
pertemuan G-20 di Ankara, Turki, 15 November lalu, Presiden Prancis Francois
Hollande meminta komunitas internasional meningkatkan koordinasi dalam
memerangi IS. Permintaan ini jelas menunjukkan kurangnya kerja sama erat di
antara kekuatan besar dunia.
Mestinya
peristiwa teror Paris dijadikan momentum kebersamaan dalam memerangi IS,
sebagaimana AS dan NATO bersikap keras serta cepat dalam memerangi Taliban
yang melindungi Al-Qaedah dalam tragedi 11 September 2001. Menunda lebih lama
dalam melumat IS, hanya akan memperbesar korban teror IS di waktu mendatang. Hari ini ibu kota
Prancis, besok bisa jadi negara Eropa lain atau malah AS sendiri. Karena itu,
Obama harus bersedia menurunkan pasukan darat AS agar IS bisa lekas
dimusnahkan dari muka bumi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar