Akal-Mulut dalam Ujaran Kebencian
Stanislaus Sandarupa ; Guru Besar di Bidang Antropolinguistik;
KPS Linguistik S-3 Universitas
Hasanuddin
|
KOMPAS,
20 November 2015
Surat Edaran Kepala
Polri bernomor SE/06/X/2015 tertanggal 8 Oktober 2015 tentang ”ujaran
kebencian” menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang melihatnya
sebagai aturan, peringatan, dan perlindungan—bahkan ancaman terhadap
kebebasan berpendapat—dari sudut politik, komunikasi, dan hukum.
Menariknya, walau
kelompok media sosial tersinggung, surat edaran itu dikeluarkan menjelang
pemilihan kepala daerah serentak yang demokratis. Bukankah penggunaan dan
penyalahgunaan bahasa juga terjadi di ranah politik? Tulisan ini berpusat
pada pengeksplisitan hubungan antara bahasa dan hukum.
Banyak persoalan
bangsa ini berasal dari penyalahgunaan bahasa. Bahasa merupakan aspek
mentalitas budaya. Sejak dulu, aspek ini sudah mendapat perhatian para ahli.
Tradisi filsafat
hermeneutik Jerman, Hamann-Humboldt- Heidegger-Gadamer-Apel-Habermas,
mengasimilasikan fungsi multidimensional bahasa ke dalam fungsi kognitif
penyingkap dunia. Fungsi inilah yang memungkinkan kita melakukan interpretasi
pengetahuan proposisi tentang dunia, menunjuk dan mengklasifikasi obyek,
dunia sosial, dan dunia subyektif.
Jauh sebelumnya,
Descartes menempatkan rasio manusia modern dalam mentalitas kebudayaan
sebagai hal utama. Obsesinya adalah mencari kebenaran. Untuk keluar dari
mentalitas tradisional dan terjajah, misalnya, syarat utama adalah berpikir
jelas dan mampu membuat perbedaan-perbedaan.
Ini juga salah satu
perjuangan revolusi mental pemerintahan Jokowi. Renungkanlah
persoalan-persoalan bangsa seperti ketidakmampuan berpikir rasional dan
membedakan yang baik dan buruk, uang halal dan haram sehingga korupsi
merajalela, kepentingan rakyat dan pribadi, menang dan kalah dalam pemilu,
seks sebagai kenikmatan dan seks sebagai kejahatan, persatuan yang berbasis
persamaan dan perbedaan.
Agak susah dipahami
jika surat edaran tersebut dilihat sebagai aturan pembatas kebebasan
berpendapat. Pada tingkat bahasa justru dibutuhkan aturan-aturan kegiatan
akal untuk menyanggupkan kita membangun definisi, menggabung dan memisahkan
ide, serta mengonstruksi silogisme. Apabila bahasa merupakan instrumen
pikiran, selanjutnya perlu aturan-aturan tata bahasa untuk mengungkap
pendapat yang bebas.
Intinya, tanpa aturan
kegiatan akal dan aturan tata bahasa, ide yang jelas dan membedakan susah
diungkap dalam kalimat dengan makna proposisi yang dapat diuji benar dan
salahnya. Dalam sejarah perkembangannya, pernah muncul slogan untuk memakai
bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Apabila aturan-aturan
tak diikuti, tidak terungkapnya ide dan kebenaran lewat bahasa yang jelas dan
tajam akan punya konsekuensi besar. Misalnya pendengar tak paham, tidak
dimuatnya tulisan di kolom ”Opini” Kompas, ditolaknya artikel di jurnal
internasional bereputasi dengan akibat tidak jadi dipromosikan sebagai guru
besar.
Mengatur mulut berujar
Persoalan kedua yang
dihadapi bangsa ini adalah tingkah laku, aspek eksekusi mentalitas
kebudayaan. Terkadang pemikiran sudah rasional, tetapi tetap lemah dalam
pelaksanaan.
Surat edaran tersebut
mengatur kegiatan parole, berujar khususnya ujaran kebencian. Pandangan ini
didukung tradisi Anglo-Amerika, Austin-Grice-Leech, yang sangat menekankan
fungsi komunikatif ujaran sebagai alat pemahaman. Apabila tradisi Jerman
mengungkap pentingnya tata bahasa mengatur akal berpikir rasional, logis,
benar, dan mampu berpendapat secara bebas, tradisi Anglo-Amerika melihat pentingnya
aturan-aturan prinsip yang mengatur mulut berujar benar, efektif, kooperatif,
dan sopan.
Prinsip kerja sama
Grice, misalnya, mengatur mulut-mulut yang berujar dalam interaksi sosial.
Agar kerja sama komunikatif berlangsung, dianjurkan memakai empat maksim,
yaitu maksim kuantitas tentang pemberian informasi secukupnya, maksim
kualitas tentang rasa hormat dan pengungkapan kebenaran, maksim relasi
tentang ujaran yang runtut, dan maksim cara tentang penghidaran makna ganda (Grice 1975). Dalam interaksi sosial
memakai ujaran, pelanggaran maksim-maksim mengakibatkan komunikasi macet.
Ujaran sebagai tindakan
Berkaitan dengan ini,
ada prinsip kesopanan dalam berujar (Brown
and Levinson 1987). Tak ada satu kebudayaan pun di dunia yang tidak
melaksanakan prinsip ini. Terlebih di Indonesia, sangat diperhatikan prinsip
kesopanan yang dikaitkan dengan ”muka”. Dianjurkan agar penutur menghormati,
menjunjung harga diri dan perasaan serta menghindari mencoreng muka lawan
bicara lewat dua strategi: kesopanan negatif seperti kebutuhan kebebasan,
kebebasan bertindak dan tiada paksaan; serta kesopanan positif, yaitu
berterima dan disukai, perlakuan wajar, dan kekurangannya dipahami.
Tapi apa dasar surat
edaran itu yang menarik ujaran ke ranah hukum? Walau tidak tersurat, surat
edaran itu telah membuka cakrawala berpikir kita tentang ujaran sebagai
tindakan. Berujar hanya bisa dikaitkan dengan hukum jika ia dilihat sebagai
tindakan. Adalah Austin (1962) yang menegaskan: ujaran bukan sekadar
penyampaian informasi, melainkan merupakan tindakan. Katanya, dalam berujar
terjadi tiga tindakan sekaligus, yaitu tindakan berujar (lokusi), tindakan
dalam berujar (ilokusi), dan tindakan dengan berujar (perlokusi).
Tindakan ilokusi
merupakan suatu tindakan pengujar yang hanya bisa terjadi dalam berujar,
misalnya berjanji, memproklamirkan, menamai. Seorang politisi yang berjanji
menyejahterakan rakyat, tindakan berjanji sudah terjadi dan jika tidak
dipenuhi dapat dituntut di pengadilan. Apabila segelintir orang Papua
memproklamirkan kemerdekaannya, tindakan proklamasi sudah terjadi dan itu
pengkhianatan. Menariknya, surat edaran Kepala Polri mengemukakan kasus-kasus
tindakan ilokusi yang terjadi hanya dalam berujar pada butir 5 dan 7:
memprovokasi dan penyebaran berita bohong.
Tindakan perlokusi
adalah tindakan yang dilakukan dengan berujar, yaitu akibat pada pendengar.
Surat edaran itu mengajukannya dalam butir 1-4 dan 6, yaitu penghinaan,
pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan menghasut.
Jadi benar kalau dikatakan bahwa tindakan perlokusi dibawa ke ranah hukum
jika ada yang keberatan. Apalagi dalam konteks-konteks penting untuk
masyarakat yang beragam suku, agama, keyakinan, dan jender.
Jadi, berujar
merupakan suatu tindak sosial yang nilainya sama dengan tindak sosial
lainnya. Persamaannya dapat dilihat sebagai senjata. Bolinger (1987)
mengingatkan kita bahwa penggunaan dan penyalahgunaan bahasa merupakan
senjata berpeluru. Dapat mematikan dan karena itu dapat dipidanakan. Maka,
hati-hatilah memakai akal dan mulut, khususnya di ruang publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar