Siapa Menuai Untung dari Bom Paris?
Maimon Herawati ; Dosen Jurnalistik Fikom Unpad;
S-2 Kajian Palestina di
Skotlandia
|
REPUBLIKA,
18 November 2015
Pada saat investigasi
teror Paris masih berlangsung, logika yang harus didahulukan untuk mencari
kira-kira pelaku adalah siapa yang diuntungkan dari peristiwa tersebut. Siapa yang paling
menuai keberuntungan, biasanya dia yang berpotensi menjadi pelaku.
Ditemukan paspor
Suriah di salah satu penyerang, demikian rilis Republika yang mengutip Fox
News. Penemuan paspor ini menjadi argumen pengunci penolak migran Suriah ke
Eropa. Berbagai kicauan di media sosial mengecam pengungsi Suriah yang
menurut mereka masuk Eropa untuk meneror ini. Bukalah artikel tentang bom
Paris, bagian komentar penuh dengan penolakan akan pengungsi Suriah.
Mereka juga
menyalahkan Angela Merkel, kanselir Jerman, yang membuka perbatasan negara
untuk pengungsi Suriah. Mereka menuntut Merkel mengubah kebijakan pintu
terbuka perbatasannya. Mereka juga minta komitmen awal Uni Eropa untuk
menyerap pengungsi Suriah dibatalkan. Polandia negara yang paling awal
menolak menerima pengungsi Suriah sesuai kuota yang ditetapkan Uni Eropa (the Economist, 14/11).
Saat ini ada ratusan
ribu pengungsi Suriah di Eropa yang menunggu ditempatkan di negara tuan
rumah. Sebagai catatan, ada 4 juta warga Suriah yang mengungsi karena konflik
dalam negerinya. Dua juta lebih diterima Turki. Lebanon 1 juta lebih.
Yordania dan Arab Saudi menerima masing-masing hampir setengah juta. Sisanya
memencar di berbagai negara, termasuk Uni Eropa. Dari negara-negara Uni
Eropa, hampir 200 ribu tercatat sebagai pengungsi. Jerman penerima terbanyak,
setelahnya Swedia, sedangkan Prancis bersedia menerima 24 ribu pengungsi. Jumlah
pengungsi Suriah yang berlabuh di Uni Eropa memang tidak sebanyak di Turki
dan negara-negara Arab lainnya, tetapi tetap angka yang besar.
Penemuan paspor Suriah
di dekat pelaku bom bunuh diri Paris tentu saja menjadi pukulan telak bagi
perjuangan pengungsi Suriah yang berharap ingin melanjutkan kehidupan di
Eropa. Sulit diterima logika kalau orang yang melarikan diri dari kekejaman
perang menciptakan teror serupa di negara bakal lokasi hidupnya. Istilahnya,
mencari keamanan di negeri orang, masak malah membuat teror.
Selain paspor Suriah,
ada pengakuan video tanpa tanggal yang menyampaikan ancaman Negara Islam Irak
dan Suriah (ISIS) terhadap Prancis. Prancis tidak akan pernah damai dan
tenteram sepanjang terus tergabung bersama militer Amerika Serikat mengebom
wilayah penguasaan ISIS. Sehari sebelum teror di Paris, New York Times
menulis Amerika meningkatkan serangan militer ke wilayah penguasaan ISIS yang
kaya minyak.
Andai ISIS benar
pelakunya, Amerika Serikat dan sekutu punya alasan jitu untuk menggempur
secara hebat wilayah kekuasaan ISIS di Irak dan Suriah. Ada pertaruhan besar
di sini. Amerika Serikat dan sekutu tidak akan membiarkan setetes darah warga
negara mereka tumpah di tanahnya. Ada harga diri bangsa yang dipertaruhkan di
sini. Dengan kekuatan
Amerika sekarang—tanpa sekutunya—sekali serang, Amerika akan mampu
menumbangkan ISIS.
Kekuatan militer
Amerika tidak sebanding dengan ISIS. Militer Amerika terbaik sedunia. Amerika
memiliki tentara aktif sebanyak 1,3 juta orang, ada 13.900 pesawat tempur,
920 helikopter, 20 pesawat penumpang, dan 72 kapal selam. Anggaran militernya
mencapai Rp 9.000 triliun (610 miliar dolar AS) pada 2014, jauh lebih banyak
daripada anggaran sembilan negara di bawahnya (Business Insider, 29/9).
Kekuatan ISIS, menurut
Direktur Institut Jerman tentang Studi Radikalisasi dan Deradikalisasi
(Girds) Daniel Koehler, berkisar 40 ribu-50 ribu orang. Angka perkiraan
tertinggi adalah 200 ribu, tapi ISIS kehilangan banyak pasukannya dalam
pertempuran (Independent, 28/6).
Jika Amerika Serikat
ingin menumpas habis ISIS, logikanya, tidak sulit menghabisi ISIS sekali
gempur. Ingat, militer Irak yang perkasa itu dihancurkan Amerika hanya dalam
hitungan minggu. Kekuatan ISIS sangat lemah dibandingkan militer Irak. ISIS
dengan mudah akan hancur jika membuat Amerika dan sekutunya sangat marah
hingga memutuskan menumpas habis ISIS.
Benar saja. Pada Ahad
(15/11) malam, Prancis menyerbu Raqqa, daerah dalam penguasaan ISIS. Raqqa
dianggap sebagai ibu kota daerah kekuasaan ISIS. Ini penyerangan terhebat
Prancis sejauh ini. Operasi ini dalam koordinasi bersama Amerika dan Prancis
(Guardian, 16/11).
Prancis menggunakan 10
pesawat tempur. Dua puluh bom ditembakkan. Mereka menyerang lokasi rekrutmen
ISIS, depot amunisi, dan kamp pelatihan serdadu ISIS. Sumber militer yang
dikutip Associated Press menyebutkan, penyerangan ini sangat masif dan
menghancurkan dua markas ISIS. Prancis punya pembenaran untuk melumatkan ISIS
karena bom Paris dan video pengakuan itu.
Belum lagi efek domino
lainnya. Teror Paris ini menyudutkan Muslim sedunia. Muslim merasa tertekan
karena penyerangan itu. Rasa tertekan ini menyebabkan sebagian mereka
menjauhi ISIS. Kampanye "Not in My Name" bahkan sudah marak di
media sosial. Kampanye ini menolak cara ISIS berjuang. Kampanye ini untuk
menunjukkan bahwa mereka secara ideologi bercerai dengan ISIS.
Dahulu di Indonesia
lumayan banyak akun media sosial yang menunjukkan dukungan pada ISIS.
Sekarang, di beberapa kawasan perumahan ada poster yang menolak ISIS.
Asumsinya, di daerah sekitar poster diketahui ada pendukung ISIS sehingga ada
yang merasa perlu menunjukkan lokasi perumahan mereka tidak mendukung ISIS
melalui poster itu.
Teror-teror yang
tampak sebagai bagian dari cara ISIS berjuang menurunkan kepercayaan Muslim
pada ISIS. ISIS makin teralienasi dari komunitas Muslim dunia. Bagi ISIS ini
berbahaya karena mereka menyandarkan diri dari "pasokan" mujahidin
dari berbagai belahan dunia yang terpanggil secara ideologis untuk mendukung
"khalifah".
Jika pengungsi
Suriah—seperti yang diisyaratkan oleh penemuan paspor Suriah di dekat badan
pelaku bom bunuh diri itu—tidak mendapatkan keuntungan dari teror Paris, jika
ISIS seperti akun video tidak mendapat keuntungan dari teror Paris, siapa
pelaku teror ini sebenarnya?
Ada alternatif lain.
Jika ISIS yang beroperasi
sekarang masih merupakan perpanjangan tangan CIA dan Mossad seperti yang
diisyaratkan Hillary Clinton dalam wawancaranya dengan CNN dan Fox News dan seperti yang
diyakini Noam Chomsky, maka pemaknaan apa yang bisa diambil dari peristiwa
ini? Mengapa Prancis dan Amerika mengebom orang yang puluhan tahun lalu
mereka latih dan danai untuk melawan Uni Soviet?
Di sini mungkin
analisis lain muncul. Salah satu karakter ISIS yang mengkhawatirkan adalah
sifat fluidity gerakannya. Sifat berubah dengan cepat dan tidak terkontrol.
Awalnya, pembentukan ISIS bisa jadi hasil desain CIA dan Mossad. Namun,
seiring dengan membanjirnya pengagum dan pengikut ISIS dari berbagai belahan
dunia, kontrol CIA dan Mossad bisa jadi tidak sekuat yang lalu.
Jika saat ini ISIS
tidak bisa dikendalikan, sedangkan mereka menguasai pipa minyak tempat minyak
Suriah dan Irak mengalir dan menghasilkan Rp 700 miliar per bulan, tentu
keberadaan ISIS jadi mengkhawatirkan. Sebagian tentu akan meragukan tangan
tak terlihat CIA dan Mossad ini.
Namanya saja operasi
intelijen, jika faktanya terang benderang tentu operasi gagal namanya. Kembalikan lagi saja
pada siapa yang menuai untung dari kekacauan ini. Jangan lupa, Desember tahun lalu, Prancis mengakui Palestina
sebagai negara. Agak terlambat, memang. Pengakuan ini membuat Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu berang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar