MKD, Mahkamah Kehormatan atau Ketidakhormatan?
Iman Rozani ;
Dosen Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik,
Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 27 November 2015
ENTAH mana yang lebih pas untuk kepanjangan
dari singkatan MKD, yang merupakan salah satu alat kelengkapan DPR, apakah
Mahkamah Kehormatan Dewan ataukah Mahkamah Ketidakhormatan Dewan? Meski UU No
17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menyebutkan bahwa kepanjangan dari singkatan MKD ialah Mahkamah Kehormatan
Dewan, hal itu hanya tulisan di atas kertas. Kebenaran dari tulisan itu hanya
menjadi kenyataan bila alat kelengkapan de wan itu mampu membuktikan dirinya
demikian (terhormat).
Terhormat dalam arti benar-benar memikul
tanggung jawab sejalan dengan yang digariskan UU No 17 Tahun 2014 tersebut.
Menurut UU No 17 Tahun 2014 itu, tanggung jawab MKD ialah menjaga serta
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat dewan sebagai lembaga perwakilan
rakyat. Dewan (DPR) itu sendiri ialah lembaga terhormat, maka MKD semestinya
lebih terhormat dari yang terhormat. MKD harus terisi oleh orang-orang yang
memiliki integritas tinggi terhadap kepentingan bangsa dan negara secara
keseluruhan.
MKD harus terisi oleh orang-orang yang tidak
mudah disimpangkan ke pentingan kelompok/golongan atau partai politik mana
pun. MKD ialah ‘resi’ (dalam istilah pewayangan) dari DPR, yang demikian
bijak menilai setiap perilaku anggota dewan. Perilaku baik dari anggota dewan
patut dipuji, sedangkan perilaku buruk perlu diperingatkan atau bahkan
dicaci.
Untuk mencapai tujuan ini, UU No 17 Tahun 2014
membuka pintu lebar bagi siapa pun (masyarakat secara individual atau
kelompok--yang terikat pada suatu organisasi ataupun tidak) untuk mengadukan
keluhannya ke MKD jika masyarakat merasa ada anggota dewan yang tidak
memuaskan, seperti (a) mengabaikan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat,
(b) melakukan perbuatan tercela, (c) melakukan perbuatan yang akan
meruntuhkan sendi-sendi positif kehidupan bangsa dan negara.
Setiap anggota dewan terikat oleh kewajiban
untuk benar-benar memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat, negara, dan
bangsa. Ia sangat dilarang untuk mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok/
golongan di atas kepentingan seluruh rakyat, negara, dan bangsa. Hal yang
disebut ini, terutama yang terakhir, secara jelas diucapkan setiap anggota
dewan dalam sumpahnya kepada Tuhan di saat dirinya dilantik menjadi anggota
dewan.
Masyarakat yang disebut dalam UU ini, yang
diberi hak untuk mengadukan keluhannya ke MKD, tentu saja memiliki makna
luas. Masyarakat yang dimaksud itu bukan hanya para jelata yang hidup
pas-pasan, tetapi juga yang hidup berkelebihan, yang bekerja di institusi
swasta ataupun pemerintahan, termasuk pejabat pejabat negara di luar
institusi dewan itu sendiri. Kelompok atau golongan (organisasi) yang
dimaksud UU ini juga bermakna luas, tidak hanya organisasi nonpemerintah
tetapi juga pemerintah (eksekutif, yudikatif ). Alangkah naifnya jika makna
masyarakat tadi dibuat begitu sempit, semisal hanya jelata atau organisasi
nonpemerintah.
Belakangan ini nama ‘kehormatan’ dari MKD
sedang dipertaruhkan, bahkan lebih mendekati ‘dipertanyakan’. Kasus pengaduan
Menteri ESDM (Sudirman Said) atas perilaku Ketua DPR yang tidak pantas, yaitu
mencatut nama Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam untuk mendapatkan
20% saham bodong PT Freeport, membuat limbung MKD. Anggota-anggota MKD
terpecah menyikapi kasus ini. Sebagian, yai tu terutama yang berasal dari
KMP, menilai pengaduan Menteri ESDM itu tidak absah. Alasannya bukan karena
kasus pencatutan nama Presiden, Wakil Presiden, dan Menko Polhukam tadi tidak
benar (karena rekamannya telah terpublikasi luas), melainkan lebih kepada kepantasan
atau legalitas menteri sebagai pela por. Keabsahan menteri sebagai pelapor,
menurut kelompok tersebut, tidak memiliki basis legalitas (UU). Yang legal,
seperti dikemukakan di atas (menurut UU), ialah masyarakat dan/atau
kelompok/golongan atau organisasi. Kelompok lain dalam MKD adalah KIH.
Kelompok ini pendukung pemerintah yang sekarang. Oleh karena itu, mereka
menilai pengaduan menteri ESDM adalah legal.
KMP, dalam konteks ini, dapat dikategorikan
sebagai penerjemah UU No 17 Tahun 2014 yang naif. Arti masyarakat,
kelompok/golongan atau organisasi diterjemahkan begitu sempit. Kelompok ini
tidak menganggap bahwa menteri maupun para pejabat negara lainnya termasuk
presiden dan wakil presiden adalah wakil rakyat juga. Mereka diangkat menjadi
pejabat negara dengan tanggung jawab untuk mengelola negara/pemerintahan
sebaik mungkin guna mencapai kesejahteraan rakyat yang maksimal. Mereka
menjadi pejabat negara bukan dengan cara ‘mengudeta’ kekuasaan rakyat. Mereka
menjadi pejabat negara karena ditunjuk presiden yang dipilih langsung oleh
rakyat. Jadi, posisi menteri dalam mewakili rakyat cukup kuat. Dalam pada
itu, kementerian ialah sebuah organisasi, maka pengaduan oleh menteri atas
nama kementerian adalah legal menurut UU No 17 Tahun 2014 (pasal 62).
Hal yang paling memprihatinkan dari kasus
pengaduan Menteri ESDM ini, yang bisa berujung pada hilangnya identitas
‘kehormatan’ pada MKD, ialah perdebatan anggota MKD atas kasus itu ke luar
dari substansinya. Mereka perdebatkan soal siapa pelapor, bukan apa isi laporan/pengaduan.
Padahal, kasus ini menyangkut nama baik NKRI karena presiden dan wakilnya
dicemari nama baiknya. Mestinya, bukan perdebatan yang terjadi, melainkan
penyelidikan intensif atas kebenaran isi laporan itu.
Bila memang isi laporan itu terbukti benar,
Ketua DPR sekarang diminta untuk mengundurkan diri atau bila ia menolak
sanksinya adalah dipecat. Jika isi laporan hanya hoax, presiden RI diminta untuk mengganti/memecat Menteri ESDM
Sudirman Said. Inilah yang pantas dilakukan MKD agar ‘kehormatannya’ tetap
terjaga. Akan menggelikan MKD, yang tugas utamanya menjaga dan menegakkan
kehormatan DPR RI, ternyata malah hilang kehormatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar