Orangtua, Guru, dan
Keberanian Anak untuk Memilih
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 23 November 2015
KATA memilih bisa jadi berarti sederhana dan
tidak memiliki konfigurasi yang pelik dalam diri seseorang. Memilih lebih
banyak digunakan untuk suatu keadaan ketika seseorang dihadapkan pada lebih
dari satu kondisi dan peristiwa, misalnya, ketika ke pasar memilih membeli
apa, di mana, dan mengapa.
Memilih, dengan demikian, sangat berkaitan erat
dengan konstruksi mental dan psikologis seseorang, selain pertimbangan
rasional dari seseorang. Namun, jika kita telusuri lebih dalam, ternyata
keberanian mengambil keputusan untuk memilih dalam diri seorang anak
merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah proses belajar yang sengaja
ditumbuhkembangkan dalam diri seorang anak.
Kekuatan orangtua terhadap anaknya terletak
bukan pada bagaimana orangtua mampu membesarkan anak-anak mereka dengan
mencukupi semua kebutuhan materiilnya, melainkan pada bimbingan dialektis
yang mampu menjadikan seorang anak mampu memilih apa yang menjadi kebaikan
bagi dirinya.
Kekuatan memilih merupakan perangkat afeksi seorang anak yang
tidak mudah untuk dilatih, kecuali melalui serangkaian pendampingan yang
terus-menerus dan tak mengenal lelah. Kekuatan dan keberanian memilih dalam
diri seorang anak setidaknya dipengaruhi beberapa hal, di antaranya dari cara
orangtua dan guru mengenalkan bacaan terhadap anak.
Peran buku
Untuk mencapai tingkat kematangan afeksi anak
sehingga mampu memilih setiap keputusan hidupnya dengan baik dan benar,
ternyata di dalam keluarga dan sekolah peran buku sangat penting.Sebuah studi
yang dilakukan Mariah Evans, sosiolog dari Nevada University, Reno, USA,
membuktikan bahwa anakanak yang tumbuh dengan kematangan yang cukup dan
memiliki kepribadian yang stabil dalam memilih setiap persoalan hidup
ternyata dipengaruhi buku.
Anak yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga
yang memiliki buku dan perpustakaan pribadi keluarga dapat berkembang lebih
baik ketimbang yang tidak memiliki buku. Peran buku bukan hanya penting bagi
proses tumbuh kembang anak, melainkan juga dari berpengaruh terhadap GDP,
tingkat pekerjaan orangtua, hingga memengaruhi sistem politik di dalam suatu
negara.
Sebanyak 73.249 orang yang hidup di 27 negara,
termasuk USA dan Indonesia, menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki lebih
dari 500 buku dalam perpustakaan keluarganya ternyata menciptakan tingkat
kependidikan anak-anak hampir 3,2 tahun lebih tinggi daripada yang tidak
memiliki buku. Data lainnya juga menunjukkan bahwa keluarga yang memiliki
1-10 buku anak mereka rata-rata menghabiskan hanya 9,4 tahun atau hanya
setingkat SMP. Sementara itu, keluarga yang memiliki jumlah buku lebih dari
500 tingkat, keterdidikan anak-anak mereka setara dengan 12,6 tahun atau
lebih dari SMA.
Karena itu, meskipun secara rasional hampir
bisa dikatakan bahwa orang yang memiliki buku relatif lebih terdidik dan
kehidupan sosial ekonominya lebih baik, relevansi studi ini sesungguhnya
ingin menekankan pentingnya investasi di bidang perbukuan pada lingkungan
keluarga agar mampu menciptakan kemandirian anak-anak dalam menentukan
pilihan-pilihan yang akan mereka hadapi di kehidupan mendatang. Studi ini
juga meyakini bahwa memiliki 10-20 buku dalam keluarga bahkan pengaruhnya
lebih besar daripada perpustakaan sekolah terhadap tingkat keterdidikan
anak-anak.
Karena pentingnya peran buku dalam membangun
kesadaran kritis dan afeksi seorang anak, kebijakan menyosialisasikan
perpustakaan keluarga juga menjadi penting dalam sistem pendidikan kita.
Selama ini kebijakan dan kampanye tentang budaya membaca baru sebagian kecil
saja tumbuh di lingkungan sekolah, tapi tak ada program yang memadai untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat agar memiliki perpustakaan keluarga. Agar
sejalan dengan program pengembangan perpustakaan sekolah, perpustakaan
keluarga mungkin akan lebih mudah dilakukan jika ada pendampingan yang
memadai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalam The
Effect of Family Literacy Interventions on Children’s Acquisition of Reading
from Kindergarten to Grade 3: A Metaanalytic Review (2006), Monique
Sénéchal menjelaskan bahwa orangtua yang mengajari langsung materi yang
dipelajari anak di sekolah jauh lebih efektif ketimbang orangtua yang hanya
menyuruh anaknya membaca pelajaran yang diberikan sekolah. Bentuk
pendampingan langsung orangtua secara intens yang terlibat dalam proses
belajar mengajar anak ternyata berpengaruh sangat besar terhadap budaya baca
anak. Laporan studi ini juga menjelaskan bahwa waktu yang paling efektif
dalam melakukan pendampingan secara langsung terhadap anak ialah sejak mereka
di TK hingga kelas 3 SD. Selain itu, waktu pendampingan langsung orangtua ini
juga berpengaruh terhadap aspek kepercayaan diri anak dalam memilih dan
menentukan sesuatu.
Pendek kata, peran buku tak akan ada artinya
tanpa adanya kesadaran orangtua dan guru dalam melakukan pendampingan yang
terus-menerus. Tak akan ada masa depan yang lebih baik dari seorang anak jika
orangtua cenderung lalai dan lupa memberikan pendampingan yang baik. Ada
ribuan buku telah ditulis tentang bagaimana sesungguhnya sebuah proses
belajar mengajar harus dikelola. Ada jutaan pengalaman di pikiran dan
tindakan jutaan guru yang selalu dibagi kepada setiap siswa dalam proses
belajar sehari-hari. Ada juga begitu banyak kesadaran yang mulai tumbuh untuk
belajar dari halhal yang dianggap salah ketika kita mengajarkan sesuatu
terhadap para siswa.
Pendek kata, cara belajar dan mengajar memang
selalu menarik untuk dikaji dan dilihat karena belajar merupakan kesadaran
alami yang dimiliki setiap insan yang diberi akal dan pikiran oleh Yang Maha
Berpikir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semoga masih banyak orangtua dan guru
yang bersedia meluangkan waktu berharga mereka untuk mendampingi anak-anak
mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar