Freeport di Panggung Konstitusi
Margarito Kamis ;
Doktor Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum
Universitas Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 23 November 2015
PT Freeport Indonesia,
sebuah badan hukum dalam pergaulan hukum perdata di Indonesia, kini
menghebohkan dunia hukum, politik, dan ekonomi. Salah satu sumbernya adalah
akan segera berakhirnya masa berlaku kontrak karya perusahaan ini, dan ada,
nampaknya kehendak Freeport memperpanjangnya. James R Moffett, CEO Freeport
McMoran, untuk kepentingan itu beberapa waktu lalu, terbang jauh dari Amerika
ke Indonesia untuk bertemu dengan yang terhormat Bapak Presiden.
Kekeliruan
Menariknya, kehendak
itu berlangsung di tengah kenyataan hukum yang berbeda. Perubahan lingkungan
hukum, begitulah maksimnya, bermakna hukum berubahnya konsekuensi hukum.
Sifat hak, begitu juga prosedur perolehan hak, termasuk syarat-syaratnya,
tentu harus dipenuhi, dengan sendirinya telah berubah.
Pada saat Freeport
memperoleh hak penambangan kekayaan alam di dalam bumi, yang di Papua itu,
Pasal 33 UUD 1945, pasal yang dijadikan dasar pembentukan UU Nomor 1 Tahun
1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, belum diubah. Berbeda dengan keadaan
saat itu, saat ini Pasal 33 UUD 1945, telah diubah. Tetapi perubahan itu
berbentuk addendum, suatu cara pengubahan yang lazim dalam hukum konstitusi
Amerika.
Bentuk konkret
perubahan pasal 33 itu adalah penambahan dua ayat baru; ayat 4 dan ayat 5. Hasil
akhirnya adalah pasal 33 yang dahulu hanya tiga ayat, kini berubah menjadi 4
ayat. Ayat (1) sampai dengan ayat (3) pasal 33 UUD 1945, yang dahulu
dijadikan dasar oleh pemerintah dan DPR membentuk UU Nomor 1 Tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, menariknya, tidak diubah. Bukan izin
usaha, melainkan konsep ”kontrak karya” yang digunakan pemerintah bersama DPR
dan dituangkan dalam UU Nomor 1 Tahun 1967.
Konsep itu, Kontrak
Karya, menimbulkan akibat status pemerintah sebagai organ pengatur, berubah
menjadi sekadar subyek hukum perdata, yang memiliki benda yang dapat
digunakan oleh pihak lain menurut hukum kontrak. Konsekuensinya, hal-ikhwal
yang melahirkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, harus dirundingkan.
Jangka waktu, royalti,
dividen, tenagakerja, bahan baku dalam negeri, dan lainnya yang lahir atau
melekat dalam hak dan kewajiban kedua belah pihak, mau atau tidak, harus
dijadikanisudalamperundingan kedua belah pihak. Begitulah hukum pertambangan
menurut UU Nomor 1 Tahun 1967.
Tidak Bisa Dirundingkan
Tetapi konsep itu,
”kontrak karya,” juga ”negosiasi dan renegosiasi” telah berlalu, menjadi
sekadar kenangan, tentu hitam, karena inkonstitusional, kala ditilik dari
sudut hukum konstitusi, setidaknya menurut Pasal 33 UUD 1945. Bukan semata
perkara kedaulatan nasional, identitas nasional, atau kebanggaan nasional,
yang menjadi sebab perubahan konsep itu harus didukung, tetapi lebih dari
itu.
Menyepelekan
konstitusi, harus diakui, tercatat dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa
dalam bernegara, klasik maupun modern, adalah cara termudah mengundang, kalau
bukan kematian, kehancuran, mungkin pelan-pelan bangsa itu. Berkonstitusi,
memang bukan sekadar ”bertaat ria” pada huruf-huruf pasal dalam UUD dan UU
yang dilahirkannya, tetapi mengenali, untuk kelak mengagungkannya, impian
ideologis dari huruf dan ayat-ayat konstitusi.
Pemerintah, karena
kapasitas dan status konstitusionalnya sebagai organ, satu-satunya, pemegang
kewenangan mengatur, memunculkan, dengan sendirinya, serangkaian konsekuensi.
Salah satunya, berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, pemerintah mengatur tata cara
tentang kekayaan alam, yang karena sifat hukumnya, bukan kodrat alamiahnya
sebagai sesuatu yang terlarang, untuk dapat diusahakan oleh pihak lain, siapa
pun pihak lain itu.
Maknanya, kekayaan
alam menurut terminologi Pasal 33 UUD 1945, bukan tak bisa diusahakan,
melainkan dapat diusahakan untuk, semata-mata memakmurkan rakyat. Pertalian
antara kapasitas dan status pemerintah di satu sisi dengan tujuan
mengusahakan kekayaan alam di sisi lain, yakni hanya untuk memakmurkan
rakyat, memunculkan satu-satunya cara konstitusional sebagai sarananya,
yaitu; Izin dari pemerintah. Titik.
Bukan izin namanya,
bila tak digantungkan pada serangkaian syarat, baik syarat yang menyebabkan
muncul, lahir, timbulnya izin itu atau syarat yang mengakhiri izin itu.
Mengizinkan bermakna hukum memberikan hak, yang sesuai sifatnya, sementara.
Itulah hukum
pertambangan yang berlaku saat ini. Hukum itulah yang diatur dalam UU Nomor 4
Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, berikut Peraturan Pemerintah Nomor
77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perusahaan, seperti diakui oleh Noam Chomsky, tentu yang berskala besar,
selalu lebih berkuasa dibanding pemerintah.
Tetapi hukum pertambangan Indonesia saat ini, jelas. Pemerintah
tidak diberi kewenangan bernegosiasi, dengan, tentu bukan hanya Freeport,
tetapi perusahaan lain, apa pun perusahaan itu, yang hendak mengusahakan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi Indonesia. Menyalahi hukum,
bila pemerintah bernegosiasi dengan Freeport. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar