Mari Menjelajah Zapin Nusantara
Tom Ibnur ; Koreografer
|
KOMPAS,
22 November 2015
Sebuah perhelatan
akbar yang diberi judul Temu Zapin Nusantara 2015 akan dilaksanakan dua hari
penuh pada 28-29 November 2015 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Temu
Zapin mengambil tema ”Zapin Merajut Jejak Pergaulan Budaya Nusantara”.
Pada perhelatan
tersebut akan digelar seminar, lokakarya (workshop),
dan pertunjukan yang terkait dengan zapin. Tak kurang dari 400 seniman tari
dan musik zapin serta pekerja seni lain akan bekerja bersama-sama
menyukseskan helat nasional ini. Tentu saja Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia sangat berperan dalam mewujudkan peristiwa ini.
Nostalgia dalam rindu
yang terpendam selama ini akan mengobati rasa tersebut bagi pegiat seni zapin
di Tanah Air. Sekaligus menjadi ajang pembelajaran serta menikmati dan
memahami seni zapin bagi generasi yang mungkin tidak semuanya memiliki seni
tersebut di daerah masing-masing. Atau ada namun semakin tersisih dan bahkan
punah. Oleh karena itu, kesempatan ini akan dapat pula untuk menumbuhkan rasa
cinta pada seni yang diwariskan para pendahulu untuk dipelihara,
dilestarikan, dan dikembangtumbuhkan ke masa depan.
Dari Yaman ke Nusantara
Zapin memang berasal
dari Jazirah Arab, tepatnya Yaman. Mengalir ke Nusantara sejalan dengan
perkembangan agama Islam, baik secara khusus maupun perdagangan. Hampir di
seluruh pesisir Nusantara terdapat zapin dan sampai hari ini masih dapat
ditemui dan dinikmati sebagai zapin Arab yang akrab disebut zafin.
Sesuai dengan
pengertian kata zafin atau Al-Zafn, gerak tari zapin lebih banyak menekankan
pada gerak kaki. Ditarikan hanya oleh lelaki, namun dalam perkembangannya
perempuan pun ikut menari.
Zapin Arab masih bisa
ditemui di beberapa kawasan yang ada di Pulau Jawa, Madura, Nusa Tenggara,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Biasanya ditampilkan untuk
memperingati hari-hari besar Islam. Tak hanya dilaksanakan di gedung umum,
tetapi bahkan di surau atau masjid.
Zapin Arab telah
menjadi inspirasi bagi orang Melayu. Jadi di setiap kawasan Nusantara
tumbuhlah berbagai zapin dengan berbagai corak dan ragamnya. Pola tari zapin
Arab masih kuat dirasakan, tetapi pengembangan gerak tari sangat kreatif
sehingga memberi ciri di setiap kawasan atau daerah. Dan lebih sesuai disebut
sebagai zapin Melayu.
Sesungguhnya secara
nasional, tari zapin telah ditampilkan dalam Festival Zapin Indonesia pada
tahun 1986 yang diprakarsai Dewan Kesenian Jakarta. Sementara setiap kawasan
atau daerah di Indonesia pun menyelenggarakan festival sejenis, seperti
Festival Zapin Se-Jawa Madura tahun 1985, begitu pula di Riau, Sumatera
Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan lainnya. Zapin pun pernah
ditampilkan secara massal sebagai bagian dalam pembukaan SEA Games Ke-14
tahun 1987 di Jakarta.
Dengan berkumpul,
dapat terlihat betapa banyaknya gaya zapin Melayu dan masing-masing pun
memberi nama atau julukan zapin masing-masing. Dari Sumatera Utara, Riau,
Kepulauan Riau lebih akrab menyebut zapin sehingga nama tersebut menjadi
populer secara nasional.
Sementara di Jambi dan
Sumatera Selatan disebut dana. Sebutan ini diperkirakan terkait dengan kata
”dana... dana...” dalam lagu iringannya. Yang juga sering disebut dana-dani
di NTB karena sebutan yang berbeda dalam lagu iringannya. Di Lampung, akrab
disebut bedana yang dapat diartikan sebagai menarikan dana. Sangat berbeda
dengan Bengkulu yang memilih sebutan satu karena tarian yang berpola ulang
alik dalam satu garis atau menyerupai alif dalam huruf Arab.
Masyarakat di Pulau
Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku umumnya memberikan sebutan jepin, jipin, dan
jepen. Ini terkait dengan lafaz z
yang diucapkan menjadi j. Dua
penyebutan yang berbeda di pulau ini adalah Sulawesi Selatan, yang menyebut
dengan jeppeng karena kesulitan mengatakan akhiran n bagi masyarakatnya dan yang terucap adalah ng. Sementara di Sulawesi Tenggara menjadi berbeda, yakni balumpa
atau melompat. Sangat dimengerti karena tari zapin memang sebagian banyak
melakukan gerak melompat.
Tumbuh dan berkembang
Sepuluh tahun terakhir
tari zapin semakin tumbuh dan berkembang. Tidak lagi terlalu terikat pada
aturan atau pola tradisi yang ada. Pengetahuan dan pemahaman terhadap tari
pun semakin maju dan berkembang. Pada 2002 penulis (Tom Ibnur) menampilkan
tujuh karya zapin kontemporer. Beberapa festival zapin di luar negeri pun
menginspirasi dan memacu seniman untuk mengolah zapin ke bentuk baru.
Saya merasa beruntung
bisa melihat perkembangan zapin di sejumlah daerah hingga hari ini. Ada hal
yang menggembirakan, tetapi sekaligus mengkhawatirkan. Menggembirakan karena
tumbuhnya pemaknaan zapin dengan banyaknya khazanah gerak dan teknik tari
zapin yang ditumbuhkan menjadi gerak tari kontemporer. Tetapi, karena tidak
semua koreografer di daerah memiliki pemahaman tari kontemporer, paduannya
menjadi dangkal dan asal tempel. Bahkan banyak hanya membuat zapin terlihat
baru tanpa pemaknaan yang diinginkan sebuah karya tari. Apalagi karya tari
kontemporer.
Untuk itu, perlu
kiranya meningkatkan pemahaman terhadap tari kontemporer sekaligus pemahaman
terhadap zapin, baik struktur maupun makna gerak yang memiliki simbol-simbol
gerak yang terkait dengan alam, aktivitas, dan kehidupan manusia. Namun, yang
sudah dilakukan para pegiat tari di daerah telah dapat menjadi modal untuk
perkembangan dan pertumbuhan zapin ke masa depan.
Suatu hal yang positif
dalam pertumbuhan tari di Indonesia, bahkan mendunia. Namun, sebaiknya
perkembangan zapin terus dilakukan agar secara nasional, zapin dapat mengisi
khazanah tari Indonesia ke kawasan-kawasan yang tidak memiliki zapin. Dengan
sendirinya, akan dapat meningkatkan kreativitas dalam berkarya tari dan
musik.
Harapannya semoga Temu
Zapin Nusantara ini terjaga keberlanjutannya dan sekaligus dijaga serta
dicintai sebagai warisan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar