Bersatu Melawan Perdagangan Pengaruh
J Kristiadi ;
Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
24 November 2015
Membaca transkrip
pertemuan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, para petinggi negara, dan pengusaha
kakap dengan pihak Freeport tidak hanya membuat bulu kuduk merinding, tetapi
juga mengakibatkan luka batin rakyat semakin dalam.
Terlepas dari
validitas rekaman itu masih dilakukan, rekam jejak perilaku wakil rakyat
telah terlalu sering menyayat hati nurani publik. Tidak henti-hentinya mereka
mendera rakyat dengan bengis, sistematis, dan dengan wajah dingin
menyalahgunakan kekuasaan mereka. Gelapnya mata hati menyuburkan niat mereka
memperdagangkan pengaruh kekuasaan yang berasal dari rakyat justru untuk
membuat rakyat semakin melarat.
Bahkan, dalam pertemuan
itu, mereka tega melontarkan guyonan yang dirasakan bagai sembilu yang
mengiris-iris rakyat yang masih mencoba bangkit dari gelimang lumpur derita.
Candaan itu, sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 23-29 November, sebagai
berikut: ”Freeport jalan, bapak itu
happy, kumpul-kumpul kita golf, kita beli private jet bagus yang
representatif”. Candaan itu mencerminkan atmosfer pertemuan yang arogan,
hedonis, dan miskin empati.
Namun, Ketua DPR tak
hanya terseret isu catut nama, ia juga diduga melakukan peran seolah-olah
menjadi ”juru tagih” dengan melayangkan memo kepada Dirut Pertamina agar
memperlancar urusan negosiasi kontrak penyewaan tangki BBM milik PT Orbit
Terminal Merak.
Skandal catut nama
juga mengungkapkan pertarungan kepentingan kekuasaan yang sengit. Simtom
tersebut sangat transparan dengan disuguhkannya pertentangan terbuka antara
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Sudirman
mengaku telah mendapatkan izin Presiden dan Wakil Presiden sebelum melaporkan
rekaman pertemuan Ketua DPR dengan Freeport kepada Mahkamah Kehormatan Dewan
(MKD). Sementara itu, Luhut menyangkal dengan keras pengakuan Menteri ESDM.
Oleh sebab itu, sudah
saatnya Presiden menunjukkan kepemimpinan yang tegas terhadap
pembantu-pembantunya, terutama mereka yang ditengarai memiliki dosis interes
pribadi jauh lebih besar daripada niat mengabdi kepada rakyat. Dengan modal
hati dan perilaku yang bersih, Presiden Joko Widodo tidak perlu takut
menindak dengan tegas pembantunya yang bermain-main dengan pengaruh dan
kewenangan yang diberikan kepadanya. Ia pasti sangat paham kearifan Solo yang
berbunyi yen ora cluthak bisa galak
atau sebaliknya cluthak ora galak.
Maknanya, ”orang itu (pemimpin), kalau
bersih (jika tidak nggragas, pemakan segala/serakah), selalu mampu bersikap
tegas”.
Sementara itu, dalam
kasus skandal catut nama, sidang MKD harus terbuka. Selain agar tidak masuk
angin, diharapkan dapat mengungkapkan misteri yang masih menjadi teka-teki
publik. Mengingat Setya Novanto pernah mendapatkan hukuman, meskipun ringan,
dari MKD dalam kasus Donald Trump; apabila terbukti melakukan pelanggaran
kode etik dalam kasus skandal catut nama, ia pantas mendapatkan hukuman lebih
berat, yakni pencopotan. Regulasi yang mengatur adalah Peraturan DPR Nomor 2
Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI Pasal 63, huruf
C: ”Sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan
atau pemberhentian sebagai Anggota”.
Perdagangan pengaruh
Praktik korupsi di
kalangan pemegang kekuasaan semakin mengancam kehidupan demokrasi. Perbuatan
yang ditakbirkan sebagai kejahatan luar biasa telah semakin endemik dan harus
dihadapi dengan tindakan yang lebih luar biasa lagi. Salah satu opsi adalah
ketentuan yang lebih tegas mengenai perdagangan pengaruh. Secara umum,
terminologi tersebut mengacu pada International
Conventions On Corruption (artikel 18; artikel 12) dan United Nation Convention Against
Corruption, intinya lebih kurang adalah perbuatan yang bermaksud
menjanjikan pemberian atau penawaran sesuatu langsung atau tidak langsung
kepada pejabat publik atau seseorang untuk mendapatkan keuntungan eksesif (undue advantage) agar pejabat publik
atau seseorang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya.
Ada peluang melakukan
regulasi yang tegas agar dapat memitigasi maraknya perdagangan pengaruh
karena Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang
No 7/2006 pada 19 September 2006. Meskipun secara akademik, sebagaimana
dipaparkan Willeke Slingerland (The
Fight Against Trading In Influence, 2011), isu tersebut telah menimbulkan
perdebatan sengit, lebih dari 160 negara melakukan hal yang sama sebagai
upaya melawan korupsi.
Dalam hal ini, Indonesia Corruption Watch yang pernah
menginisiasi kajian perdagangan pengaruh pada 2013, bersama kekuatan
masyarakat sipil dan berkolaborasi dengan unsur-unsur negara yang masih
memiliki niat baik, agar melanjutkan upaya mulia tersebut sehingga mandat
rakyat kepada elite penguasa tidak disalahgunakan. Sudah saatnya seluruh
komponen bangsa bersatu melawan perdagangan pengaruh yang apabila dibiarkan
pasti berpengaruh buruk terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar