Terorisme di Mali, Pembantaian Paris,
dan Islam Radikal
M Bambang Pranowo ;
Guru Besar UIN Ciputat;
Rektor Universitas Mathla’ul
Anwar, Banten
|
KORAN
SINDO, 24 November 2015
Hanya sepekan setelah
tragedi Paris, aksi terorisme kembali muncul di Bamako, ibu kota Mali
(20/11). Sejumlah teroris menyandera 170 orang di Radisson Blu Hotal, Bamako,
dan membunuh 27 orang di antaranya.
Prancis yang sepekan
sebelumnyamendapat serangan teroris di Paris hingga menewaskan 130 orang
kembali merasa terpukul. Bagaimanapun Mali adalah bekas jajahan Prancis dan
sangat dekat dengan negeri pusat mode itu. Mungkin itulah sebabnya, Presiden
Francois Hollande kembali merasa kecolongan terhadap aksi terorisme di Mali
tersebut.
Dunia masih terguncang
akibat aksi terorisme di Paris (13/11) yang menewaskan 130 orang itu. Puluhan
teroris menembaki orang-orang tak bersalah di tujuh tempat di Paris. Di
gedung konser, di lapangan sepak bola, di kelab malam, di restoran, di kafe,
dan di beberapa tempat keramaian. Mayatmayat pun bergelimpangan. Darah
berceceran dimana-mana.
Para teroris-yang
kemudian mengaku berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS)-menyatakan, tindakan pembantaian tersebut merupakan pembalasan NIIS
terhadap Prancis yang menyerang dan membom pasukan NIIS di Suriah beberapa
waktu sebelumnya.
Sepuluh bulan
sebelumnya (Januari 2015), sekelompok teroris juga menyerbu kantor majalah
Charlie Hebdo di Paris. Dua belas orang tewas. Dalam kasus Charlie Hebdo,
para teroris mengaku tindakannya merupakan balasan terhadap tabloid yang
pernah membuat kartun Nabi Muhammad. Pemuatan kartun Nabi itu dianggap
sebagai penghinaan terhadap umat Islam. Apa pun alasannya, tindakan
pembantaian tersebut merupakan terorisme yang dikutuk Islam.
Sejumlah organisasi
Islam di dunia menyatakan bahwa apa yang terjadi di Paris itu tidak mewakili
Islam. Mereka, para teroris, dianggap hanya bertindak untuk kepentingan
kelompoknya yang haus kekuasaan. NIIS adalah penjelmaan kelompok radikal haus
kekuasaan tersebut. Barat dan kalangan Islam moderat menyatakan bahwa NIIS
sama sekali tidak mewakili Islam. Tapi faktanya, kenapa banyak kaum muda
Islam tertarik dengan NIIS dan mau bergabung dengannya?
Inilah yang perlu
mendapat perhatian, kenapa NIIS bisa tumbuh dan berkembang di mana-mana? NIIS
seakan menjelma sebagai bentuk kekecewaan kelompok tertentu terhadap
pemerintahan Islam yang ada sekaligus representasi kebencian terhadap Barat
yang dianggap selalu menindas umat Islam.
Radikalisme Islam?
Meski dunia Islam dan
internasional mengutuk terorisme yang dilakukan kelompok radikal Islam,
kenyataannya ideologi radikal ini tidak pernah mati. Sejak Islam lahir
ideologi radikal ini terus menghantui dan merusak sistem pemerintahan Islam.
Sejarah misalnya mencatat tiga khalifah utama (khulafaaur rasyidin)- Umar bin
Khatab, UsmanbinAffan, dan Ali bin Abi Thalibdibunuh kelompok radikal.
Keberadaan kelompok
radikal ini makin meluas sejak meninggalnya khalifah Ali bin Abi Thalib.
Mereka menamakan dirinya kelompok Khawarij. Kelompok radikal ini mengusung
slogan la hukma illallah dan mengafirkan siapa saja yang tidak mengikuti
ajarannya. Khawarij tidak hanya menolak kekhalifahan Ali, tapi juga Muawiyah.
Perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah juga telah menumbuhkan benih-benih
radikalisme di kalangan umat Islam.
Sejarah kemudian
mencatat, di hampir setiap pergantian kekhalifahan yang berdasarkan klan-Ali
(Ahlul-Bait), Muawiyah, dan Usmaniyah (Turki)-semuanya mengusung ideologi
radikal tersendiri. Kekhalifahan terakhir (kerajaan) klan Ibnu Saudpendiri
Arab Saudi-adalah pengikut paham radikal Wahabi yang dibawa Muhammad bin
Abdul Wahab.
Dengan bantuan
Inggris, klan ini berhasil mendirikan negara Islam Arab Saudi dengan khalifah
(raja) pertama Abdul Aziz bin Ibnu Saud (1880- 1953). Syaikh Najih Ibrahim,
ulama berpengaruh dari Mesir, menyatakan bahwa sesungguhnya terorisme
pemikiran lebih menakutkan dan mengancam daripada terorisme fisik. Kenapa?
Karena, pertama, terorisme pemikiran adalah awal dari terorisme fisik. Syaikh
Najih Ibrahim dan Syaikh Ali Muhammad Syarif, dalam bukunya, Hurmatu al-Ghuluwu fi al Din wa Takfir al-Muslimin
(Larangan Berlebih-lebihan dalam
Beragama dan Mengafirkan Umat Islam) menyatakan terorisme pemikiran atau
ideologi radikal sangat berbahaya karena klaim kebenaran mutlaknya.
Terorisme pemikiran
bertolak dari pandangan fanatik terhadap pendapatnya sendiri dan menolak
pendapat orang lain. Pola pikir yang demikian tidak jarang berujung pada
pemaksaan pemahaman dengan cara kekerasan. Kedua, memahamiteks-teks
agamasecara harfiahdan tidak bisa menyelami makna dan hikmahnya.
Dengan cara demikian,
mereka memahami makna Alquran tentang perang tanpa mengaitkan tujuan dan
sebab ada perang tersebut. Ketiga, berlebih-lebihan dalam pengharaman. Dalam
sudut pandang mereka, segala sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam syariat
dituding haram. Keempat, mudah mengafirkan kepada siapa saja yang berbeda
pandangan. Ideologi ini sangat berbahaya karena menjadi awal dari kekerasan
fisik.
Jika seseorang telah
dinyatakan kafir, murtad, atau sesat, sama artinya boleh dilakukan kekerasan
(pembunuhan) terhadap orang tersebut (Mufid, 2015). Pembantaian manusia di
Paris oleh NIIS adalah wujud dari pemahaman radikal itu. Dendam NIIS terhadap
Prancis yang ikut serta dalam pemboman terhadap Raqqah, ibu kota NIIS, bukan satu-satunya
alasan kenapa teroris NIIS menembaki orang-orang tak bersalah di Paris.
Ada logika ekstrem
yang jadi panduan kaum radikal. Prancis adalah negeri kafir dan sekutu biang
kerok negeri kafir Amerika. NIIS mungkin mencatat, Prancis adalah negeri yang
pernah melarang pemakaian jilbab di ranah publik, Prancis adalah negeri
tempat majalah Charlie Hebdo yang kartun-kartunnya sering menghina Nabi
Muhammad, dan Prancis adalah negeri sekuler anti- Islam.
Persoalannya, apakah
bahaya radikalisme Islam hanya menghantui Prancis? Jawabnya: tidak. Indonesia
pun kini tengah menghadapi ancaman kelompok radikal tersebut. Kita masih
ingat aksi-aksi terorisme yang dilakukan kelompok Mujahidinalumni
Afghanistan-dengan tokoh-tokoh Imam Samudera, Amroji, Umar Patek, Dulmatin,
dan lain-lain. Bom Bali, bom Kedutaan Australia, bom Ritz Carlton, bom JW
Marriot, dan lain-lain adalah produk terorisme kelompok Mujahidin (alumni
Afghanistan) tersebut.
Padahal, alumni
Afghanistan ini jumlahnya hanya sekitar 600 orang. Berdasarkan catatan, dari
600 orang ini, hanya puluhan yang pernah terlibat langsung dalam peperangan
melawan tentara Rusia di Afghanistan. Sebagian besar hanya belajar dan
berlatih di Akademi Militer Afghanistan.
Sejauh ini belum
pernah tercatat ada Mujahidin dari Indonesia yang tewas dalam peperangan di
Afghanistan. Sekarang bandingkan dengan pengikut NIIS di Irak dan Suriah.
Saat ini sudah tercatat 1000 orang lebih warga negara Indonesia (WNI) yang
bergabung dengan NIIS. Mereka ikut berperang dan puluhanorangNISS-WNItewas.
Dua orang di antaranya putra Imam Samudera dan Abu Jibril.
Jelas bahwa
keterlibatan WNI dalam NIIS (Irak dan Suriah) jauh lebih besar ketimbang
dalam Mujahidin (Afghanistan). Yang jadi persoalan, baik yang terlibat dalam
Mujahidin maupun NIIS, mereka adalah kelompok-kelompok yang sama yaitu
kelompok radikal Islam yang merindukan berdirinya khilafah atau negara Islam.
Pertanyaannya, jika petualangan kelompok Mujahidin masa lalu telah menimbulkan
korban ratusan jiwa di Indonesia, akankah petualangan NIIS masa datang juga
akan memakan korban jiwa di Indonesia? Wallahu
a’lam.
Pemerintah harus
ekstrawaspada terhadap fenomena NIIS yang garang tersebut. Bukan tidak
mungkin setelah Prancis, Mali, mereka juga akan menebarkan teror di
Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar