Pasar dan Kedaulatan Konsumen
Rizal E Halim ;
Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia;
Direktur Eksekutif Lingkar Studi
Efokus
|
KOMPAS,
27 November 2015
Menarik menyimak
tulisan Profesor Emil Salim terkait rencana keikut-sertaan Indonesia dalam Trans-Pacific Partnership (Kompas,
6/11). Terlihat jelas kegelisahan Prof Emil dalam rangkaian kata-katanya.
Saya sangat memahami kegelisahan itu, mengingat satu-satunya sumber daya
saing Indonesia yang menonjol dalam 10 tahun terakhir adalah pasar yang besar
(market size), seperti laporan Global Competitiveness Report dari
waktu ke waktu.
Struktur ekonomi
nasional juga sangat diuntungkan dengan besaran pasar ini sehingga konsumsi
domestik (rumah tangga) menjadi tulang punggung perekonomian nasional selama
ini. Itu sebabnya kebijakan menjaga daya beli rumah tangga menjadi urgen.
Setidaknya hingga ada perubahan struktur, seperti industrialisasi atau ekspor
sebagai penopang perekonomian.
Rencana masuknya
Indonesia dalam Trans-Pacific
Partnership (TPP) memang mengundang kontroversi. Hampir sebagian besar
berpendapat TPP hanya akan mengeksploitasi pasar Indonesia dengan masif,
menghadapkan industri nasional dengan kekuatan multinasional, mempersempit
ruang gerak pemerintah dalam mengendalikan praktik bisnis, dan lain
sebagainya.
Proteksi pasar dalam
negeri banyak dikritik negara industri karena dipandang menghambat kegiatan
perdagangan, industri, dan investasi. Di sisi lain, proteksi pasar dalam
negeri tetap dibutuhkan Indonesia mengingat proses penguatan daya saing belum
berada pada level yang sama dengan negara-negara industri.
Saya berpendapat bahwa
proteksi pasar tak sekadar argumentasi ekonomi daya saing atau efficiency economy, tetapi lebih dari
itu. Proteksi pasar harus diterjemahkan sebagai proteksi konsumen dari
berbagai perilaku industri mengingat logika pasar yang dibangun di sejumlah
negara—termasuk Indonesia—sering mengedepankan paradigma ekonomi efisiensi (efficiency extremists).
Secara sadar, kelompok
paradigma efisiensi banyak dikritik, baik dalam domain diskusi pasar,
persaingan, maupun perlindungan konsumen. Paradigma efisiensi adalah salah
satu aliran yang berkembang dari Chicago
School of Thought dengan para pionirnya, seperti Aaron Director, Richard
Posner, Robert Brook, dan sebagainya. Basis kelompok ini adalah teori harga,
di mana efisiensi penggunaan sumber daya akan mengoptimalkan tingkat
kesejahteraan konsumen.
Tentunya itu berbeda
dengan kelompok strukturalis Harvard (Harvard
School of Thought) yang mengedepankan konsep structure-conduct-performance (SCP). Struktur pasar yang
terkonsentrasi pada segelintir pelaku dipandang akan mendistorsi pasar dan
menghadirkan persaingan tidak sehat.
Dominasi paradigma
efisiensi kemudian banyak mendominasi keputusan-keputusan kongres di AS,
menggeser paradigma SCP.
Efisiensi sudah usang
Dalam
perkembangan—bahkan sejak tahun 80-an—paradigma efisiensi dipandang mulai
usang (obsolete). Salah satu kritik
diutarakan oleh Robert H Lande dalam tulisan setebal 85 halaman di Hasting Law Journal, September 1982. Ia
menyatakan, ”Chicago School antitrust
policy rests upon the premise that the sole purpose of antitrust is to
promote economic efficiency... this foundation is flawed. The fundamental
purpose of antitrust is to protect consumers. To protect purchasers from
paying supra-competitive prices when they buy goods or services”.
Maka, satu-satunya
tujuan utama regulasi antitrust adalah melindungi konsumen. Dalam situasi
persaingan yang kompleks dan dinamika lingkungan yang acak, kehadiran negara
diperlukan untuk mengoptimalkan perlindungan konsumen. Memberikan
perlindungan dan kedaulatan bagi konsumen adalah ultimate goal yang seharusnya diusung kebijakan antitrust. Lande
dan kawan-kawan ini kemudian dikenal sebagai kelompok Post-Chicago School of Thought.
Kelompok Post-Chicago
merupakan gelombang pemikiran yang relatif lebih modern dan dinamis dari
kelompok Chicago sebelumnya. Beberapa perbedaan yang menonjol adalah,
pertama, jika sebelumnya kelompok Chicago menggunakan pendekatan efisiensi
(berbasis Teori Harga), kelompok Post-Chicago memilih pendekatan simulasi (game theory) yang lebih dinamis
memotret persaingan usaha.
Kedua, kelompok
Chicago cenderung menggunakan pendekatan deduktif, sedangkan Post-Chicagoinduktif.
Ketiga, kelompok Chicago berbasis norma, sedangkan Post-Chicago berbasis
fakta lapangan. Keempat, kelompok Chicago relatif lebih abstrak dan
Post-Chicago lebih empiris.
Beberapa tokoh yang
populer dalam kelompok Post-Chicago adalah JB Baker, EM Fox, H Hovenkamp, MS
Jacobs, RH Lande, O Williamson, DG Baird, dan RH Gertner.
Gundlach (2001)
menyebutkan bahwa kelompok Post-Chicago relatif menganalisis fenomena
persaingan usaha dengan mengakomodasi perilaku perusahaan di tengah
ketidaksempurnaan informasi sehingga potret persaingan relatif dinamis.
Beberapa contoh pergeseran
paradigma hukum persaingan usaha dari kelompok Chicago ke Post-Chicago di
Amerika dapat diamati dari putusan pengadilan kasus Eastman Kodak versus Image
Technical Services Inc pada 1992 (Lande,1993) atau kasus Brook Group Ltd versus Brown and Williamson Tobacco Corporation
pada 1993 (Gundlach, Phillips, and
Desrochers, 2002).
Schleicher (1997)
menyatakan bahwa pada kasus Eastman Kodak, pengadilan lebih menggunakan
pendekatan biaya informasi (Post-Chicago) dibandingkan argumentasi efisiensi
(Chicago) yang banyak digunakan dalam kasus-kasus sebelumnya.
Konteks kekinian
memang tidak lagi menggunakan logika pasar berbasis teori neoklasik yang
mengasumsikan pasar terbentuk oleh dorongan konsumsi yang menstimuli
produksi. Asumsinya konsumen memiliki preferensi dan informasi lengkap
sehingga bisa mengoptimalkan pilihan. Logika ini terlalu kuno (old fashion) sehingga tidak dapat
menangkap fenomena sekarang.
Logika pasar
Ada baiknya logika
pasar mendapat perhatian pemikir ekonomi. Regulator dan komisi persaingan
adalah logika pasar yang dibangun kelompok Post-Keynesian. Salah satu yang
cukup populer adalah dependence effect paradigm, di mana perkembangan
lingkungan begitu pesat sehingga hubungan antara konsumsi dan produksi bisa
berkebalikan arah dari asumsi paradigma neoklasik: produksi justru penggerak
konsumsi.
Paradigma
Post-Keynesian juga memandang bahwa pasar (baca: konsumen) tidak selamanya
rasional dalam menentukan pilihan. Dalam kondisi ini, konsumen menjadi pihak
yang vulnerable dan kehilangan kedaulatan (sovereign). Dengan pendekatan ini, tujuan akhir dari regulasi
pasar tidak lain adalah mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan konsumen. Hal
ini penting di tengah ketidakpastian dan proses integrasi sekaligus
interdependensi ekonomi dunia yang semakin pesat.
Di Indonesia saat ini
terkesan ambigu dengan menggunakan perangkat penguasaan pasar (SCP) di satu
sisi, sementara di sisi lain argumentasi efisiensi menjadi pemanisnya. Ini
juga menjadi jawaban mengapa sejumlah kasus praktik usaha yang tidak sehat
sulit diselesaikan. Karena memang tujuannya sekadar efisiensi, bukan
melindungi dan demi kedaulatan konsumen.
Seberapa besar daya
tawar konsumen—individu dan rumah tangga—saat ini terhadap berbagai barang
dan jasa? Andalah yang layak menilainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar