Budaya Malu Politisi
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset di Pusat Penelitian
Politik LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 23 November 2015
L AIN padang lain ilalang, lain lubuk lain
ikannya, lain negara lain pula budayanya. Di negara-negara yang menjunjung
tinggi etika dan hukum, politikus yang melakukan tindakan tidak terpuji,
apakah itu skandal seks atau korupsi, langsung mengundurkan diri. Di Inggris,
misalnya, seorang menteri yang ternyata memiliki hubungan di luar nikah dan disorot
publik karena adanya pemberitaan di media massa langsung menyatakan
mengundurkan diri. Seorang menteri di Jepang mengundurkan diri karena dia
lupa melaporkan adanya bantuan dari seorang pendukung pada masa kampanye
pemilu yang jumlahnya hanya 50 ribu yen atau sekitar Rp5 juta!
Ketua Parlemen Korea Selatan, Park Hee-Tae,
dari Partai berkuasa Grand National
Party, memutuskan mengundurkan diri akibat adanya pengakuan dari salah
satu anggota parlemen dari partai itu yang mengatakan menerima sogokan pada pemilihan
ketua partai pada 2008.
Namun, ada juga seorang PM Jepang, Kakuei
Tanaka, yang dipaksa mundur dan diajukan ke pengadilan serta ditahan karena
skandal suap pembelian pesawat Lockheed L-1011 pada 1976. Meskipun Menteri
Luar Negeri AS Henry Kissinger mencoba menutupi skandal tersebut demi menjaga
hubungan baik antara AS dan Jepang, anggota parlemen Jepang Takeo Miki
mendesak agar Diet (Parlemen Jepang) mendapatkan maklumat lanjut dari Senat
AS.
Meski seseorang menduduki jabatan sangat
penting dan berasal dari partai penguasa, kalau diduga dan terbukti bersalah,
tiada ampun dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, mundur, dan
kemudian mengikuti proses hukum. Jika itu terjadi di Indonesia, ceritanya
pasti lain!
Skandal Freeportgate
Skandal pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dilakukan Ketua DPR RI Setya Novanto untuk
mendapatkan 20% saham Freeport, yang katanya 11% buat presiden dan 9% buat
wakil presiden, serta permintaan 49% saham untuk proyek listrik yang akan
dibangun PT Freeport Indonesia di Timika Papua, tidak membuat sang ketua DPR
dari Partai Golkar itu mundur.
Setya
Novanto tetap tenang seakan tidak melakukan kesalahan apa pun. Hal yang lebih
menakjubkan, ia memutarbalikkan informasi seakan apa yang ia lakukan ialah
demi negara dan bangsa dan demi rakyat Papua.
Lebih
mengejutkan lagi ialah ucapannya yang menyatakan bahwa sebagai kader Partai
Golkar yang mendapatkan mandat menjadi ketua DPR RI, itu ialah tugas dia
untuk memperjuangkan kepentingan negara, bangsa, dan menjaga muruah Presiden
dan Wakil Presiden sebagai lambang negara.
Setya Novanto hanya mengucapkan kata `maaf'
kepada publik karena yang dia lakukan telah menimbulkan kegaduhan politik di
Indonesia dan tidak menyatakan diri mundur dari jabatannya. Kantor berita
Inggris Reuters yang mendapatkan telepon dari seorang senior Partai Golkar, Fahmi Idris, sempat
memberitakan bahwa Setya Novanto sudah menyatakan mundur. Namun, beberapa
menit kemudian, Reuters memberitakan kembali pernyataan dari salah seorang petinggi
Golkar bahwa Novanto belum
mundur.
Pro dan kontra
politisi
Skandal Freeportgate atau lebih dikenal dengan
`papa minta saham' dan meniru penipuan `mama minta pulsa' yang baru saja
ditangani polisi itu tidak menyebabkan politisi dari Partai Golkar menyatu
untuk mendesak Novanto mundur.
Padahal, yang dilakukan Setya Novanto, jika
terbukti benar, akan sangat memalukan Partai Golkar dan menghinakan muruah
partai. Lebih menarik lagi, Novanto malah mendapatkan dukungan dari para
Wakil Ketua DPR yang lintas partai itu. Kita belum tahu apa hasil dari
pertemuan para petinggi partai di Koalisi Merah Putih (KMP) di rumah kediaman
Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, pada Jumat, 20 November 2015. Apakah
mendesak Novanto mundur ataukah mendesak agar Novanto melawan balik Menteri
ESDM Sudirman Said.
Terbetik
berita bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melaporkan Menteri ESDM ke Mabes
Polri karena menyebarkan surat laporan atas kasus Novanto kepada pers. Ini
dianggap melanggar kesepakatan antara Menteri ESDM dan MKD agar persoalan itu
tidak sampai ke publik alias ada usaha untuk menutup-nutupi skandal ini.
Kita patut bertanya ada apa dengan DPR dan
khususnya anggota MKD. Mengapa meributkan bocornya surat laporan Menteri ESDM
dan bukan membahas esensi atau substansi ini dari laporan Menteri ESDM itu.
Ada pula yang mempertanyakan mengapa
pembicaraan antara Setya Novanto, Mohammad Reza Chalid dan Dirut PT Freeport
Indonesia Ma'roef Sjamsoeddin direkam? Mereka lupa bahwa Ma'roef pernah
menjadi Waka BIN yang tentunya memiliki insting intelijen untuk melakukan
perekaman jika ada hal-hal yang dapat dikategorikan mengarah pada
permufakatan jahat yang membahayakan Presiden, Wakil Presiden, dan negara.
Suatu yang aneh bin ajaib ialah pernyataan
dari salah seorang Wakil Ketua MKD dari PDIP Junimart Girsang yang menyatakan
bahwa tidak ada aturan di UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) yang )y y g menyatakan
bahwa Ketua DPR harus mundur apabila menghadapi suatu kasus yang sedang
ditangani MKD. Di mata publik, ini bukan soal ada tidaknya aturan agar seorang
Ketua DPR mundur sementara jika menghadapi skandal, melainkan soal etika
seorang anggota DPR yang sudah mengucapkan sumpah untuk tidak menggunakan
posisi jabatannya untuk menerima apa pun dari siapa pun. Apakah ia tidak memiliki
rasa malu atas perbuatannya yang bukan saja mencatut nama Presiden dan Wakil
Presiden, melainkan juga membahayakan negara. Apalagi, upaya mendapatkan
saham yang aduhai banyaknya itu dilakukan terhadap sebuah perusahaan tambang
yang sedang berusaha keras mendapatkan perpanjangan kontrak karya penambangan
di Papua sampai 2041.
Masih ada anggota DPR yang masih menunjukkan
rasio nalitas dan menjunjung tinggi etika pejabat. Ruhut Sitompul, misalnya,
dengan gayanya yang khas selalu menyatakan bahwa kasus Setya Novanto ini
menambah buruk citra DPR di mata rakyat yang berujung pada ketidakpercayaan
rakyat. Ruhut sangat paham mengenai sepak terjang Setya Novanto, termasuk
berbagai kasus hukum yang pernah menyangkut Novanto yang selalu lolos.
Bagi Ruhut yang dulu juga merupakan kader
Golkar sebelum pindah ke Partai Demokrat, Novanto orang yang licin bagai
belut. Desmond Mahesa, anggota DPR dari Gerinda, memiliki pandangan yang
hampir sama dengan Ruhut, yang memandang Setya Novanto bukan lagi tokoh yang
menjadi aset DPR, melainkan seorang yang dapat menghancurkan nama baik
lembaga DPR.
Hal yang sama juga diutarakan Taufiqul Hadi
dari NasDem. Tidak sedikit pula anggota DPR yang menilai bahwa MKD jangan
main-main dengan skandal Freeportgate
ini.
Bukan hanya di DPR Setya Novanto memiliki
pendukung. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut
Binsar Panjaitan walau nada pernyataannya seakan netral, itu mengandung
konotasi dukungan ketika ia menyatakan bahwa ia tidak marah namanya
disebut-sebut dan dicatut Novanto dalam pertemuannya dengan Dirut Freeport,
Ma'roef Sjamsoeddin. Luhut juga menyatakan bahwa apa yang mereka bicarakan
bukanlah hal yang serius, melainkan hanya obrolan ringan biasa (petty talk).
Kita tahu bahwa negosiasi bisnis bisa saja
dilakukan dengan obrolan ringan walau yang dinegosiasikan bisnis yang besar.
Namun, yang terjadi saat itu bukanlah petty
talk karena dilakukan selama tiga
kali! Gaya negosiasi bisa santai penuh tawa dan canda sepert ketika Novanto
menyatakan “bikin beliau happy kita juga
happy. Kumpul-kumpul main golf, beli pesawat private jet yang
representative.“
Namun, mencatut nama Presiden dan Wakil
Presiden bukanlah suatu hal yang biasa, melainkan suatu yang serius yang
bukan saja menyangkut muruah dan nama baik presiden/wakil presiden, melainkan
bisa menghancurkan bangsa dan negara ini. Bayangkan jika seorang Ketua DPR
dianggap biasa mencatut nama Presiden dan atau Wakil Presiden? Bagaimana jika
itu juga dilakukan pejabat, politisi, atau orang lain?
Tuntaskan
Publik yang gemas dengan skandal ini terus
mendesak agar skandal ini
dituntaskan bukan saja melalui MKD, melainkan juga
pengadilan. Mereka juga membuat tiga petisi agar Novanto mundur.
Publik dan anggota DPR yang rasional dan menjaga
etika juga khawatir akan kemungkinan MKD masuk angin karena itu sudah terjadi
pada kasus Trumpgate, yaitu kasus
Setya Novanto dan Fadli Zon bertemu dengan salah seorang capres dari Partai
Republik Donald Trump di AS. Kasus Freeportgate
bukan skandal biasa, melainkan amat serius. Penyelesain skandal ini akan
menyelamatkan nama negara, Presiden, Wakil Presiden, dan tentunya lembaga
DPR. Jika ternyata Setya Novanto lolos di MKD, ini akan menambah daftar
betapa ia bagaiikan orang sakti yang selalu lolos dari kasus-kasus yang
menjeratnya.
Ini bukan soal apakah politisi kita tidak
punya rasa malu, melainkan apakah masih ada persamaan hukum di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar