Menjaga Integritas Kelembagaan DPR
Hendardi ;
Ketua Badan Pengurus Setara Institute,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 20 November 2015
KONTROVERSI PT Freeport Indonesia yang menge
muka belakangan ini bu kanlah yang pertama.Kehadiran Freeport bahkan sejak
awal telah membawa kontroversi permanen karena keberadaannya dianggap sangat
merugikan bangsa Indonesia, akibat rezim kontrak karya eksklusif yang tidak
lazim, yang mengikat pemerintah Indonesia dengan Freeport sejak 1967.Terkait
dengan negosiasi perpanjangan dan hubungan kontraktual yang adil, pemerintah
di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono telah memulai. Meski masih
terbatas membangun komunikasi, proses itu pun dikabarkan tersengat oleh
negosiasi panas yang menggiurkan.
Kontroversi terbaru dalam negosiasi kontrak
karya ini muncul semakin serius karena melibatkan Ketua DPR Setya Novanto,
yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M Jusuf
Kalla. Belakangan nama Menko Polhukam Luhut B Panjaitan juga disebut. Jika Jokowi-JK
merasa terganggu dengan pencatutan, Menteri Luhut justru merasa tidak perlu
mempersoalkannya. Segera, setelah Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan kasus
itu kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), kasus pencatutan menjadi isu
politik yang serius.
Membuka tabir
Kasus pencatutan dalam konteks hukum pidana
bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana. Tergantung unsur pidana yang
dipenuhinya, pencatutan bisa dikualifikasi sebagai penipuan atau pemerasan.
Tindakan pencatutan juga merupakan tindakan tidak bermoral karena dilakukan
Ketua DPR, pemimpin lembaga tinggi negara yang sangat strategis dalam sistem
kenegaraan Indonesia. Ujung peristiwa itu belum diketahui, tetapi yang pasti,
peristiwa itu telah memunculkan pengetahuan baru bagi publik bahwa soal Freeport
ialah soal yang pelik, misterius, dan menuntut transparansi tinggi apa pun
penanganan yang akan dilakukan atas negosiasi itu.
Ketua lembaga tinggi negara ialah wajah dan
representasi dari suatu lembaga. Karena posisinya yang sangat strategis,
penerapan standar etik dan integritas pribadi pejabat tinggi negara untuk
mengukur tingkat ketidakpatuhannya pada etika politik juga harus berstandar
tinggi. Demikian juga dalam hal mengukur kontroversi tindakan seorang pejabat
tinggi. Kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla oleh Ketua DPR Setya Novanto dalam negosiasi perpanjangan kontrak
PT Freeport Indonesia merupakan tindakan tidak bermoral dan pelanggaran hukum
serius yang dapat mengikis integritas dan muruah kelembagaan DPR.
Pelanggaran tersebut sudah cukup menjadi
alasan bagi MKD untuk memberikan sanksi berat dalam bentuk pemberhentian
Setya Novanto dari kursi Ketua DPR. Transparansi dan kecepatan kerja MKD akan
menjadi penentu bagi kelanjutan penyelesaian kasus ini. Semua pihak harus
memastikan agar MKD dapat bekerja tanpa intervensi.
Harus diakhiri
Kontroversi itu harus diakhiri dengan mengusut
sampai tuntas peristiwa pencatutan. Dalam menyikapi kasus ini perlu ada
sejumlah langkah paralel yang ditempuh. Pertama, proses pemeriksaan etik akan
dilakukan MKD dan menjadi dasar pemberhentian Setya Novanto. MKD harus
bekerja tanpa intervensi dan kepentingan kelompok. MKD harus dipastikan
bekerja hanya untuk menyelamatkan integritas kelembagaan DPR yang tercoreng
oleh ulah ketuanya. MKD dituntut transparan dan secara reguler melaporkan
kinerjanya secara terbuka sehingga proses di MKD bukan malah menimbulkan
keraguan baru.
Kedua, proses pidana, jika kasus ini
diteruskan ke proses hukum, juga dapat menjadi dasar pengakhiran kontroversi
ini. Selain akan berujung pada pemberhentian Setya Novanto, jika terbukti
melakukan tindak pidana, juga harus dihukum. Status terdakwa yang nanti
disandang, akan menjadi dasar pemberhentian dirinya sebagai Ketua DPR dan
seba gai anggota DPR.
Ketiga, demi menjaga integ ritas kelem bagaan
DPR, Setya Novanto disarankan untuk mengundurkan diri. Jika yang bersangkutan
tidak mau mengundurkan diri, Ketua Umum Partai Golkar versi Munas Bali, Aburizal
Bakri, harus mengambil prakarsa untuk menarik dukungan atas Setya Novanto di
parlemen. Aburizal, sebagai ketua umum partai, memiliki kewenangan untuk
menarik kader partai dari kursi pimpinan. Langkah ketiga itu ialah langkah
yang paling mudah dan tidak menimbulkan kegaduhan politik. Partai Golkar juga
dapat menunjukkan keberpihakannya pada upaya penyelamatan integritas
kelembagaan DPR dengan menarik status keanggotaan Setya Novanto di parlemen.
Jika ketiga langkah tersebut sulit diambil,
fraksi-fraksi di DPR juga dapat menempuh jalan politik untuk mengajukan mosi
tidak percaya atas Setya Novanto. Mosi ini akan meyakinkan pimpinan Partai
Golkar, tempat Novanto berasal, untuk mengambil tindakan segera. Meskipun mosi
ini berpotensi menimbulkan kegaduhan politik, bisa menjadi langkah cepat
untuk memulihkan martabat kelembagaan DPR. Jalan terakhir ini ialah yang
paling berisiko karena mengundang kegaduhan politik meluas meski tetap dalam
kerangka perundang-undangan dan dilindungi konstitusi. Fraksi-fraksi harus
melihat upaya pengakhiran kontroversi ini sebagai upaya pemulihan martabat
kelembagaan DPR bukan dalam konteks melengserkan Setya Novanto secara
personal.
Sebagai gambaran, pada posisi MKD telah
menerima pengaduan, langkah yang akan ditempuh ialah (a) MKD akan membentuk
panel khusus yang memeriksa kasus yang diadukan, yang terdiri dari 3 anggota
MKD dan 4 orang dari unsur masyarakat; (b) panel akan bekerja (melakukan
penyelidikan) selama 30 hari, setelah itu hasil kerja panel MKD akan
diserahkan ke MKD; (c) MKD membutuhkan waktu 10 hari untuk kemudian membawa
hasil pemeriksaan tersebut ke Rapat Paripurna DPR.
Jika Rapat Paripurna DPR menyetujui hasil MKD,
pimpinan DPR diberhentikan setelah mendapat keputusan dari MKD dan diumumkan
dalam rapat paripurna. Selanjutnya, Keputusan disampaikan pimpinan DPR kepada
pimpinan partai politik yang bersangkutan paling lama tujuh hari sejak
diumumkan dalam rapat paripurna. Dalam waktu 30 hari pimpinan partai politik
memberikan keputusan atas pemberhentian pimpinan DPR tersebut.
Memang jalan menuju pengakhiran kontroversi
ini berliku, tetapi tanpa upaya ini, tindakan tidak bermoral pejabat tinggi
negara tidak akan pernah bisa dihukum, sebagaimana kasus-kasus pelanggaran
etika lainnya yang hanya berhenti pada teguran lisan dan tertulis. Selain
yang utama menyelamatkan martabat DPR, kasus ini juga membuka pengetahuan
publik tentang pentingnya semua mata mengawasi bagaimana sumber daya alam
Indonesia dikelola. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar