Sampah, dari Masalah Menjadi Berkah
Handi Sapta Mukti ; Praktisi Bisnis & Manajemen;
Pengajar di ABFI Institute
Perbanas
|
KORAN
SINDO, 21 November 2015
Gubernur Ahok kembali
mengumbar amarah, kali ini masalah sampah yang menjadi penyebabnya. Sampah
memang telah menjadi persoalan sejak lama bagi pengelola kota-kota besar di
Indonesia, bahkan bagi Pemerintah Kota Jakarta sekalipun, sampah menjadi
persoalan yang tidak ada habisnya. Bagaimana tidak menjadi masalah jika
setiap hari Jakarta dibanjiri oleh sekitar 6000 ton sampah atau 180,000 ton
dalam sebulan! Bantargebang adalah satu-satunya lokasi tempat pembuangan
akhir (TPA) sampah yang dimiliki oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini.
Apabila lokasi itu ditutup maka dalam beberapa bulan saja sampah di Jakarta
sudah cukup untuk menutupi lapangan Monas yang menjadi kebanggaan Indonesia.
Mengapa kita seperti
terbelenggu dengan persoalan ini, tidak adakah cara yang lebih cerdas dalam
mengelola dan memanfaatkan sampah, sehingga sampah yang selama ini menjadi
masalah bisa diatasi dengan pengelolaan yang lebih baik dan bermanfaat. Di
tingkat mikro sudah banyak kita melihat kreativitas yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat. Mereka terutama memanfaatkan sampah-sampah anorganik
seperti besi, alumunium, kaca dan plastik untuk didaur ulang menjadi bijih
plastik, bijih besi, dan lainlain untuk keperluan industri, sebagian lagi
mengolahnya menjadi barang kerajinan.
Adapun sampah organik
sebagian dimanfaatkan menjadi pupuk, kompos dan sebagainya. Sebagian sudah
mampu memanfaatkan sampah menjadi sumber energi dengan teknologi insenerasi.
Namun jika semua dikerjakan dalam skala kecil, dampaknya pun tidak akan
terasa. Perlu keterlibatan pemerintah agar pengelolaan sampah bisa memberikan
manfaat yang jauh lebih besar.
Sampah Kota Menjadi Energi
Insenerasi adalah
teknologi pembakaran sampah yang sudah lama kita kenal, sederhananya alat ini
membakar sampah di ruang tertutup dan ampasnya bisa digunakan untuk pupuk.
Dengan sedikit tambahan teknologi, panas yang dihasilkan bisa dikonversi
menjadi uap yang dapat digunakan untuk menggerakkan turbin dari mesin
pembangkit listrik.
Bergantung pada
besaran kapasitas insenerasi, listrik yang dihasilkan bisa mencapai 1 MW per
unit instalasi. Dengan menggunakan teknologi gasifier, prosesnya akan lebih
sederhana lagi. Karena teknologi ini mampu mengonversi sampah langsung
menjadi gas (gasifikasi) yang dapat langsung digunakan untuk menggerakkan
turbin pembangkit listrik.
Teknologi ini mampu
menghasilkan tenaga listrik yang lebih besar, kira-kira dengan suplai 300 ton
sampah per hari mampu menghasilkan sekitar 10 MW tenaga listrik. Anda bisa
hitung sendiri kurang lebih listrik yang dihasilkan dari sampah Jakarta yang
berjumlah 6.000 ton per hari.
Beberapa tahun lalu
saat Pertamina masih dipimpin Karen Agustiawan pernah ada upaya untuk
memanfaatkan sampah Jakarta (Bantargebang) menjadi sumber energi dengan
menggunakan teknologi tersebut. Sayang, upaya tersebut hanya berhenti sampai
kepada feasibility study (FS) saja dan belum ada kejelasan akan kelanjutannya
hingga saat ini.
Di lain pihak sudah
banyak negara yang sukses dalam memanfaatkan sampah menjadi energi, seperti
Amerika Serikat, Afrika Selatan, Kanada, India. Bahkan di Inggris, mereka
bisa mengonversi sampah kota menjadi bahan bakar pesawat terbang (avtur) yang
digunakan oleh British Airways.
Dalam beberapa
kesempatan, saya juga pernah bertemu dengan pejabat pemerintah daerah di
beberapa wilayah di Indonesia yang mengurusi masalah sampah dan melihat
bagaimana pengelolaan sampah yang mereka lakukan dan ternyata semua masih
dilakukan secara konvensional (open
dumping) sehingga kebutuhan lahan untuk pembuangan sampah selalu
meningkat dari tahun ke tahun, belum lagi dengan masalah kesehatan dan
lingkungan yang ditimbulkannya sehingga belum memenuhi persyaratan
sebagaimana diamanatkan dalam UU No 18 Tahun 2008.
Saat ini sampah juga
masih menjadi beban anggaran bagi pemerintah daerah, karena mereka harus
mengeluarkan biaya (tipping fee)
untuk pihak ketiga yang ditunjuk untuk mengelola sampah tersebut. Persoalan
klasik yang selalu muncul untuk menggunakan teknologi dalam penanganan sampah
adalah keterbatasan anggaran.
Jikapun ada pihak
swasta yang tertarik untuk berinvestasi, persoalan kedua yang muncul adalah
birokrasi. Pasalnya, belum adanya mekanisme dan aturan main yang jelas untuk
kerja sama antara swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sampah sebagai
sumber energi.
Manfaat
Banyak sekali manfaat
yang dapat diperoleh dengan memanfaatkan sampah sebagai bahan baku energi di
antaranya; pertama, sampah kota akan terserap habis untuk dikonversi menjadi
energi. Kedua , masyarakat tetap dapat memanfaatkan sampah-sampah anorganik
untuk daur ulang industri, karena yang digunakan untuk proses gasifikasi
adalah sampah organik, sehingga dampak sosial ekonomi masyarakat tidak
terganggu.
Ketiga, kebutuhan
lahan untuk pembuangan akhir sampah tidak akan bertambah, bahkan dapat
berkurang setiap tahunnya. Keempat, energi yang dihasilkan bisa dimanfaatkan
baik untuk skala kecil maupun besar, bergantung suplai sampah dan energi
listrik yang dihasilkan. Kelima, mengurangi beban anggaran pemerintah daerah,
bahkan energi listrik yang dihasilkan dapat menjadi sumber pendapatan baru.
Keenam , mengatasi masalah kesehatan dan lingkungan hidup.
Ketujuh , mendapatkan
sumber-sumber energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan. Jika begitu
banyak manfaat yang akan diperoleh, lalu kenapa pemerintah seperti menutup
mata dan telinga terhadap peluang ini? Seharusnya hal ini tidak luput dari
perhatian pemerintah, karena masalah energi adalah masalah nasional bahkan
sudah menjadi masalah dunia terutama penggunaan energi yang ramah lingkungan.
Pemerintah juga sangat tahu jika sampah masih menjadi persoalan krusial bagi
sebagian besar kota-kota di Indonesia.
Terobosan Birokrasi
Diperlukan terobosan
dan cara untuk mempercepat pelaksanaan inisiatif ini, beberapa di antaranya;
pertama, mempermudah jalan atau birokrasi bagi swasta yang akan melakukan
investasi di bidang ini. Kedua, memberikan keringanan fiskal dan pajak untuk
barang- barang atau teknologi yang masih perlu diimpor dari luar negeri.
Ketiga , menerapkan
kebijakan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) untuk teknologi yang dipakai.
Keempat, kewajiban merekrut mitra lokal dan proses alih teknologi. Kelima,
kerja sama operasi (KSO) yang saling menguntungkan. Keenam , pelaksanaan
Permen ESDM No. 19/2013 Pasal 2 tentang Kewajiban PLN untuk membeli tenaga
listrik dari pembangkit listrik berbasis sampah kota.
Ketujuh , kebijakan
tarif untuk energi listrik yang bersumber dari teknologi ramah lingkungan
yang mendapatkan apresiasi lebih tinggi dibandingkan dengan energi listrik
yang bersumber dari energi tak terbarukan (non-renewable ) Jika saja hal ini
bisa benarbenar dijalankan dengan baik, bukan hal yang mustahil jika sampah
yang selama ini menjadi masalah bisa menjadi berkah yang banyak memberikan
manfaat untuk kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar