Urgensi BUMN tanpa Intervensi
Tanri Abeng ; Mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN
|
KORAN
TEMPO, 16 November 2015
Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) adalah penyelenggara pelayanan publik dan penghasil keuntungan
bagi negara. Tapi, selama beberapa dekade, mereka tak bisa maksimal
menghasilkan laba. Salah satu sebabnya adalah intervensi yang masih kental.
Selalu saja ada intrik atau konflik yang mengiringi pengangkatan komisaris
ataupun direksinya.
Intervensi ini datang
dari luar, seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau birokrasi pemerintah.
Pengangkatan direksi yang harus melalui fit
and proper test oleh DPR membuat banyak kepentingan terselubung
berbenturan satu sama lain.
Hal lain yang ikut
memperburuk kinerja BUMN adalah budaya kerja organisasi yang sangat lamban,
berbelit-belit, serta miskin kreasi dan inovasi. Untuk itu, butuh
transformasi agar BUMN dapat selincah korporasi swasta yang cerdik mencari
laba sekaligus transparan.
Sebagai eksekutif dari
swasta dan kemudian menjadi menteri pertama national holding company, sejak
1998 saya berkali-kali menyatakan perlunya korporasi menjalankan good corporate governance (GCG) atau
tata kelola perusahaan yang baik.
Setelah meneken
perjanjian dengan Dana Moneter Internasional (IMF), Presiden Soeharto ingin
pinjaman US$ 43 miliar dari IMF itu dibayar dari peningkatan nilai BUMN. Tapi
Presiden sudah berpikir, kalau tidak ada transformasi, tidak mungkin BUMN
bisa diberdayakan untuk meningkatkan nilai asetnya.
Pada Januari 1998,
saya dipanggil Presiden dan diberi tahu bahwa Indonesia punya 158 BUMN. Jika
nilainya bisa ditingkatkan, sahamnya dapat dijual sebagian untuk membayar
utang. Saat itu nilai intrinsik BUMN US$ 44 miliar.
Saya menyarankan untuk
mengeluarkan BUMN dari birokrasi ke korporasi. Untuk itu, dibentuk national
holding company yang membawahkan 10 sectoral holding, seperti sektor
perhubungan, perkebunan, keuangan, dan sektor lain yang berpola commercial
market driven untuk mencapai profit. Pendekatan ini berbeda dari keinginan
IMF, yang menekankan privatisasi.
Dalam setahun, saya
dan menteri lain meningkatkan profit BUMN hingga 95 persen. Salah satu
kebijakan yang saya ambil adalah memberikan konsesi bagi empat BUMN, yaitu
Pelindo II, Pelindo III, Angkasa Pura I, dan Angkasa Pura II. Mengapa
konsesi? Kita mendapat dana segar di depan, tapi masih memiliki separuh
saham. Lalu, 20 tahun ke depan, seluruh saham kita dapat kembali. Itu terjadi
pada Pelindo II dan Pelindo III. Dari dua perusahaan itu kita memperoleh
hampir US$ 400 juta—jumlah yang besar dan langsung berdampak terhadap
peningkatan nilai rupiah.
Penerapan GCG yang
kini terus dijalankan oleh seluruh BUMN adalah hal yang harus kita
pertahankan. Ini menjadi modal bagi BUMN untuk dapat mempertahankan mitra
atau kerja sama bisnis. Sebagai contoh, Hutchison Port Holdings (HPH) tak
akan mau kembali bekerja sama dengan Pelindo II dalam pengelolaan JICT
(Jakarta International Container Terminal) jika Pelindo II tidak menjalankan
prinsip-prinsip GCG. Kerja sama itu bahkan dapat menghasilkan manfaat di muka
senilai US$ 486,5 juta.
Untuk melakukan GCG
dibutuhkan para pemimpin yang hebat, cerdas, kuat sekaligus keras. Bahkan, di
Pelindo II saat ini ada Oversight Committee (OC) yang dipimpin oleh Erry
Riyana Hardjapamekas dan selalu menjaga praktek GCG. Orang-orang seperti
Robby Djohan, Emirsyah Satar, R.J. Lino, Ignasius Jonan, dan Dahlan Iskan
adalah para pemimpin BUMN yang telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang
hebat, cerdas, kuat sekaligus keras.
Tanggung jawab berada
di pundak seorang menteri BUMN sebagai bos national holding company. Dia
harus memastikan bahwa para pemimpin BUMN nyaman bekerja. Agar menteri nyaman
bekerja, dia harus dijamin oleh presiden. Sayangnya, tak satu pun menteri
BUMN di negeri ini yang bekerja sempurna dan paripurna.
Mudah-mudahan, di masa
Presiden Joko Widodo, Menteri Rini Soemarno mampu bertahan karena belum
pernah ada Menteri BUMN yang bertahan lima tahun. Maksimal 2 tahun 6 bulan.
Saya saja hanya 2 tahun.
Kita tentu memiliki
mimpi BUMN di Indonesia bisa sebesar Temasek milik Singapura atau Khazanah di
Malaysia. Dua national holding company
tetangga itu bisa membesar karena tidak dijahili.
Formula menjadikannya
raksasa hanya ada tiga, yaitu depolitisasi, debirokratisasi, dan penetapan
aset dipisahkan dari aset negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar