Prestasi Baru setelah Azra Pimpin UI Negeri
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 23 November 2015
KIAN banyak institut
agama Islam negeri (IAIN) yang berubah menjadi universitas Islam negeri
(UIN). Yang memulai adalah IAIN Jakarta. Lebih dari sepuluh tahun lalu.
Disusul IAIN kota besar lainnya.
IAIN Surabaya, yang
pernah bertekad tidak akan pernah mau berubah menjadi UIN, akhirnya berubah
juga awal tahun ini. Di bawah kepemimpinan Prof Dr Abdul A’la yang asli
Madura.
Kini gelombang baru
menyusul: membuka fakultas kedokteran (FK). Juga dimulai UIN Jakarta. Di
zaman rektornya Prof Dr Azyumardi Azra, intelektual muda (saat itu) yang
sangat terkenal.
IAIN Jakarta memang
selalu beruntung mendapat rektor yang bukan hanya intelektual, tapi juga public opinion maker. Public figure.
Rektor setelah itu,
Prof Dr Komarudin Hidayat, bahkan terkenal juga di lapangan-lapangan golf.
Rasanya baru rektor
yang sekarang yang tidak dikenal luas konsep-konsep pemikiran keagamaan,
kebangsaan, dan kenegaraannya.
Minggu lalu saya ke
UIN Malang. Diminta memberi kuliah umum entrepreneurship.
Mahasiswa membeludak. Sampai duduk di lantai memenuhi sela-sela kursi di
ruangan besar itu.
Mayoritas yang tampil
ke panggung menyerbu saya dengan pertanyaan adalah mahasiswi dari prodi
akuntansi. Ada juga dari prodi teknik. Tentu masih ada dari prodi syariah.
Sebagai orang yang pernah
kuliah (lalu drop out) di IAIN,
saya kaget dengan perkembangan baru ini. Lalu membayangkan seperti apa dampak
jangka panjangnya.
Seperti apa struktur
masyarakat Islam di Indonesia 15 tahun ke depan. Apalagi setelah melihat
menjamurnya sekolah-sekolah swasta Islam yang bermutu internasional. Baik
dari sayap modernis maupun dari sayap tradisionalis. Seperti Al Azhar, Al
Izzah, dan banyak lagi.
Lihat juga munculnya
semangat pondok-pondok pesantren mengirim lulusannya untuk kuliah di
Tiongkok. Ke depan tentu akan lahir lapisan baru masyarakat Islam yang bakal
sangat berbeda.
Kini UIN Makassar dan
UIN Malang sedang menyiapkan diri membuka FK. Mereka melihat kenyataan
tetangganya sudah melangkah lebih dulu. Seperti Universitas Muhammadiyah yang
raksasa itu. Atau Universitas Islam Malang (Unisma) yang kian cantik itu.
Fakultas kedokterannya kian mapan saja.
Melihat new hope seperti itu, saya mencari
nomor telepon Prof Azyumardi Azra. Sudah sangat lama saya kehilangan kontak
beliau. Saya ingin tahu asbabun nuzul
ide dasar beliau mengubah IAIN dulu. Ternyata beliau juga lagi mengajar di
Unisma.
Prof Azra tentu bukan
pemimpin biasa. Setidaknya tiga terobosan besar beliau lakukan. Dia terobos
aturan. Yang tidak mungkin jadi terbuka. Pertama, dia paksakan untuk dapat
izin membuka FK yang mestinya tidak boleh.
Kedua, dia paksakan
agar Jepang memberikan bantuan yang cukup. Ketiga, dia paksakan Prof Dr dr
M.K. Tadjudin yang baru turun dari jabatan rektor Universitas Indonesia (UI)
yang begitu bergengsi untuk bersedia menjadi dekan sebuah fakultas baru di
UIN.
Kalau ada moto
“kemauan yang keras bisa meruntuhkan gunung”, kemauan Prof Azra itu buktinya.
Prof Azra tahu membuka
fakultas kedokteran tidak boleh asal buka. Laboratoriumnya harus bagus dan
lengkap. Dan itu mahal.
Tapi, beliau berhasil
merayu pemerintah Jepang untuk mengadakannya. Dengan alasan sebagai monumen
abadi hubungan Jepang dengan umat Islam Indonesia.
“Karena itu, lab FK
UIN termasuk yang terbaik di Indonesia,” kata beliau.
Kini FK UIN sudah meluluskan
lebih dari 500 dokter. Hampir 50 persen berlatar belakang pesantren atau
madrasah aliyah.
Prof Azra memang
menginginkan kian banyaknya dokter yang mengerti fikih Islam. Karena itu,
mahasiswa baru FK UIN wajib masuk asrama selama dua tahun pertama. Untuk
mendapat pendidikan agama. Juga untuk tertib ibadah, termasuk wajib salat
malam.
Prestasi tahunan FK
UIN tidak kalah dengan FK universitas terkemuka. “Memang tidak pernah nomor
satu, tapi hampir selalu nomor dua,” ujar Prof Azra.
“Sudah sering mengalahkan
UI,” tambahnya.
“Saking seringnya, UIN
dikira UI yang negeri,” guraunya mengutip gurauan di masyarakat.
Saat ini ada salah
seorang mahasiswa di FK UIN yang baru berumur 17 tahun sudah co-as. Artinya,
dia sudah dokter muda. Namanya: Gulam Gumilar. Itu berarti umur 20 tahun
nanti Gulam sudah lulus dokter. Anak ini waktu kelas II SD di Malang
dikeluarkan dari sekolah. Nakal. Suka mengganggu temannya dan naik-naik meja.
Setelah dibawa ke
psikolog baru ketahuan: IQ-nya 150. Memang, setiap kali ulangan, dia hanya
perlu waktu sepuluh menit untuk menyelesaikan. Teman-temannya perlu setengah
jam. Akibatnya, dia lama menganggur. Tidak bisa diam. Lalu ganggu-ganggu
temannya.
Setelah dimasukkan ke
SD Lab IKIP Malang, Gulam lulus SD saat mestinya masih kelas IV. SMP dan SMA
dia selesaikan masing-masing dua tahun. Gulam memilih masuk FK UIN karena dua
kakaknya juga lulus dokter dari UIN.
Dan bapaknya, Prof Dr
dr Sardjana (baca: Sarjono), adalah wakil dekan di situ. FK UIN Jakarta telah
menjadi inspirasi UIN se-Indonesia. Demikian juga fakultas tekniknya.
Seorang rektor yang
hebat ternyata begitu langsung pengaruhnya pada perubahan dan kemajuan sebuah
universitas. Sayang, di beberapa perguruan tinggi masih sesekali terjadi
salah pilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar