Minggu, 29 November 2015

Terorisme dan Negara Gagal

Terorisme dan Negara Gagal

Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta
                                                     KOMPAS, 28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam suatu obrolan bersama Pak Jusuf Kalla belum lama berselang, ada beberapa pernyataan yang menarik dielaborasi. Di antaranya korelasi antara negara gagal, failed state, dan terorisme.

Dunia Arab yang semasa abad tengah dikenal sebagai pusat peradaban dunia dan belakangan sebagai sumber minyak hari-hari ini justru menjadi wilayah konflik berdarah-darah. Rakyatnya menderita dan sebagian besar mengungsi ke Eropa. Karier politik tokoh-tokoh fenomenal yang dikagumi dan sekaligus ditakuti, seperti Saddam Hussein di Irak, Moammar Khadafy di Libya, dan Hosni Mubarak di Mesir, berakhir mengenaskan. Kekacauan tiada henti juga terjadi di Afganistan, Suriah, dan beberapa negara Arab lain sehingga masuk jebakan negara gagal.

Negara-negara itu pada dasarnya kaya, tetapi pemerintah dan rakyatnya jatuh miskin dan saling bunuh. Dari situasi politis, ekonomis, dan psikologis seperti ini, terasa logis jika bermunculan tokoh-tokoh radikal dengan aura dendam dan amarah. Mereka marah kepada pemerintah dan pihak-pihak asing yang mereka anggap ikut andil bagi kegagalan negaranya.

Belajar dari pengalaman menyelesaikan konflik di Tanah Air dan mengamati terorisme global, Pak JK menyebut beberapa nama tokoh teroris, baik dalam maupun luar negeri, yang awalnya masuk kelompok preman. Jadi, akibat negaranya kacau, banyak pemuda yang hidupnya juga kacau. Ketika mereka bertemu dengan gagasan dan paham keagamaan yang menawarkan "jihad" melawan "orang kafir" sebagai jalan menebus dosa dan sekaligus ke surga, mereka melihat peluang untuk mengubah nasib, dari posisi tidak jelas dan tidak berguna menjadi pahlawan pembela umat dengan imbalan surga.

Mereka ingin dirinya berarti bagi agama dan negara. Mereka mendermakan pikiran dan nyawa pada paham agama yang mereka yakini sehingga jalan terorisme menjadi pilihan untuk membalas musuh yang membuat hidup dan negaranya gagal berantakan.

Kelompok teroris adalah mereka yang ingin mengubah kegagalan dan kelemahan membangun kehidupan di dunia menjadi kemenangan di balik kematian. Kematian adalah pintu terdekat untuk meraih kemenangan dan bisa membalikkan posisi sosial yang semula gagal menjadi pahlawan. Tentu sebuah penalaran yang absurd ketika merumuskan kategori musuh. Jika mereka membela negaranya yang gagal, mereka akan mencari sasaran negara lain yang membuatnya gagal.

Mereka tidak berbicara individu, tetapi menyerang kelompok-kelompok yang secara simbolik dianggap mewakili negara atau kelompok yang mereka benci. Dengan demikian, terorisme bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan ajaran agama yang melarang menyakiti dan membunuh orang tidak bersalah.

"Holocaust"

Pikiran gila kelompok teroris ini pernah menjangkiti Adolf Hitler yang sangat kecewa dan marah atas kegagalan Jerman pada Perang Dunia I. Demi membela bangsa dan negaranya, dia tampil dengan slogan mengembalikan martabat Jerman sebagai bangsa unggul dunia. Dia membuat semua anggota Nazi bersumpah setia dan menaati komando apa pun darinya demi supremasi Jerman.

Dia mencuci otak (brainwash) anak buahnya, berpuncak pada arahan membersihkan etnis (ethnic cleansing) di seluruh Jerman, terutama Yahudi. Ketika berkunjung ke Auschwitz, Polandia, saya melihat dari dekat gedung-gedung tahanan dipagari kawat listrik, kamp pembakaran dengan gas, bahkan ruang-ruang penyimpan tumpukan kaleng gas untuk kremasi, tumpukan sepatu, kacamata, alat dapur. Foto dokumentasi berderet di tembok, membangkitkan imajinasi kekejaman Nazi.

Museum pembersihan etnis era Hitler yang dikenal dengan sebutan holocaust menarik minat pengunjung. Saya melihat serombongan pemuda membawa bendera Israel meneteskan air mata. Bagi pemuda Yahudi yang ziarah ke Auschwitz, sangat mungkin terpatri sebuah pesan ideologis yang bernama power atau kekuatan. Hanya dengan kekuatan teknologi, ekonomi, dan politik, sebuah bangsa-kecil sekalipun-tak akan dihinakan oleh bangsa lain. Mungkin sekali bagi generasi muda Yahudi, ziarah ke Auschwitz bagaikan recharging motivasi untuk survive. Sayang, bangsa Yahudi yang berulang kali merasakan pahitnya ditindas penguasa tidak bisa berempati dengan penderitaan bangsa Palestina yang mereka kuasai.

Hitler akhirnya bunuh diri pada 30 April 1945 setelah terkepung musuh. Saya tidak yakin ia membayangkan surga dan bidadari. Sangat berbeda dengan psikologi terorisme yang menjual simbol agama. Mereka meyakini kehidupan lain di balik kematian, lebih indah dan abadi, yang dengan mudah memikat remaja yang merasa gagal membangun kehidupan yang mereka idealkan.

Kita bisa bayangkan, Timur Tengah yang semasa abad tengah merupakan pusat peradaban dunia dengan simbol keislaman sekarang babak belur bertikai, berebut hegemoni kekuasaan dan sumber minyak. Timur Tengah bak papan catur. Yang jadi raja atau dalangnya adalah elite dalam negeri, berkolaborasi dengan kekuatan luar. Bidak-bidak yang jadi korban sudah pasti rakyat kecil, sesama bangsa Arab dan sesama Muslim.

Perang yang tidak jelas awal-akhirnya ini telah mengantar negara-negara Arab menjadi negara gagal, menyengsarakan rakyat, dan membuat masa depan tidak jelas. Tokoh-tokoh yang semula mereka kagumi dan takuti satu demi satu tumbang. Dalam keputusasaan ini, ideologi "jihadisme" merupakan tawaran menarik, yaitu menyerang pihak-pihak yang mereka yakini sebagai penyebab kegagalan dan kesengsaraan hidup.

Pihak-pihak yang terlibat dalam perang saudara di Timur Tengah merasa berada di jalan Tuhan. Yang mereka hadapi adalah musuh Tuhan sekalipun secara sosiologis-demografis sama-sama Muslim. Perang di jalan Tuhan lebih menjanjikan karena jika mati langsung ke surga, dibandingkan insentif jabatan dunia yang  tidak mungkin diraih karena kondisi negaranya sudah kacau.

Maka, bagi mantan-mantan preman itu, bergabung dalam jaringan terorisme diyakini sebagai jalan penebusan dosa dan bahkan naik status sosial sebagai tokoh yang disegani. Semula hanya preman jalanan musuh polisi, sekarang berbalik menjadi pasukan suci di medan juang global. Nyawa orang lain dan dirinya sangat murah, ditukar dengan kematian sebagai tiket ke surga. Kompensasi kegagalannya di dunia.

Tentu ini sangat bertentangan dengan ajaran agama. Namun, logika gila beracun inilah yang mereka jual melalui berbagai cara dan telah menarik pembeli dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara sosial-politik di sejumlah negara.

Kapan berakhir?

Sulit menjawabnya selama negara-negara Arab-khususnya-masih terus berkonflik sehingga tidak berhasil menciptakan kemakmuran, keadilan, dan menjaga identitas bangsanya. Saya sendiri sulit membayangkan munculnya tokoh Arab yang mampu menyatukan mereka untuk mengakhiri nestapa dunia Arab. Bak papan catur berdarah, setiap penguasa ingin menggulingkan yang lain.

Semua pihak memang harus introspeksi, baik kekuatan politik di lingkungan Arab maupun kekuatan asing. Bagi negara Arab yang secara ekonomi sudah terpenuhi, kebutuhan mereka meningkat pada pemenuhan kebutuhan nonfisik, misalnya kebebasan berserikat dan pendapat, yang pasti tidak disukai para monarki. Itu sebabnya, Iran dan Turki tidak disenangi para sultan karena mempromosikan demokrasi yang dipelintir menjadi isu Sunni-Syiah dan sekularisme.

Begitu juga negara asing yang terlibat permainan catur politik Timur Tengah karena ingin menguasai sumber minyak mesti berkomitmen membantu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan. Kalau tidak, anak-anak muda yang frustrasi melihat negerinya kacau akan menumpahkan kemarahan kepada pihak asing yang empuk dan mudah ditembus.

Maka, Indonesia jangan sampai masuk perangkap negara gagal karena akan menyuburkan terorisme. Sebaliknya, sebagai masyarakat majemuk dengan mayoritas warganya beragama Islam, inilah peluang dan panggilan kemanusiaan untuk menunjukkan bahwa Islam Indonesia pro kedamaian dan pro peradaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar