Terorisme dan Negara Gagal
Komaruddin Hidayat ;
Guru Besar Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KOMPAS,
28 November 2015
Dalam suatu obrolan
bersama Pak Jusuf Kalla belum lama berselang, ada beberapa pernyataan yang
menarik dielaborasi. Di antaranya korelasi antara negara gagal, failed state, dan terorisme.
Dunia Arab yang semasa
abad tengah dikenal sebagai pusat peradaban dunia dan belakangan sebagai
sumber minyak hari-hari ini justru menjadi wilayah konflik berdarah-darah.
Rakyatnya menderita dan sebagian besar mengungsi ke Eropa. Karier politik
tokoh-tokoh fenomenal yang dikagumi dan sekaligus ditakuti, seperti Saddam Hussein
di Irak, Moammar Khadafy di Libya, dan Hosni Mubarak di Mesir, berakhir
mengenaskan. Kekacauan tiada henti juga terjadi di Afganistan, Suriah, dan
beberapa negara Arab lain sehingga masuk jebakan negara gagal.
Negara-negara itu pada
dasarnya kaya, tetapi pemerintah dan rakyatnya jatuh miskin dan saling bunuh.
Dari situasi politis, ekonomis, dan psikologis seperti ini, terasa logis jika
bermunculan tokoh-tokoh radikal dengan aura dendam dan amarah. Mereka marah
kepada pemerintah dan pihak-pihak asing yang mereka anggap ikut andil bagi
kegagalan negaranya.
Belajar dari
pengalaman menyelesaikan konflik di Tanah Air dan mengamati terorisme global,
Pak JK menyebut beberapa nama tokoh teroris, baik dalam maupun luar negeri,
yang awalnya masuk kelompok preman. Jadi, akibat negaranya kacau, banyak
pemuda yang hidupnya juga kacau. Ketika mereka bertemu dengan gagasan dan
paham keagamaan yang menawarkan "jihad" melawan "orang
kafir" sebagai jalan menebus dosa dan sekaligus ke surga, mereka melihat
peluang untuk mengubah nasib, dari posisi tidak jelas dan tidak berguna
menjadi pahlawan pembela umat dengan imbalan surga.
Mereka ingin dirinya
berarti bagi agama dan negara. Mereka mendermakan pikiran dan nyawa pada
paham agama yang mereka yakini sehingga jalan terorisme menjadi pilihan untuk
membalas musuh yang membuat hidup dan negaranya gagal berantakan.
Kelompok teroris
adalah mereka yang ingin mengubah kegagalan dan kelemahan membangun kehidupan
di dunia menjadi kemenangan di balik kematian. Kematian adalah pintu terdekat
untuk meraih kemenangan dan bisa membalikkan posisi sosial yang semula gagal
menjadi pahlawan. Tentu sebuah penalaran yang absurd ketika merumuskan
kategori musuh. Jika mereka membela negaranya yang gagal, mereka akan mencari
sasaran negara lain yang membuatnya gagal.
Mereka tidak berbicara
individu, tetapi menyerang kelompok-kelompok yang secara simbolik dianggap
mewakili negara atau kelompok yang mereka benci. Dengan demikian, terorisme
bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan ajaran agama yang melarang
menyakiti dan membunuh orang tidak bersalah.
"Holocaust"
Pikiran gila kelompok
teroris ini pernah menjangkiti Adolf Hitler yang sangat kecewa dan marah atas
kegagalan Jerman pada Perang Dunia I. Demi membela bangsa dan negaranya, dia
tampil dengan slogan mengembalikan martabat Jerman sebagai bangsa unggul
dunia. Dia membuat semua anggota Nazi bersumpah setia dan menaati komando apa
pun darinya demi supremasi Jerman.
Dia mencuci otak (brainwash) anak buahnya, berpuncak
pada arahan membersihkan etnis (ethnic
cleansing) di seluruh Jerman, terutama Yahudi. Ketika berkunjung ke
Auschwitz, Polandia, saya melihat dari dekat gedung-gedung tahanan dipagari
kawat listrik, kamp pembakaran dengan gas, bahkan ruang-ruang penyimpan
tumpukan kaleng gas untuk kremasi, tumpukan sepatu, kacamata, alat dapur.
Foto dokumentasi berderet di tembok, membangkitkan imajinasi kekejaman Nazi.
Museum pembersihan
etnis era Hitler yang dikenal dengan sebutan holocaust menarik minat
pengunjung. Saya melihat serombongan pemuda membawa bendera Israel meneteskan
air mata. Bagi pemuda Yahudi yang ziarah ke Auschwitz, sangat mungkin
terpatri sebuah pesan ideologis yang bernama power atau kekuatan. Hanya
dengan kekuatan teknologi, ekonomi, dan politik, sebuah bangsa-kecil
sekalipun-tak akan dihinakan oleh bangsa lain. Mungkin sekali bagi generasi
muda Yahudi, ziarah ke Auschwitz bagaikan recharging motivasi untuk survive.
Sayang, bangsa Yahudi yang berulang kali merasakan pahitnya ditindas penguasa
tidak bisa berempati dengan penderitaan bangsa Palestina yang mereka kuasai.
Hitler akhirnya bunuh
diri pada 30 April 1945 setelah terkepung musuh. Saya tidak yakin ia
membayangkan surga dan bidadari. Sangat berbeda dengan psikologi terorisme
yang menjual simbol agama. Mereka meyakini kehidupan lain di balik kematian,
lebih indah dan abadi, yang dengan mudah memikat remaja yang merasa gagal
membangun kehidupan yang mereka idealkan.
Kita bisa bayangkan,
Timur Tengah yang semasa abad tengah merupakan pusat peradaban dunia dengan
simbol keislaman sekarang babak belur bertikai, berebut hegemoni kekuasaan
dan sumber minyak. Timur Tengah bak papan catur. Yang jadi raja atau
dalangnya adalah elite dalam negeri, berkolaborasi dengan kekuatan luar.
Bidak-bidak yang jadi korban sudah pasti rakyat kecil, sesama bangsa Arab dan
sesama Muslim.
Perang yang tidak
jelas awal-akhirnya ini telah mengantar negara-negara Arab menjadi negara
gagal, menyengsarakan rakyat, dan membuat masa depan tidak jelas. Tokoh-tokoh
yang semula mereka kagumi dan takuti satu demi satu tumbang. Dalam
keputusasaan ini, ideologi "jihadisme" merupakan tawaran menarik,
yaitu menyerang pihak-pihak yang mereka yakini sebagai penyebab kegagalan dan
kesengsaraan hidup.
Pihak-pihak yang
terlibat dalam perang saudara di Timur Tengah merasa berada di jalan Tuhan.
Yang mereka hadapi adalah musuh Tuhan sekalipun secara sosiologis-demografis
sama-sama Muslim. Perang di jalan Tuhan lebih menjanjikan karena jika mati
langsung ke surga, dibandingkan insentif jabatan dunia yang tidak mungkin diraih karena kondisi
negaranya sudah kacau.
Maka, bagi
mantan-mantan preman itu, bergabung dalam jaringan terorisme diyakini sebagai
jalan penebusan dosa dan bahkan naik status sosial sebagai tokoh yang
disegani. Semula hanya preman jalanan musuh polisi, sekarang berbalik menjadi
pasukan suci di medan juang global. Nyawa orang lain dan dirinya sangat
murah, ditukar dengan kematian sebagai tiket ke surga. Kompensasi
kegagalannya di dunia.
Tentu ini sangat
bertentangan dengan ajaran agama. Namun, logika gila beracun inilah yang
mereka jual melalui berbagai cara dan telah menarik pembeli dari
kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara sosial-politik di sejumlah
negara.
Kapan berakhir?
Sulit menjawabnya
selama negara-negara Arab-khususnya-masih terus berkonflik sehingga tidak
berhasil menciptakan kemakmuran, keadilan, dan menjaga identitas bangsanya.
Saya sendiri sulit membayangkan munculnya tokoh Arab yang mampu menyatukan
mereka untuk mengakhiri nestapa dunia Arab. Bak papan catur berdarah, setiap
penguasa ingin menggulingkan yang lain.
Semua pihak memang
harus introspeksi, baik kekuatan politik di lingkungan Arab maupun kekuatan
asing. Bagi negara Arab yang secara ekonomi sudah terpenuhi, kebutuhan mereka
meningkat pada pemenuhan kebutuhan nonfisik, misalnya kebebasan berserikat
dan pendapat, yang pasti tidak disukai para monarki. Itu sebabnya, Iran dan
Turki tidak disenangi para sultan karena mempromosikan demokrasi yang
dipelintir menjadi isu Sunni-Syiah dan sekularisme.
Begitu juga negara
asing yang terlibat permainan catur politik Timur Tengah karena ingin
menguasai sumber minyak mesti berkomitmen membantu menciptakan kedamaian dan
kesejahteraan. Kalau tidak, anak-anak muda yang frustrasi melihat negerinya
kacau akan menumpahkan kemarahan kepada pihak asing yang empuk dan mudah
ditembus.
Maka, Indonesia jangan
sampai masuk perangkap negara gagal karena akan menyuburkan terorisme.
Sebaliknya, sebagai masyarakat majemuk dengan mayoritas warganya beragama
Islam, inilah peluang dan panggilan kemanusiaan untuk menunjukkan bahwa Islam
Indonesia pro kedamaian dan pro peradaban. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar