Obsesi Tinggi APBN 2016?
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
REPUBLIKA,
03 November 2015
APBN 2016
telah berhasil disepakti antara pemerintah dan DPR. Total belanja negara pada
APBN 2016 terhitung sebesar Rp2.059,7 triliun yang terdiri atas belanja
pemerintah pusat sebesar Rp1.325,6 triliun dan dana transfer ke daerah serta
dana desa berjumlah Rp770,2 triliun.
Secara teknis, belanja
pemerintah pusat terbagi menjadi belanja kementerian/ lembaga (K/L) Rp784,1
triliun dan belanja selain K/L sebesar Rp541,4 triliun, yang di dalamnya
terdapat belanja subsidi energi sebesar Rp102,1 triliun.
Dari sisi pendapatan, APBN
2016 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp1.822,5 triliun dan pembiayaan
defisit anggaran 2,15% sebesar Rp273,2 triliun. Komposisi pendapatan negara
terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.546,7 triliun dan penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) sebesar Rp237,8 triliun serta penerimaan hibah Rp2
triliun.
Dalam APBN 2016 juga
ditetapkan sejumlah asumsi makroekonomi. Pertumbuhan ekonomi ditargetkan
5,3%, inflasi 4,7%, kurs rupiah Rp13.900 per dolar Amerika Serikat (AS), harga
minyak mentah Indonesia (ICP) $50 per barel, lifting minyak 830.000 barel/hari
dan lifting gas 1,15 juta barel setara minyak.
Selain itu juga ditetapkan
target pembangunan seperti angka kemiskinan 9-10%, gini rasio 0,39,
indeks pembangunan manusia 70,1 dan tingkat pengangguran 5,2-5,5%. Dalam
pembahasan APBN 2016 akhirnya disepakati usulan dana PMN untuk 25 BUMN
dari Kementerian BUMN sebesar Rp40,4 triliun ditunda sampai pembahasan
APBN-P 2016.
Bagaimanapun, dalam situasi
ekonomi yang cukup sulit saat ini, semua pihak layak berharap APBN 2016 dapat
menjadi motor penting pembangunan nasional sepanjang tahun depan. Kontribusi
APBN berupa dampak belanja negara, baik rutin maupun belanja infrastruktur,
diharapkan dapat menggairahkan perekonomian nasional. Melalui belanja
APBN, daya beli masyarakat, utamanya PNS/TNI/Polri, dapat terus terjaga.
Selain dampak langsung,
APBN juga memiliki dampak tidak langsung. Belanja APBN juga menggerakkan
usaha BUMN, swasta nasional,serta koperasi dan sektor UMKM. Semua ini
kemudian diekspektasikan akan memberi daya ungkit tambahan kepada proyeksi
pertumbuhan ekonomi nasional yang sudah terseret-seret jatuh belakangan
ini.
Namun disisi lain, di
tengah laju ekonomi yang tengah melambat, postur yang terlalu besar, terutama
belanja negara yang mencapai Rp2.095 triliun, membuat target-target yang
dipatok terkesan sangat tidak realistis. Sebagian analis sepakat bahwa
APBN 2016 berkemungkinan akan terperosok ke dalam satu lubang yang sama, yakni shortfall(defisit
antara realisasi dan target), terutama target pajak yang semakin
besar.
Mari kita lihat misalnya
realisasi penerimaan pajak tahun ini yang baru mencapai 58,59% atau Rp758
triliun dari target Rp1.294,2 triliun per 29 Oktober 2015. Dengan potensi shortfall yang
besar, kenaikan target penerimaan sekitar 15% dari perkiraan realisasi atau
outlook sebesar Rp1.350 triliun terlihat semakin kurang rasional.
Selama ini bahkan melandainya
penerimaan pajak justru tidak diimbangi dengan efisiensi belanja yang
dilakukan pemerintah. Disatu sisi, pemerintah terus mendorong pembangunan
berbagai proyek secara besar-besaran. Namun disisi lain, dalam kondisi penerimaan
yang sulit, bukankah sebaiknya pemerintah lebih berhati-hati alias tidak
terlalu ekspansif. Dalam arti teknis, proyek-proyek yang muncul harus
diseleksi dengan sangat ketat disesuaikan dengan kapasitas pertumbuhan
ekonomi yang ada saat ini, bukan berdasarkan dari kubu mana aspirasi proyek
itu berasal.
Bahkan jika dilihat dari
potensi realisasi anggaran, alokasi belanja pemerintah yang besar pada tahun
ini saja ternyata tidak diimbangi dengan tingkat penyerapan yang maksimal.
Sehingga sampai hari ini dampak belanja pemerintah terhadap pertumbuhan
ekonomi masih sangat kecil. Sehingga tidak bisa tidak, sejujurnya
pertumbuhan Indonesia sampai saat ini mesih diuntungkan oleh tingkat konsumsi
kelas menengah yang terus bergerak naik yang imbasnya mampu menggerakkan
ekonomi.
Nah realitas realisasi anggaran
yang demikian membuat target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% terasa
terlalu berlebihan. Meskipun menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
mengatakan bahwa pemerintah sudah bersikap realistis, termasuk dalam memperhitungkan
penerimaan pajak, bahkan dianggap sudah sesuai dengan outlookAPBNP
2015.
Namun situasi ekonomi riil
yang ada rasanya masih jauh dari outlook yang dibuat pemerintah, sehingga
porsi dan asumsi-asumsi yang ditetapkan terkesan sangat ambisius, bahkan
terkesan penuh dengan rencana-rencana proyek politik alias bagi-bagi porsi
anggaran karena penetapan dan pengesahan APBN 2016 lebih kental nuansa
lobby-lobby politik kedua kubu di parlemen ketimbang diskusi-diskusi yang
membantu memperbaiki efektifitas dan efesiensi rencana belanja pemerintah
tahun depan.
Dengan mendasarkan pada
outlook ekonomi 2015 misalnya, menurut pemerintah, kenaikan target penerimaan
pajak APBN 2016 yang mencapai 15% dianggap wajar jika dikomparasikan
dengan rincian pertumbuhan ekonomi dan inflasi sebesar 10% serta upaya
ekstra dari pemerintah untuk meningkatkan penerimaan sebesar 5% sebagai
pelengkapnya.
Pertanyaannya, usaha-usaha
apa yang akan dikedepankan oleh pemerintah untuk mengungkit penerimaan
pajak tahun depan, jika di tahun ini saja realisasi penerimaan masih jauh
dari harapan. Lalu usaha-usaha apa yang akan dimajukan oleh pemerintah untuk
mengerek pertumbuhan yang 5,3% tersebut, jika sampai saat ini realisasi
belanja pemerintah saja belum mampu memberikan topangan berarti bagi pertumbuhan
ekonomi?
Pemerintah dan DPR yang
telah menyepakati APBN 2016 harus segera membuktikan titik masuk (Entry Point) yang
nyata dan rasional soal ini. Pasalnya, jika target penerimaan pajak
meleset, tingkat pertumbuhan pun akan terbawa turun, kemudian target pengentasan
kemiskinan dan pengurangan pengangguran akan semakin tertekan ke bawah serta
daya beli akan gagal terkerek naik. Dan akhirnya, setuju atau tidak setuju,
rakyat lah yang akan menerima akibatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar