Rupiah Masih Terancam
Ronny P Sasmita ; Analis Ekonomi Politik Internasional
Financeroll Indonesia
|
REPUBLIKA,
16 November 2015
Nilai tukar
rupiah di pasar spot hari Rabu siang (11/11) menguat lagi ke level 13.567 per
dollar AS. Secara matematis, rupiah menguat 0,3% dari posisi penutupan hari
Selasa (10/11) yang ada di level 13.619. Sejurus dengan itu, kondisi
serupa juga terjadi pada kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate
(JISDOR). Rabu siang, kurs JISDOR rupiah berada di level 13.576 per dollar
AS, atau menguat 0,3% dari posisi hari sebelumnya yang ada di level
13.619.
Penguatan Rupiah di awal
minggu ini, terutama hari Rabu, adalah efek pelemahan dolar secara global,
yang sedari pengumuman hasil rapat FOMC bulan Oktober lalu, terus memperlihatkan
taring berdurinya terhadap rival-rival utama Dolar. Pada waktu yang sama,
berdasarkan data Bloomberg generik, Bloomberg Dollar Spot Index turun
0,3% menjadi 1.229,50. Padahal sehari sebelumnya (10/11) indeks acuan
dollar ini naik 0,1% dan menyentuh level tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Terhadap mata uang yen,
misalnya, nilai tukar dollar melemah 0,2% ke level 122,95 yen.
Sedangkan versus euro, dollar melemah 0,3% menjadi $ 1,0753 per euro.
Sejumlah mata uang dunia lain juga mencatatkan penguatan terhadap dollar AS.
Sebut saja misalnya mata uang aussie yang menguat 0,4% menjadi 70,57 sen US
dan poundsterling yang juga menguat 0,3% menjadi $ 1,5165.
Namun apa yang terjadi
pada hari Jumat (13/11), Kurs tengah Bank Indonesia terseret ke level
Rp13.633 per dolar AS pada sesi pagi karena tekanan regional dimana gerakan
mayoritas mata uang Asia juga mengalami pelemahan, dipimpin oleh depresiasi
won. Sementara itu, Bank Indonesia juga menetapkan kurs tengah di level Rp13.575
per dolar AS, melemah 58 poin atau terdepresiasi 0,43% dari kurs yang
ditetapkan sehari sebelumnya. Dengan rincian, kurs jual dipatok di Rp13.701
per dolar AS, sedangkan kurs beli berada di Rp13.565 per dolar AS. Selisih
antara kurs jual dan kurs beli adalah sebesar Rp136.
Berdasarkan psikologi pasar
yang berkembang, pelemahan dollar yang cukup signifikan hari awal pecan
lalu disebabkan oleh aksi ambil untung (profit taking) para investor atas
gerakan penguatan dollar yang tajam beberapa waktu sebelumnya.
Sepanjang bulan ini saja, dollar AS sudah menguat 1% terhadap 10 mata uang
utama dunia. Selain itu, pada hari tersebut, investor juga menunggu
dirilisnya data ekonomi Tiongkok. Data ini cukup penting karena akan
memberikan petunjuk dan indikasi lebih lanjut mengenai posisi ekonomi
Tiongkok ke depan.
Sementara itu, dari sisi
non dolar, pernyataan pejabat tinggi Bank of Japan (BoJ) menjadi penopang
penguatan mata uang global. Anggota Dewan Bank Sentral Jepang, Yutaka Harada,
mengatakan pada hari rabu (11/11) bahwa pertumbuhan ekonomi Jepang akan
melanjutkan proses pemulihan dengan kecepatan yang “moderate”.
Sedangkan untuk pertumbuhan
inflasi konsumen Jepang sendiri, BOJ memperkirakan akan mengalami kenaikan
yang mendekati 2% di bulan Maret 2016 mendatang. Namun demikian, pelonggaran
kebijakan bisa saja dilakukan jika risiko yang mengancam kenaikan harga
semakin meluas di Jepang.
Disisi yang lain, pelemahan
dolar ternyata belum mampu memperbaiki kondisi harga minyak mentah dunia.
Pada hari yang sama, Rabu (11/11), harga minyak dunia masih tertekan di
bawah level $ 44. Berdasarkan data Bloomberg, harga kontrak minyak jenis
West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember turun 66 sen menjadi
$ 43,76 per barel di New York Mercantile Exchange sesi siang waktu Hong Kong.
Sehari sebelumnya, Selasa (10/11), harga kontrak minyak WTI naik 34 sen
menjadi $ 44,21 per barel. Ini merupakan kenaikan pertama dalam lima hari
sebelumnya.
Namun setelah jatuh
lebih dari satu $1, harga patokan minyak mentah AS, light sweet atau West
Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember, justru semakin terkupas
dan turun $1,18 atau 2,7%, untuk kemudian diperdagangkan di level $41,75
per barel di New York Mercantile Exchange pada sesi perdagangan pagi hari
Jumat (13/11), titik terendah baru sejak akhir Agustus 2015. Dan minyak
mentah Brent North Sea untuk pengiriman Desember, patokan global untuk
minyak, diperdagangkan di level $44,06 per barel di perdagangan London
alias turun $1,75 (3,8%) dari tingkat penutupan hari Rabu.
Pergerakan harga minyak
masih sangat dipengaruhi oleh data cadangan minyak AS yang masih melimpah
ruah. Berdasarkan data mutakhir dari American Petroleum Institute (API),
cadangan minyak AS naik sebesar 6,3 juta barel pada pekan lalu. Sedangkan
Energi Information Administration (EIA) merilis data suplai minyak
dengan kenaikan sebesar 4,2 juta barel, jauh diatas prediksi para
analis 1,3 juta barel.
Sehingga akhirnya minyak
benar-benar tak mampu mengimbangi pelemahan dolar hari Rabu (11/11) karena
harga tersandera oleh pasokan yang kian melimpah ditengah kekhawatiran atas
perlambatan permintaan global, terutama akibat bersikerasnya OPEC untuk
mempertahankan kuota produksi dan semakin memburuknya perkembangan
ekonomi Tiongkok belakangan ini.
Selain faktor ancaman
melandainya harga komoditas global akibat terseok-seoknya harga minyak dunia,
membaiknya data tenaga kerja Amerika yang dirilis minggu lalu benar-benar
akan menjadi ujian bagi Rupiah menjelang datangnya bulan Desember. Tingkat
pengangguran yang sudah bertengger di level 5% adalah titik awal Amerika
untuk menuju era tinggal landas dan menuju kondisi full employment.
Sementara data inflasi yang dirilis dua minggu lalu juga sudah benar-benar
menempel pada angka incaran the Fed, yakni 1,9% alias mendekati 2%.
Walhasil, gembar-gembor
rencana kebijakan kenaikan suku bunga kredit AS terus dihembuskan. Optimisme
bukan saja terlontar dari para petinggi The Fed yang masuk ke dalam komite
pengambil kebijakan, tapi juga oleh para ekonom dan pelaku pasar. Mereka mewanti-wanti
ancaman ekonomi domestik Amerika yang akan mengalami overheating,
jika suku bunga tidak juga dinaikan, terutama overheating untuk sektor property atau perumahan.
Meningkatnya ekspektasi
kenaikan suku bunga The Fed akhirnya ikut meredakan ekspektasi dalam negeri
Indonesia yang berharap Bank Indonesia segera memangkas suku bunga
pinjaman, agar ekeonomi riil bisa mendapat oli tambahan untuk bergeliat. Walaupun
disisi lain, belum ada alasan yang kuat juga bagi BI untuk menaikan suku
bunga seiring gonjang-ganjing kenaikan The Fed’s Rate.
Jadi penguatan sementara
mata uang rupiah lebih disebabkan oleh sentiment
teknikal yang juga bersifat sementara di pasar. Karena jika dilihat
dari persepktif yang lebih luas, rupiah justru sedang berada dibawah bayang-bayang
yang mengkhawatirkan, yakni kenaikan suku bunga The Fed, perlambatan
ekonomi Tiongkok yang kian jelas, dan tertekannya harga komoditas
ekspor andalan Indonesia.
Ketiga bayang-bayang gelap
ini akan berjalin kelindan satu sama lain. Kebijakan pengetatan moneter
Amerika akan menambah otot dolar terhadap semua mata uang rivalnya dan
menekan harga minyak dunia yang memang telah terseok-seok, kemudian akan
semakin mengganggu perekonomian Tiongkok dan Indonesia akibat membesarnya
bayang-bayang capital outflow.
Disisi lain, harga minyak
yang kian melantai akan menekan harga komoditas ekspor andalan Indonesia dan
serta-,merta akan memangkas pemasukan negara dari sisi pajak komoditas non
migas. Dan perlambatan ekonomi Tiongkok, mau tak mau, akan mengancam
stabilitas neraca perdagangan Indonesia-Tiongkok karena memburuknya prospek
permintaan atas komoditas non migas. Pasalnya, Tiongkok adalah negara mitra
dagang kedua terbesar Indonesia untuk komoditas non migas, setelah
Amerika. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar