Penentuan Masa Depan KPK
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
26 November 2015
Uji kelayakan dan
kepatutan (fit and proper test)
calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Komisi III Dewan Perwakilan
Rakyat akan menjadi penentuan masa depan lembaga anti rasuah ini.
Tidak hanya
mengkhawatirkan kemauan memilih kandidat yang tepat untuk periode empat tahun
mendatang, kemungkinan pelaksanaan proses uji kelayakan dan kepatutan pun
masih menjadi pertanyaan besar.
Penilaian demikian
muncul karena sejumlah kekuatan politik di Komisi III memperlihatkan
keengganan menerima calon pimpinan (paling tidak sebagian di antara mereka)
yang dihasilkan panitia seleksi (pansel). Tidak hanya itu, metode yang
digunakan dalam menentukan calon yang diajukan ke Presiden (dan diteruskan ke
DPR) juga memicu persoalan bagi sebagian politisi di Senayan.
Mengikuti wacana
setelah calon yang dihasilkan pansel diajukan Presiden ke DPR, beberapa
spekulasi hadir ke tengah masyarakat. Di antara yang mengemuka, terdapat
gejala bahwa Komisi III akan mengembalikan calon pimpinan KPK kepada
Presiden. Meski masih terdapat sebagian kekuatan di Komisi III yang
menghendaki ujikelayakan dan kepatutan tetap diteruskan, gelombang yang
menghendaki mengembalikan calon kepada Presiden jauh lebih kuat.
Selain itu,
berdasarkan informasi terbatas kalangan internal DPR, semua cacatan keberatan
yang mempersoalkan cara kerja pansel dan calon yang disampaikan ke DPR
berujung pada satu titik: ujikelayakan dan kepatutan akan dilakukan setelah
revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bilamana informasi ini
benar adanya, sangat mungkin keberatan untuk melakukan uji kelayakan dan
kepatutan calon yang dihasilkan pansel pimpinan KPK menjadi strategi lain
sebagian kekuatan politik di DPR untuk terus memaksakan revisi UU No 30/
2002.
Wewenang Presiden
Sebagaimana termaktub
dalam Pasal 3 UU No 30/2002, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
mana pun. Dalam konteks pembentukan KPK, penegasan posisi independen sangat
terkait dengan penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
memerlukan metode luar biasa. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan UU No
30/2002, status independen tersebut diperlukan agar upaya memberantas korupsi
bisa secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan.
Secara teoretis, salah
satu karakter lembaga negara atau komisi negara dikatakan independen apabila
proses pengisian pimpinan atau komisioner lembaga tersebut tidak hanya
ditentukan oleh satu lembaga. Dasar pemikirannya sangat sederhana, jikalau
diisi oleh satu lembaga, maka sangat mungkin lembaga yang memiliki
wewenangmenyeleksi potensial mereduksi status independen tersebut. Selain
itu, pemikiran teoretis tidak diisi hanya satu lembaga mempunyai maksud lain,
yaitu membangun mekanisme checks and balances di antara lembaga yang memiliki
wewenang mengisi pimpinan lembaga negara independen tersebut.
Sekalipun ketika
pembentukan UU No 30/2002 tak banyak menyinggung ihwal karakteristik sebuah
komisi negara dikatakan independen, UU yang menjadi dasar pembentukan KPK
telah membuat desain yang memenuhi standar teoretis ihwal pengisian pimpinan
KPK.
Keterpenuhan karakter
itu dituangan dengan baik dalam Pasal 30 UU No 30/ 2002, yaitu pengisian
pimpinan KPK dilakukan oleh DPR dan Presiden. Tidak hanya menjadi ranah dua
lembaga tersebut, pengisian juga memerlukan partisipasi masyarakat.
Meskipun merupakan
wewenang DPR dan Presiden, kedua lembaga ini diberikan batasan-batasan
tertentu. Presiden, misalnya, merujuk ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UU No
30/2002 tak bisa sehendak hati dalam menentukan calon yang akan diajukan ke
DPR. Dalam menjalankan wewenang mengusulkan calon, Presiden dibatasi hanya
membentuk pansel. Merujuk pengalaman pembentukan pansel selama ini, Presiden
tak pernah memiliki kesempatan dalam menentukan calon pimpinan KPK. Selama
ini, Presiden hanya mengajukan calon yang dihasilkan pansel. Artinya, dengan
model yang diatur UU No 30/2002, wewenang Presiden dalam menyeleksi calon
pimpinan KPK diambil alih oleh pansel.
Sebagai pihak yang
diberi wewenang untuk mengajukan calon pimpinan KPK ke DPR, dalam batas
penalaran yang wajar, Presiden memiliki ruang untuk menolak calon yang
dihasilkan pansel. Apalagi, UU No 30/2002 tak membatasi jumlah calon yang
harus disampaikan pansel kepada Presiden. Sangat mungkin, agar terhindar dari
berbagai tafsir dan kecurigaan, Presiden memberikan otoritas sepenuhnya
kepada pansel menentukan calon sama jumlahnya dengan yang akan disampaikan ke
DPR. Dengan demikian, wewenang Presiden dalam menentukan calon menjadi hilang
dan beralih kepada pansel.
Meski otoritas
mengajukan calon berada di tangan Presiden, jangankan menolak, pengalaman
selama ini, Presiden tidak pernah keberatan dengan calon yang disampaikan
atau dihasilkan pansel. Jangankan menolak, meminta pansel mengajukan lebih
banyak dari jumlah calon yang akan diajukan ke DPR tidak pernah dilakukan.
Paling tidak pengalaman dan sikap demikian mampu menekan berbagai tafsir dan
kecurigaan bahwa Presiden memiliki agenda sendiri dalam pengisian pimpinan
KPK.
Wewenang DPR
Hampir sama dengan
Presiden, sebagai salah satu pihak yang berada dalam desain checks and
balances, DPR pun dibatasi dalam proses pengisian pimpinan KPK. Pembatasan
ini diatur di Pasal 30 Ayat (10)UU No 30/2002 yang menyatakan bahwa DPR wajib
memilih dan menetapkan lima calon yang dibutuhkan, dalam waktu paling lambat
tiga bulan sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden. Artinya, pembatasan
yang diberikan UU No 30/2002 sama sekali tidak bisa dilepaskan dari
pembatasan terhadap Presiden terutama dengan konsekuensi pembentukan pansel.
Namun, sekalipun sama-sama
dibatasi, pembatasan terhadap DPR lebih longgar. Sebagaimana diatur Pasal 30
Ayat (10) UU No 30/2002, DPR masih diberi ruang untuk memilih dan kemudian
menyisihkan setengah dari jumlah calon yang diajukan Presiden. Padahal, bila
membaca konstruksi Pasal 30 Ayat (2) dan Ayat (7) Presiden bisa saja meminta
kepada pansel menyampaikan lebih banyak dari jumlah yang mesti disampaikan
kepada DPR. Karena itu, dengan adanya kesempatan menyisihkan setengah dari
jumlah pimpinan KPK yang akan diisi, DPR lebih beruntung dibandingkan
Presiden.
Sekalipun lebih
longgar, DPR dibatasi olehfrasa ”wajib memilih dan menetapkan” calon di
antara nama-nama yang diajukan Presiden. Dengan adanya kata ”wajib” tersebut
DPR tak memiliki alasan hukum sama sekali untuk menolak memilih calon dari
yang diajukan Presiden. Untuk ini, Komisi III perlu menyadari bahwa wewenang
memilih pimpinan KPK berbeda dengan wewenang dalam pengisian anggota Komisi
Yudisial (KY) atau pengisian hakim agung. Secara hukum, dalam proses
pengisian anggota KY dan hakim agung, Komisi III tidak memilih dari beberapa
calon, tetapi hanya sebatas memberikan persetujuan terhadap calon. Untuk
kedua pengisian tersebut, Komisi III dapat menolak calon yang diajukan pansel
atau menolak nama calon hakim agung yang diajukan KY.
Berbeda dengan itu,
dalam pengisian pimpinan KPK penolakan menjadi semacam perbuatan sangat
terlarang. Bagaimanapun kondisinya, Komisi III harus tetap memilih dari semua
calon yang diajukan Presiden. Dalam hal ini, segala catatan terhadap mekanisme
penentuan calon yang dilakukan pansel tak bisa dijadikan dalih menolak
dan/atau mengembalikan kepada Presiden. Apalagi, mekanisme kerja dari pansel
dalam menentukan calon sama sekali tak diatur UU No 30/ 2002.
Dengan tidak adanya
pengaturan tersebut, strategi Pansel 2015 memilih calon berdasarkan
pengelompokan wewenang KPK sama sekali tidak melanggar UU. Merujuk pengalaman
sebelumnya, Pansel 2011 melakukan upaya serupa ketika menentukan calon final
yang disampaikan kepada Presiden. Perbedaanya, Pansel 2011 mengajukan nama
final pada Presiden dengan membuat peringkat (ranking) calon. Karena itu,
Komisi III bisa saja keberatan dengan pola penentuan calon, tetapi dengan
menggunakan alasan apa pun, sebagai kelanjutan dari proses yang dilakukan
pansel, DPR tak memiliki dasar menolak calon yang diajukan Presiden.
Masa depan KPK
Sejak semula saya
sudah memperkirakan bahwa proses seleksi calon pimpinan KPK akan menjadi
salah satu tahapan kritis masa depan KPK. Banyak kalangan menilai, jika
proses yang segera berlangsung di Komisi III dapat menghasilkan calon
pimpinan yang berniat baik dan mampu bekerja sesuai dengan amanat dan misi
pembentukan KPK, maka masa depan lembaga anti rasuah ini masih mungkin bisa
diharapkan.
Namun, melihat
sentimen negatif yang tengah melanda sebagian kekuatan politik di DPR, sangat
mungkin proses pengisian yang tengah menuju tahap akhir akan menjadi skenario
untuk kian mengerdilkan KPK. Dalam posisi demikian, informasi yang beredar
bahwa keberatan untuk melanjutkan uji kelayakan dan kepatutan sebelum revisi
UU No 30/2002 adalah wujud nyata penolakan terhadap keberlanjutan KPK.
Dilihat dari sisi apa pun, mengaitkan revisi UU No 30/2002 dengan uji
kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK hanya alasan dicari-cari.
Melihat logika mayoritas
kekuatan politik di DPR, mestinya, secara internal mereka berbeda pandangan
dengan arus besar yang berkeinginan mengembalikan calon kepada Presiden harus
berani secara terbuka menunjukkan sikap penolakan secara terbuka atas segala
macam upaya yang bisa bermuara pada gagalnya dilaksanakan uji kelayakan dan
kepatutan untuk memilih pimpinan KPK dari calon yang dihasilkan Pansel 2015.
Terkait hal ini, Presiden Joko Widodo tidak boleh menyerah terhadap
kemungkinan pengembalian calon. Menyerah sama saja dengan membiarkan KPK kian
jauh terperosok ke dalam liang kematian.
Terlepas dari itu
semua, jikalau hendak memilih langkah strategis, di tengah krisis kepercayaan
luar biasa yang melanda DPR, melanjutkan proses uji kelayakan dan kepatutan
dapat menjadi momentum memulihkan citra DPR karena perilaku menyimpang
sebagian politisi Senayan. Saya percaya, apresiasi masyarakat akan kian
positif bilamana Komisi III memilih calon yang mampu menyandang amanah awal
pembentukan KPK. Tanpa kedua hal itu, periode yang sangat menentukan ini akan
berujung tragis bagi masa depan KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar