Solusi Reklamasi untuk Ahok
M Riza Damanik ; Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional
Indonesia
|
KOMPAS,
24 November 2015
Publik mengetahui
bahwa proyek reklamasi pantai di Teluk Jakarta telah digagas dan dimulai
pembangunannya jauh sebelum Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
didaulat memimpin Ibu Kota. Namun, meneruskan warisan buruk dari gubernur
sebelumnya adalah kesalahan fatal.
Mulailah mendalami
masalah pesisir Jakarta secara lebih jeli. Terdapat dua persoalan klasik yang
memperburuk kesejahteraan nelayan dan kualitas lingkungan di Teluk Jakarta.
Pertama, tingginya kadar pencemar di 13 sungai dan Teluk Jakarta. Biasanya
untuk menghilangkan jejak pelanggaran hukum lingkungan, pembuangan limbah
industri di sekitar Teluk Jakarta digelontorkan pada malam hari atau saat
hujan turun. Kedua, buruknya sanitasi lingkungan.
Persoalan buruknya
sanitasi lingkungan berhubungan dengan rendahnya pencapaian program
sertifikasi tanah gratis yang dijanjikan pemerintah bagi warga Teluk Jakarta,
termasuk minimnya akses informasi dan program aksi pembenahan permukiman
warga. Itulah sebabnya, memasukkan reklamasi pantai sebagai solusi untuk
menjawab kedua persoalan klasik tadi hampir pasti tidak terlihat adanya
hubungan sebab-akibat (kausal). Sebaliknya, cenderung kontra-produktif.
Hal lain perlu
diketahui oleh Ahok adalah meneruskan program aksi reklamasi dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin
Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra jelas bertentangan
dengan peraturan perundangan.
Pertama, surat
keputusan (SK) tersebut tidak didahului keputusan kelayakan lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akibatnya, megaproyek reklamasi Teluk Jakarta
berpotensi membahayakan masyarakat nelayan maupun pesisir pada umumnya karena
tak dilengkapi instrumen pengendali risiko dan prediksi dampak lingkungan.
Padahal, selain tempat
mencari nafkah para nelayan, pembudi daya kerang, dan pedagang ikan, perairan
sekitar Pulau G merupakan jalur kabel dan pipa gas untuk kebutuhan DKI
Jakarta. Kedua, SK tadi juga bertentangan dengan UU Tata Ruang, UU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, dan Peraturan Presiden No
122/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Penjelasannya, bila
reklamasi dilakukan dari garis pantai ke wilayah darat, maka Pemerintah DKI
Jakarta cukup berpegang pada dokumen rencana tata ruang wilayah sebagai
acuan. Namun, bila reklamasi di perairan pesisir atau menghubungkan antara
wilayah darat dan laut, maka diwajibkan memiliki Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Faktanya, meski
reklamasi Pulau G dilakukan di perairan pesisir, hingga kini Pemerintah DKI
Jakarta belum punya RZWP3K. Terakhir, SK tadi juga bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah No 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
yang menetapkan Teluk Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
Kembali merujuk ke UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan
perpres terkait reklamasi, maka reklamasi di kawasan strategis nasional
(baca: Teluk Jakarta) seharusnya didahului izin lokasi dan izin pelaksanaan
reklamasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Solusi untuk Ahok
Tentu tak adil
menyalahkan Ahok atas seluruh akumulasi persoalan di Teluk Jakarta. Sama tak
adilnya bila Ahok mengabaikan keberatan nelayan Teluk Jakarta yang sejak masa
pemerintahan gubernur-gubernur sebelumnya telah jadi korban sekaligus saksi;
bahwa proyek reklamasi adalah ancaman bagi keberlanjutan kehidupan keluarga
dan lingkungannya.
Pertama, Ahok dapat
segera membatalkan rencana pembangunan reklamasi Teluk Jakarta, termasuk
Pulau G dan pulau-pulau lain. Ahok tidak perlu takut digugat atau
berseberangan dengan para pengembang atau pemegang izin reklamasi. Karena,
kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia
dalam rangka menjamin perlindungan terhadap nelayan, masyarakat adat dan
lokal, maupun kepentingan menjaga keberlanjutan lingkungan.
Kedua, Ahok
bersama-sama dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti maupun
menteri terkait lainnya dapat berkolaborasi dalam rangka membenahi sanitasi
lingkungan dan mempercepat pemulihan ekosistem Teluk Jakarta. Prioritas
haruslah pada audit dan penegakan hukum lingkungan untuk menghentikan
pencemaran sungai dan teluk. Memperluas pencapaian program sertifikasi tanah
dan perumahan bagi nelayan. Lalu, merehabilitasi ekosistem pesisir dan
pendidikan lingkungan kepada warga.
Ketiga, pemerintah
pusat dan daerah dapat memperkuat pembahasan rencana tata ruang laut nasional
dengan memfasilitasi masyarakat menyusun peta jalur dan lokasi penangkapan
ikan nelayan tradisional, peta sebaran wilayah kelola masyarakat adat di
laut, peta pelayaran rakyat, dan peta migrasi ikan. Ke depan, sederet peta
ini sangat bermanfaat guna mencegah konflik perebutan pemanfaatan ruang di
seluruh perairan Indonesia.
Keseluruhan strategi
ini akan berhasil-guna bila pemerintah melibatkan masyarakat dari tahap inisiasi,
pelaksanaan, dan pengawasan program. Percayalah, dengan mengakhiri era
reklamasi di Teluk Jakarta, Gubernur Basuki telah menyelamatkan masa lalu
sekaligus masa depan Indonesia sebagai sebuah bangsa besar; yang kekuatan
budaya dan ekonominya berjangkar di laut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar