Setengah Abad Freeport di Papua
Bambang Soesatyo ;
Sekretaris Fraksi Partai Golkar;
Anggota Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 23 November 2015
Hampir setengah abad
Freeport-McMoran Copper & Gold Inc menangguk untung dari tanah Papua.
Seharusnya itu sudah lebih dari cukup. Tambahan waktu kontrak 20 tahun lagi
hanya akan memperpanjang pelecehan terhadap nasionalisme warga kebanyakan.
Untuk memulihkan martabat bangsa, pemerintahan Presiden Joko Widodo harus
berani mengagendakan pembelian Freeport Indonesia.
Kurang lebih dua tahun
lagi, tepat setengah abad Freeport McMoran menikmati keuntungan besar dari
dataran tinggi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Anak usahanya, PT
Freeport Indonesia, memperoleh kontrak karya (KK) pertama pada 1967.
Bermodalkan KK pertama itu, dimulailah kegiatan menambang, memproses, dan
eksplorasi bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak.
KK kedua berdurasi 30
tahun diperoleh pada 1991, masih ditambah opsi perpanjangan 20 tahun lagi.
Artinya, dalam genggaman Freeport, penambangan di Papua bisa berlangsung
hingga 2041. Namun, peluang perpanjangan hingga 2041 itu sudah diperkecil
oleh Undang- Undang (UU) No 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara yang
menetapkan masa kontrak habis setiap 20 tahun.
Bermodalkan keuntungan
dari Mimika, dua orang penting Freeport, Richard C Adkerson dan James R
Moffett, pada 1998 berani memulai petualangan lain dengan membangun
perusahaan baru, McMoran Exploration, yang bergerak pada eksplorasi minyak
dan gas. McMoran Exploration mulai mencoba peruntungannya pada 2008 ketika
mendapatkan peluang eksplorasi potensi minyak di Teluk Meksiko.
Kalau Freeport McMoran
bisa mengepakkan sayap bisnisnya dengan bermodalkan puluhan miliar dolar AS,
apa yang didapatkan Indonesia dan warga Papua dari kekayaan bahan tambang di
dataran tinggi Mimika itu? Alih-alih menghadirkan nilai tambah bagi kemajuan
dan kesejahteraan warga Papua, Freeport Indonesia justru lebih banyak
menimbulkan masalah. Setelah puluhan tahun menggali tanah Papua, Freeport
tidak pernah dirasakan sebagai bagian dari Papua dan warganya. Gagal menjadi
faktor pendorong kemajuan Papua.
Bahkan membangun
infrastruktur dasar Papua pun tidak dilakukan oleh Freeport. Hingga tahun
lalu hasil yang diperoleh negara hanya dalam bentuk pajak, royalti, dividen,
biaya, dan pembayaran lainnya. Bentuk kontribusi lainnya meliputi gaji/upah
pekerja, pembelian di dalam negeri, menyumbang pembangunan daerah, dan
investasi. Nilai kontribusi Freeport untuk negara dan Papua khususnya terlalu
kecil untuk dibandingkan dengan akumulasi laba Freeport Indonesia yang
ditarik oleh kantor pusat Freeport McMoran di Phoenix, Arizona, Amerika
Serikat (AS).
Upaya pemerintah untuk
memperbesar perolehan negara dan Provinsi Papua tidak pernah ditanggapi
positif. Freeport benar-benar hanya ingin memburu rente. Freeport belum
memenuhi syarat divestasi dan pembangunan smelter yang diminta Pemerintah
Indonesia. Pun belum memberi jawaban yang tegas mengenai keharusan memperbarui
komitmen peningkatan royalti untuk negara dan pembangunan Papua.
Jika dikonversikan
dengan dahsyatnya kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat eksplorasi
selama puluhan tahun itu, nilai kontribusi Freeport untuk negara dan Papua
bisa menjadi sangat kecil. Barubaru ini Freeport dilaporkan membuang limbah
mengandung merkuri yang mencemarkan sungai Amugme, Papua. Mengatasi persoalan
ini, perilaku Freeport sungguh tidak terpuji. Alih-alih memperbaiki kerusakan
dan membayar denda atas pencemaran itu, Freeport justru menyogok para pejabat
agar terbebas dari sanksi.
Layak Diakuisisi
Untuk semua
keserakahan itu, Freeport harus menerima karmanya di Teluk Meksiko. Freeport
McMoran Inc saat ini bergulat dengan potensi kerugian sangat besar. Per 30
September 2015, Freeport McMoran dilaporkan merugi USD8,16 miliar, sekitar
Rp110,16 triliun (asumsi per dolar AS Rp13.500). Angka kerugian menggambarkan
situasi yang sangat runyam.
Soalnya, untuk periode
yang sama tahun lalu, Freeport masih mencatat laba bersih USD1,54 miliar.
Kerugian itu disebabkan investasi di Teluk Meksiko berpotensi gagal total.
Kerugian itulah yang mendorong James R Moffett berkunjung ke Jakarta pada
awal Juli 2015 untuk menemui Presiden Jokowi.
Petinggi Freeport itu
berupaya keras mendapatkan perpanjangan kontrak penambangan emas di Papua
selama 20 tahun lagi selepas 2021. Moffett harus kecewa karena tidak
mendapatkan kepastian dari Pemerintah Indonesia. Perpanjangan kontrak itu
baru bisa dinegosiasikan pada 2019. Itu pun jika Freeport mampu memenuhi
syarat-syarat berdasarkan ketetapan undang-undang minerba yang diperbarui.
Kalau Moffett dan
Freeport Indonesia berupaya keras mendapatkan perpanjangan kontrak, tujuannya
sangat jelas. Kepastian kontrak itu akan digunakan untuk menutup kerugian di
Teluk Meksiko sekaligus memperbaiki nilai sahamnya. Namun, belum ada
kepastian dari Pemerintah Indonesia menyebabkan nilai pasar Freeport McMoran
terus menurun. Kemerosotan harga saham Freeport yang berkelanjutan sejak
tahun lalu hingga kini sudah mencapai besaran 47% dan paling murah dalam 15
tahun terakhir.
Freeport McMoran pun
masuk daftar perusahaan tambang yang memenuhi kriteria untuk diakuisisi oleh
para pesaingnya. Citra perusahaan tambang dari AS ini makin lemah setelah Rio
Tinto sudah terang- terangan menunjukkan hasratnya mengakuisisi Freeport
McMoran. Kalau Rio Tinto berani melakukan itu terhadap Freeport, mengapa
Pemerintah Indonesia harus ragu.
Inilah momentum bagi
pemerintah dan sektor swasta Indonesia membeli Freeport Indonesia. Bukankah
untuk jual beli saham itu Freeport terbuka dengan pendekatan bisnis. Terkait
rencana divestasi saham PT Freeport Indonesia sebanyak 10,64%, Menteri Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno sudah menegaskan bahwa PT Aneka
Tambang (Antam) Tbk dan PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) berminat
membeli saham divestasi itu.
Masalahnya adalah
Freeport Indonesia belum buka harga untuk 10,64% saham itu. Kalau pembelian
itu terlaksana, jumlah saham BUMN di Freeport Indonesia menjadi 20% karena
BUMN saat ini sudah memiliki 9,26% saham Freeport Indonesia. Di bursa saham
New York, para analis memperkirakan harga Freeport McMoran di kisaran USD 6
miliar. Kalau Antam-Inalum membidik Freeport Indonesia, akan menjadi sangat
strategis jika pemerintah membidik Freeport McMoran.
Inilah saatnya bagi
pemerintah mengerahkan Indonesia
Incorporated yang beranggotakan semua BUMN untuk melakukan aksi korporasi
menawar dan membeli saham Freeport McMoran di bursa saham New York.
Dengan jaminan
kandungan emas dan perak di Kabupaten Mimika, dana untuk membeli saham itu
akan mudah didapatkan. Akibat kinerjanya yang demikian buruk, harga saham
Freeport bisa saja akan terus melemah sehingga prospek untuk mendapatkan
harga yang lebih rendah masih sangat dimungkinkan. Momentum seperti ini tidak
datang dua kali. Sangat disayangkan jika disiasiakan begitu saja. Penguasaan
dan pemilikan Freeport oleh Indonesia akan menyelesaikan ragam persoalan di
dalam negeri, khususnya di Papua.
Nasionalisme
masyarakat sering kali terusik karena isu tentang perusahaan ini. Setengah
abad mestinya sudah cukup bagi Freeport. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar