Menegakkan Citra DPR
Reza Syawawi ;
Peneliti Hukum dan Kebijakan
Transparency International
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 19 November 2015
LAPORAN Menteri ESDM ke Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) terkait dengan pencatutan nama presiden dan wakil presiden yang
dilakukan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (SN) semakin
menambah suram wajah parlemen. Peristiwa ini seakan mengonfirmasi bahwa
praktik penyalahgunaan wewenang/jabatan oleh anggota parlemen masih saja men
jadi kebiasaan.
Sebagai pemimpin, tindakan ini tentu tidak
hanya dilihat sebagai pelanggaran individu anggota DPR, tetapi juga tindakan
yang merusak institusi DPR. Dimensi pelanggaran yang dilakukan pejabat publik
dengan kewenangan dan pengaruh yang besar, tentu saja akan berdampak besar
pula.
Oleh karena itu, proses di MKD ha rus dilihat
sebagai awalan dan bukan sebagai yang terakhir. Proses hukum lain sangat
layak ditempuh untuk memberikan pembelajaran bagi semua anggota DPR.
Internal DPR
Jika diselisik ke belakang, SN sebelumnya juga
telah diputuskan bersalah bersama Fadli Zon (FZ) oleh MKD terkait dengan
pelanggaran etik ringan. Selain prosesnya yang tertutup, sanksi yang
dijatuhkan juga hanya teguran kepada yang bersangkutan.
Jika menggunakan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun
2015 tentang Kode Etik DPR, putusan atas pelanggaran etik kali ini akan
bernasib sama dengan kasus sebelumnya. Akibatnya, perbuat an tersebut hanya
dinilai sebagai bentuk pengulangan atas pelanggaran ringan yang berujung pada
pemberian sanksi sedang. Menurut kode etik, sanksi sedang hanya memuat dua
jenis sanksi, yaitu pemindahan keanggotaan di alat kelengkapan, dan
pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan.
Sanksi itu akan tidak sepadan jika kita
membaca dan memahami perbuatan yang dilakukan Ketua DPR. Pemberitaan di
banyak media setidaknya menyebutkan ada dua esensi pelanggaran yang diduga
telah dilakukan, yaitu pencatutan dan permintaan saham.
Dari segi hukum, kedua perbuatan tersebut
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, yaitu penipuan dan korupsi. Namun,
sayangnya di dalam kode etik DPR, dugaan pidana tidak dapat dijadikan alasan
untuk dikategorikan sebagai pelanggaran berat kecuali dalam hal tertangkap
tangan atau telah diputus oleh pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap (inkracht) atas tindak
pidana, dengan ancaman hukuman paling singkat lima tahun.
Proses di MKD akan sangat berpotensi
melokalisasi kasus ini hanya sebatas pelanggaran etik. Politisasi penegakan
etik sangat mungkin terjadi jika kesepakatan politik mendahuluinya, termasuk
dalam hal ini soal pergantian pimpinan DPR.
Di luar penegakan etik tersebut, partai
politik sebetulnya memiliki ruang yang lebih leluasa untuk mem berikan sanksi
kepada anggotanya yang diduga melakukan pelanggaran. Jika saja partai politik
memberhentikan yang bersangkutan sebagai anggota partai politik atau diminta
mengundurkan diri, MKD tidak perlu bersusah payah memutuskan perkara ini
sebab dengan sendirinya yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR. Seperti
halnya yang pernah dilakukan Partai NasDem dalam dugaan kasus korupsi yang
dilakukan PRC.
Proses hukum
Proses penegakan etik pada prin sipnya ialah
proses yang terpisah dari penegakan hukum. Dimensi pidana dalam pelanggaran
etik secara otomatis berjalan tanpa harus menunggu putusan atas pelanggaran
etik.
Oleh karena itu, penegak hukum seyogianya
segera mengambil langkah hukum untuk menyelidiki apakah kasus tersebut,
setidaknya dugaan permintaan `jatah' saham, sudah dapat dicurigai sebagai
bagian dari tindak pidana korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana karena jabatan atau kedudukan yang ada
padanya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi
yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara ialah korupsi.
Termasuk kemungkinan adanya tindak pidana lain yang mengikutinya, misalnya
penipuan (pencatutan).
Dengan semua proses ini, baik dalam konteks
penegakan etik, proses di internal partai politik, maupun proses penegakan
hukum, ialah bagian dari ikhtiar untuk mem bersihkan DPR dari praktik
korupsi. Jika ini dilakukan secara serius, penulis meyakini bahwa citra DPR
yang selama ini dinilai korup oleh publik, perlahan akan mulai bisa
dipulihkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar