Meretas Integrasi Berbasis Koperasi
Dodi Mantra ;
Pegiat Koperasi Riset Purusha;
Dosen Hubungan Internasional
Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
28 November 2015
Sekalipun selalu
bernaung di bawah tajuk "komunitas" dan "masyarakat",
peran komunitas, terlebih masyarakat, absen dalam integrasi kawasan ASEAN. Ketidakhadiran
masyarakat justru tampak nyata dalam agenda integrasi di pilar besar dan
utama, yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ironis memang, agenda integrasi
yang bertujuan untuk mewujudkan ASEAN sebagai komunitas ekonomi justru tidak
berpijak pada kekuatan ekonomi komunitas.
Ekonomi komunitas,
dalam rupa-rupa entitas, praktik, dan pengorganisasian ekonomi yang berbasis
kekuatan kolektif masyarakat, belum menjadi pilar geliat integrasi ekonomi
kawasan. Kenyataannya, integrasi ekonomi ASEAN justru digerakkan oleh entitas
ekonomi yang berjarak dan tidak berakar pada kehidupan masyarakat, yakni
entitas ekonomi korporasi.
Rapuhnya pilar integrasi
Tak ada yang salah
dari peran besar entitas korporasi sebagai penggerak integrasi ekonomi
kawasan. Bahkan, performa positif
perekonomian ASEAN berupa peningkatan signifikan nilai investasi dan
perdagangan-baik ekstra maupun intra-kawasan di sepanjang langkah menuju
terwujudnya MEA-adalah buah dari aktivitas entitas korporasi transnasional di
kawasan.
Namun, pendorong
ekspansi adalah motivasi korporasi transnasional meraup keuntungan dengan
menekan biaya produksi: tingkat upah buruh murah dan kemudahan akses sumber
daya alam. Kondisi ini tecermin dari
posisi dan partisipasi ASEAN dalam rantai nilai global, yang didominasi oleh
aktivitas produksi pada tingkat nilai rendah.
Hasil kajian ASEAN
bersama UNCTAD dalam ASEAN Investment
Report 2013-2014: FDI Development and Regional Value Chains menunjukkan,
performa positif perekonomian ASEAN 2013-2014 adalah hasil aktivitas
korporasi transnasional memperluas rantai nilai dan jejaring produksi di Asia
Tenggara.
Ekspansi terutama
berlangsung dalam wujud perluasan kapasitas produksi, pembangunan pabrik-pabrik
baru, penambahan lini dan cabang-cabang produksi, serta penciptaan
fungsi-fungsi bisnis baru dari yang selama ini telah beroperasi di ASEAN.
Pemikatnya adalah tingkat upah murah, potensi pasar luas, dan peluang besar
pada sektor industri ekstraktif (ASEAN Secretariat & UNCTAD, 2014).
Laju integrasi ekonomi
ASEAN juga berhasil mendorong ekspansi aktivitas korporasi transnasional
intra-kawasan. Namun, pola ekspansi ini lagi-lagi digerakkan oleh upah murah
dan ekstraksi sumber daya alam. Terbukti, pola ekspansi intra-ASEAN bergerak
menuju kelompok negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam), di mana
tingkat upah jauh lebih murah dan akses terhadap sumber daya alam sangat
besar.
Namun, kemiskinan,
ketimpangan, perampasan lahan, dan kerusakan lingkungan terus terjadi.
Alih-alih memberdayakan dan memperkuat basis ekonomi masyarakat, ekspansi
rantai nilai korporasi transnasional di Asia Tenggara justru meminggirkan
ragam praktik ekonomi kolektif yang sudah berlangsung dalam kehidupan
masyarakat.
Koperasi sebagai pilar
Suatu entitas dan
sistem pengorganisasian ekonomi berbasis kekuatan kolektif komunitas
sebenarnya telah berjalan di seluruh ASEAN, yaitu koperasi.
Prinsip koperasi, baik
dari sisi tujuan, sumber kekuatan, pola kerja, maupun mekanisme pembagian
nilai di dalamnya, jauh berbeda dengan korporasi. Jika tujuan dari entitas korporasi adalah
meraup keuntungan melalui kegiatan produksi barang dan jasa, koperasi
mengorganisasikan kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan anggotanya.
Korporasi memutuskan
produk yang akan dihasilkan berdasarkan permintaan pasar, koperasi menentukan
produksi mereka atas dasar kebutuhan dan kepentingan anggotanya.
Berbeda dengan
korporasi yang digerakkan oleh kekuatan dan kepemilikan kapital, koperasi
bergerak melalui penggalangan kekuatan dan sumber daya kolektif anggota.
Tidak ada pemisahan di antara pemilik modal dan pekerja di dalamnya.
Kerja koperasi
berbasis pada kesepakatan serta komitmen bersama. Sebaliknya,
pengorganisasian kerja korporasi berjalan hierarkis dan instruksional.
Perbedaan semakin
tajam dalam aspek pembagian nilai dari aktivitas produksi. Keuntungan
korporasi sepenuhnya dikuasai oleh pemilik modal karena relasi dengan pekerja
bersifat transaksional berbasis upah.
Sebaliknya, hasil kerja kolektif koperasi didistribusikan sesuai
dengan kontribusi masing-masing anggota.
Kenyataannya, ketika
krisis melanda perekonomian dunia, koperasi mampu bertahan dan berkembang
pesat. Tidak heran jika negara-negara
maju pun menjadikan koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi.
Merujuk pada cara
kerja dan prinsipnya yang berbeda dengan korporasi, juga kekuatan dan
kontribusinya bagi pembangunan ekonomi kawasan, apalagi meningkatkan peran
perempuan dan membuka lapangan pekerjaan, Uni Eropa memancangkan koperasi
sebagai salah satu pilar dalam integrasi ekonominya.
Dalam Council Regulation (EC) No 1435/2003 of 22
July 2003 on the Statute for an European Cooperative Society (SCE),
negara-negara Uni Eropa meletakkan koperasi sebagai entitas tersendiri yang
berbeda dengan entitas ekonomi lainnya.
Lebih dari itu, Uni Eropa menyediakan landasan hukum bagi koperasi
agar leluasa menjalankan aktivitas ekonomi kolektifnya.
Uni Eropa
memfasilitasi aktivitas koperasi lintas batas negara dalam skema koperasi
transnasional. Secara teknis, diatur di dalamnya mulai dari legalitas,
prosedur keanggotaan, sampai mekanisme pembentukan dan penggabungan koperasi
lintas negara di Eropa.
Mengacu pada prinsip,
cara kerja, dan pola pengorganisasian ekonomi, koperasi dapat menjadi pilar
integrasi kawasan dengan kekuatan kolektif dan semangat komunitas sebagai
pijakannya.
Sayang, semangat ASEAN
mengintegrasikan ekonomi melalui agenda MEA tidak memberi ruang bagi koperasi
sebagai kekuatan potensial. Padahal, di ASEAN jutaan anggota koperasi
tersebar di hampir setiap negara anggota. Masing-masing negara mengakui dan
memiliki landasan regulasi koperasi sebagai entitas ekonomi. Namun, hampir tidak dapat ditemukan di
dalam agenda MEA suatu skema, program, atau regulasi yang memberi ruang bagi
koperasi sebagai penggerak integrasi.
Ketika Uni Eropa
berupaya mengenali dan mendorong koperasi, agenda integrasi ekonomi ASEAN
justru mengabaikannya. Terlepas dari
dinamika koperasi yang beragam di tiap negara ASEAN, agenda integrasi ekonomi
ASEAN harus memberi ruang gerak bagi koperasi di dalamnya. Ruang yang
berpijak dan digerakkan oleh kekuatan ekonomi kolektif masyarakat.
Kerangka aturan yang
memberi ruang dan memfasilitasi koperasi agar dapat memainkan peran dalam
integrasi ekonomi kawasan perlu segera diformulasikan dan diberlakukan.
Dengan demikian, koperasi transnasional ASEAN dapat menjadi pilar bagi
terwujudnya integrasi ekonomi kawasan yang berlandaskan pada prinsip
kolektivitas, demokrasi, dan semangat komunitas yang sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar