Renegosiasi Kontrak dan Akal Sehat
Siti Maimunah ;
Peneliti Sajogyo Institute; Ketua Tim
Kerja Perempuan dan Tambang
|
KOMPAS,
28 November 2015
Setelah hampir
setengah abad meng-eksploitasi Papua, PT Freeport Indonesia/Rio Tinto tak
hanya berhasil mengeruk kekayaan alam Indonesia. Lebih jauh, ia juga membuat
pengurus negara kehilangan akal sehat.
Setidaknya hal itu
terlihat dari drama tak bermutu petinggi DPR dengan para menteri Kabinet
Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla yang memperkarakan skandal renegosiasi kontrak
karya (KK) PT FI. Mereka lupa, substansi utama KK tak hanya saham dan
royalti, tetapi juga keselamatan rakyat dan alam Papua.
Di luar kontribusi
pada devisa negara yang angkanya harus dipertanyakan-karena tak memasukkan
biaya kerusakan lingkungan dan sosial dalam jangka panjang-operasi tambang PT
FI lebih banyak merepotkan.
Ibarat pisau bedah
KK pertambangan dengan
cadangan emas terbesar dunia ini menjadi kiblat kebijakan pertambangan Orde
Baru. Kebijakan itu ditandai dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, KK PT FI, dan UU No 11/1967 tentang
Pertambangan Umum. Soeharto menandatangani KK PT FI sebelum UU Pertambangan
disahkan, bahkan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat Papua berlangsung. KK PT
FI ditandatangani April 1967, delapan bulan kemudian keluar UU Pertambangan
Umum.
Model KK PT FI lantas
diadopsi UU Pertambangan. Sejak itu, bumi pertiwi makin banyak melayani
korporasi asing, seperti Vale/Inco, Rio Tinto, dan Newmont. Pelanggaran HAM,
perusakan lingkungan, dan pemiskinan kerap menyertai operasi pertambangan di
Indonesia. Sayangnya, peraturan baru, UU No 4/2009 tentang Mineral dan
Batubara, juga tak mengkaji ulang izin-izin itu.
Bagi orang Papua,
operasi tambang PT FI bagai pisau bedah yang memutus ikatan manusia dengan
alamnya. Ikatan antara suku-suku pegunungan tengah Papua yang memandang alam
sebagai ibu. Puncak gunung adalah Ninggok, tempat meletakkan kepala ibu,
wilayah spiritual tertinggi, tempat berhubungan dengan Sang Pencipta.
Sementara dada hingga perut ibu adalah lahan lebih landai, tempat sungai,
kebun, dan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat.
Ninggok telah
dihancurkan PT Freeport. Itulah puncak Gunung Etzberg, kini menjadi lubang
raksasa sedalam 360 meter. Sementara dada dan perut sang ibu juga berubah.
Dataran rendah Sungai Ajkwa kini menjadi tempat buangan limbah tailing PT FI
yang mencapai 300.000 ton per hari.
Papua tak lagi damai
Kekerasan, penyiksaan,
dan pembunuhan di sekitar pertambangan terus terjadi sejak Freeport di sana.
Di awal-awal operasinya, pada 1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme
meninggal karena kekerasan (Elsham
Papua, 2003).
Australian Council for Overseas Aid (1995) juga
mengeluarkan laporan kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh
militer terhadap puluhan warga asli Papua di sekitar tambang PT FI sepanjang
1994-1995. Kucuran dana PT FI membuat kawasan itu menjadi ajang kekerasan,
melibatkan bisnis militer dan tak tersentuh hukum.
Pemulihan luka
spiritual dan fisik semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dalam
memutuskan nasib tambang emas terbesar di Indonesia ini. Konsultasi dengan
rakyat Papua seharusnya menjadi prasyarat sebelum Presiden dan para menteri
mengeluarkan keputusan terus atau putus.
Sudah waktunya para pengurus
negeri mengubah cara memperlakukan tanah Papua sebatas penghasil devisa.
Tambang PT FI mengubah lanskap fisik dan sosial warga Papua. Sungguh menghina
akal sehat memaknai ruang hidup tersebut sekadar pembesaran royalti atau
divestasi saham. Syarat renegosiasi kontrak-royalti, konten lokal,
pembangunan smelter, dan divestasi
saham-tak banyak gunanya untuk keselamatan orang Papua.
Februari 2015, Menteri
LHK menyatakan, audit lingkungan terakhir pemerintah terhadap PT FI adalah 25
tahun lalu, sementara pengawasan tahunan dihentikan pada 2011. Padahal,
selama menambang, PT FI telah membuang lebih dari 7 miliar ton limbah ke
lingkungan, 2,4 miliar ton di antaranya berbentuk lumpur tailing ke Sungai
Ajkwa.
Skandal renegosiasi
kontrak Freeport yang melibatkan wakil rakyat dan kabinet penting diungkap.
Namun, jangan lupakan rakyat Papua dan lingkungannya sebagai substansi pokok.
Saatnya Presiden
Jokowi melakukan "penyelamatan terpimpin" demi kemaslahatan orang
Papua dan kedaulatan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar