Kamis, 26 November 2015

Rakyat Menggugat (Ketua) DPR

Rakyat Menggugat (Ketua) DPR

Wiwin Suwandi  ;  Anggota Badan Pekerja Anti Corruption Committe (ACC) Sulawesi
                                           MEDIA INDONESIA, 24 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

All power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Lord Emerich Edward Dalberg Acton (1834-1902)

SEKALI lagi diktum Lord Acton membuktikan bahwa kekuasaan itu lekat dengan korupsi dan kekuasaan absolut/mutlak akan berkorelasi dengan korupsi secara absolut/mutlak pula. Apalagi, jika kuasa itu melekat sebagai pimpinan/ketua sebuah lembaga negara terhormat sekelas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagaimana diberitakan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto terkait lobi saham di PT Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden.Etika tata negara tentu tidak membenarkan tindakan itu.

Siapa pun tahu bahwa DPR hanya memiliki tiga fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi terkait DPR sebagai pembentuk undang-undang, fungsi anggaran terkait kewenangan DPR dalam membahas dan memberikan persetujuan atau tidak terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan Presiden, dan fungsi pengawasan terkait kewenangan DPR sebagai pengawas jalannya pelaksanaan undang-undang dan APBN.Tidak ada dalam UUD 1945 dan UU MD3 yang memberikan kewenangan kepada anggota DPR sebagai calo dan makelar.

Lantas jika ada oknum anggota DPR yang sekaligus menjabat sebagai pimpinan/ketua DPR, dengan pengaruh jabatan yang melekat padanya, melakukan tindakan yang melenceng dari fungsinya, apakah itu bisa dipandang melanggar kode etik DPR? Jawaban pertanyaan itu yang ditunggu rakyat Indonesia saat ini. Akankah MKD bisa tegas berdiri di atas kepentingan bangsa dan negara sebagai badan penjaga muruah dan kehormatan DPR atau hanya menjadi badan pelindung kepentingan pimpinan DPR seperti dalam skandal Trumptgate beberapa waktu lalu?

Ujian MKD

Jika proses di MKD didudukkan dalam konteks menjaga muruah dan kehormatan DPR, ini saat yang tepat untuk memulainya. MKD mesti mendudukkan persoalan ini secara serius, tidak bisa main-main seperti dalam pengusutan kasus Trumpgate lalu. Mata rakyat Indonesia saat ini tertuju pada MKD. Mengusut dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPR ialah ujian terberat MKD saat ini. Ada tiga catatan yang mesti dipegang oleh MKD.

Pertama, objektif. MKD harus mendudukkan persoalan secara objektif dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasal 6 ayat 4 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2015 berbunyi, `anggota DPR dilarang menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi, keluarga, dan golongan'. Pasal tersebut berdiri di atas semangat Pasal 292 yang mengatur bahwa `setiap anggota dalam menjalankan tugasnya harus menjaga martabat, kehormatan, citra, serta kredibilitas DPR'. Pertanyaan kuncinya ialah apakah tindakan melobi saham dengan mencatut nama Presiden dan Wapres sejalan atau justru bertentangan dengan kode etik DPR?

Kedua, transparan. MKD mesti belajar dari kasus Trumpgate beberapa waktu lalu. Pemeriksaan yang tidak transparan serta sarat dengan intervensi politis menyebabkan legitimasi hasil pemeriksaan MKD cacat formil dan materiil sehingga objektivitasnya diragukan. Dalam kasus ini, MKD harus membuka persidangan secara terbuka/transparan. Persoalan ini mesti didudukkan dalam konteks keterbukaan informasi karena menyangkut kepentingan bangsa dan negara, khususnya menyangkut kehormatan DPR secara institusi sehingga ada hak publik untuk tahu (rights to know). Karena itu, persidangan mesti dilakukan secara terbuka. Tidak usah ditutupi seperti kasus Trumpgate beberapa waktu lalu. Menutupi persoalan ini hanya akan menambah kemarahan publik, memperburuk citra DPR, terkhusus citra MKD.

Ketiga, berani menjatuhkan sanksi tegas. Jika poin 1 dan 2 terbukti, MKD jangan ragu menjatuhkan sanksi tegas. Persoalannya bukan pada personel MKD yang berasal dari parpol sehingga publik meragukan kualitasnya, melainkan juga sejauh mana anggota majelis MKD bisa tahan dari intervensi dan tekanan itu. MKD harus melihat lebih dalam hati nurani publik yang terluka akibat tindakan tercela itu. Jika terbukti, MKD harus berani memberikan sanksi tegas terhadap Setya Novanto karena melanggar kode etik DPR. Ketegasan MKD penting sebagai pembelajaran di kemudian hari. Putusan pelanggaran ringan dengan sanksi teguran seperti dalam kasus Trumpgate lalu hanya akan kembali melukai hati rakyat Indonesia.

Penegakan hukum

Dari sudut mana pun, kasus ini melanggar moral, etika, dan hukum positif yang di anut. Bahkan, wajib diteruskan ke penegak hukum untuk diproses dengan UU Tipikor terkait memperdagangkan pengaruh (trading influence). Konteks memperdagangkan pengaruh ini telah mendapat legitimasi hukum dalam Pasal 18 UNCAC yang telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Pasal 18 UNCAC tentang Memperdagangkan Pengaruh dipandang sebagai kejahatan yang bisa dipidana.

Tindakan itu juga melanggar UU Administrasi Pemerintahan No 30 Tahun 2014 terkait konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tertera dalam UU itu ialah `kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat memengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya'.

Tindakan Ketua DPR tersebut telah memenuhi unsur `memperdagangkan pengaruh, menguntungkan diri sendiri dan orang lain, serta memiliki konflik kepentingan' sebagaimana tertera dalam Pasal 18 UNCAC dalam UU No 30/2014 sehingga bisa dibawa ke ranah hukum. Sekaligus mendorong pengusutan terhadap kasus lain yang melibatkannya, seperti dalam kasus surat ke Pertamina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar