Rakyat Menggugat (Ketua) DPR
Wiwin Suwandi ;
Anggota Badan Pekerja Anti Corruption
Committe (ACC) Sulawesi
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2015
All power tends to
corrupt and absolute power corrupts absolutely.
Lord Emerich Edward
Dalberg Acton (1834-1902)
SEKALI lagi diktum Lord Acton membuktikan
bahwa kekuasaan itu lekat dengan korupsi dan kekuasaan absolut/mutlak akan
berkorelasi dengan korupsi secara absolut/mutlak pula. Apalagi, jika kuasa
itu melekat sebagai pimpinan/ketua sebuah lembaga negara terhormat sekelas
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Sebagaimana diberitakan Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) akan menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan
Ketua DPR Setya Novanto terkait lobi saham di PT Freeport Indonesia dengan
mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden.Etika tata negara tentu tidak
membenarkan tindakan itu.
Siapa pun tahu bahwa DPR hanya memiliki tiga
fungsi, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi terkait
DPR sebagai pembentuk undang-undang, fungsi anggaran terkait kewenangan DPR
dalam membahas dan memberikan persetujuan atau tidak terhadap rancangan
undang-undang tentang APBN yang diajukan Presiden, dan fungsi pengawasan
terkait kewenangan DPR sebagai pengawas jalannya pelaksanaan undang-undang dan
APBN.Tidak ada dalam UUD 1945 dan UU MD3 yang memberikan kewenangan kepada
anggota DPR sebagai calo dan makelar.
Lantas jika ada oknum anggota DPR yang
sekaligus menjabat sebagai pimpinan/ketua DPR, dengan pengaruh jabatan yang
melekat padanya, melakukan tindakan yang melenceng dari fungsinya, apakah itu
bisa dipandang melanggar kode etik DPR? Jawaban pertanyaan itu yang ditunggu
rakyat Indonesia saat ini. Akankah MKD bisa tegas berdiri di atas kepentingan
bangsa dan negara sebagai badan penjaga muruah dan kehormatan DPR atau hanya
menjadi badan pelindung kepentingan pimpinan DPR seperti dalam skandal Trumptgate beberapa waktu lalu?
Ujian MKD
Jika proses di MKD didudukkan dalam konteks
menjaga muruah dan kehormatan DPR, ini saat yang tepat untuk memulainya. MKD
mesti mendudukkan persoalan ini secara serius, tidak bisa main-main seperti
dalam pengusutan kasus Trumpgate
lalu. Mata rakyat Indonesia saat ini tertuju pada MKD. Mengusut dugaan
pelanggaran kode etik Ketua DPR ialah ujian terberat MKD saat ini. Ada tiga
catatan yang mesti dipegang oleh MKD.
Pertama, objektif. MKD harus mendudukkan
persoalan secara objektif dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pasal 6
ayat 4 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2015 berbunyi, `anggota DPR dilarang
menggunakan jabatannya untuk mencari kemudahan dan keuntungan pribadi,
keluarga, dan golongan'. Pasal tersebut berdiri di atas semangat Pasal 292
yang mengatur bahwa `setiap anggota dalam menjalankan tugasnya harus menjaga
martabat, kehormatan, citra, serta kredibilitas DPR'. Pertanyaan kuncinya
ialah apakah tindakan melobi saham dengan mencatut nama Presiden dan Wapres
sejalan atau justru bertentangan dengan kode etik DPR?
Kedua, transparan. MKD mesti belajar dari
kasus Trumpgate beberapa waktu
lalu. Pemeriksaan yang tidak transparan serta sarat dengan intervensi politis
menyebabkan legitimasi hasil pemeriksaan MKD cacat formil dan materiil
sehingga objektivitasnya diragukan. Dalam kasus ini, MKD harus membuka
persidangan secara terbuka/transparan. Persoalan ini mesti didudukkan dalam
konteks keterbukaan informasi karena menyangkut kepentingan bangsa dan
negara, khususnya menyangkut kehormatan DPR secara institusi sehingga ada hak
publik untuk tahu (rights to know).
Karena itu, persidangan mesti dilakukan secara terbuka. Tidak usah ditutupi
seperti kasus Trumpgate beberapa waktu lalu. Menutupi persoalan ini hanya
akan menambah kemarahan publik, memperburuk citra DPR, terkhusus citra MKD.
Ketiga, berani menjatuhkan sanksi tegas. Jika
poin 1 dan 2 terbukti, MKD jangan ragu menjatuhkan sanksi tegas. Persoalannya
bukan pada personel MKD yang berasal dari parpol sehingga publik meragukan
kualitasnya, melainkan juga sejauh mana anggota majelis MKD bisa tahan dari
intervensi dan tekanan itu. MKD harus melihat lebih dalam hati nurani publik
yang terluka akibat tindakan tercela itu. Jika terbukti, MKD harus berani
memberikan sanksi tegas terhadap Setya Novanto karena melanggar kode etik
DPR. Ketegasan MKD penting sebagai pembelajaran di kemudian hari. Putusan
pelanggaran ringan dengan sanksi teguran seperti dalam kasus Trumpgate lalu hanya akan kembali
melukai hati rakyat Indonesia.
Penegakan hukum
Dari sudut mana pun, kasus ini melanggar
moral, etika, dan hukum positif yang di anut. Bahkan, wajib diteruskan ke
penegak hukum untuk diproses dengan UU Tipikor terkait memperdagangkan
pengaruh (trading influence).
Konteks memperdagangkan pengaruh ini telah mendapat legitimasi hukum dalam
Pasal 18 UNCAC yang telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 2006. Pasal 18
UNCAC tentang Memperdagangkan Pengaruh dipandang sebagai kejahatan yang bisa
dipidana.
Tindakan itu juga melanggar UU Administrasi
Pemerintahan No 30 Tahun 2014 terkait konflik kepentingan. Konflik
kepentingan yang tertera dalam UU itu ialah `kondisi pejabat pemerintahan
yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau
orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat memengaruhi netralitas
dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya'.
Tindakan Ketua DPR tersebut telah memenuhi
unsur `memperdagangkan pengaruh, menguntungkan diri sendiri dan orang lain,
serta memiliki konflik kepentingan' sebagaimana tertera dalam Pasal 18 UNCAC
dalam UU No 30/2014 sehingga bisa dibawa ke ranah hukum. Sekaligus mendorong
pengusutan terhadap kasus lain yang melibatkannya, seperti dalam kasus surat
ke Pertamina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar