Percaloan
Toriq Hadad ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
21 November 2015
Tidak banyak orang dengan peruntungan sebagus
Setya Novanto. Jika tidak, bagaimana mungkin ia bebas dari tujuh kasus
sepanjang 16 tahun terakhir? Kalau ia kelak lolos lagi dari kasus percaloan
kontrak Freeport yang sekarang ramai diributkan, bolehlah kita mengimbau
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu untuk membagi pengalamannya lewat buku.
Supaya laku, judulnya mesti bombastis, misalnya "Mau Kaya Tiru Setya: Sejumlah Kiat Mengatasi Hukum
Indonesia". Pasti tak sulit, sebab ia pernah menulis buku
"Manajemen Soeharto".
Pada bab-bab awal, tentu Setya mesti
memaparkan bagaimana "menciptakan" garis tangan agar selalu bagus.
Hanya dalam waktu tak terlalu panjang, dari berjualan madu dan beras, ia
menjadi pengusaha pompa bensin, peternakan, kontraktor, tekstil, hotel,
sampai lapangan golf. Sebagai politikus, hokinya juga moncer. Walaupun tak
pernah terdengar mencetak prestasi gemilang di politik, ia mampu duduk di
jabatan sangat tinggi, yakni Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.
Disarankan ada bab khusus yang membahas
kekuatan teknik gaulnya selama ini: menempel orang yang tepat. Setelah lulus
kuliah, ia menumpang di rumah Hayono Isman, bekas menteri di zaman Soeharto.
Dari sinilah ia mengenal bisnis penyaluran pupuk. Berkat bertemu Soeharto
sekian kali, ia mampu membuat sebuah buku. Perlu diceritakan di bagian ini,
bagaimana sepak-terjang Soeharto dan gaya kepemimpinan ikon Orde Baru itu
mempengaruhinya. Lalu, masuk bab yang juga penting: usahanya merapat ke tokoh-tokoh
kunci Golkar, seperti Aburizal Bakrie. Dari orang yang tak "bunyi",
ia mampu menyulap diri menjadi orang yang diperhitungkan. Dan puncaknya, di
tengah kecaman luas publik, ia justru melesat sampai menduduki posisi
tertinggi DPR.
Tentu saja bagian yang sangat ditunggu adalah
pengalamannya berselancar di atas hukum, setidaknya sejak kasus cessie Bank
Bali pada 1999. Setya perlu menulis pengalaman perusahaannya, PT Era Giat
Prima, mendapatkan mandat menagih utang Bank Bali kepada Bank Dagang Nasional
Indonesia dengan imbalan Rp 500 miliar. Di sini ia perlu detail berkisah,
tentang cara mengatasi hukum yang membuat kasus yang diduga merugikan negara
itu dihentikan pada 2003.
Bab yang bercerita cara mengatasi hukum bisa
ia perkaya dengan pengalaman lolos dari kasus dugaan penyelundupan beras,
limbah beracun, serta proyek PON dan e-KTP. Kalau kurang tebal, ia bisa
menambahkan kiat mengelak dari sanksi berat akibat mendukung kampanye Donald
Trump, yang belum tentu juga menjadi calon Presiden AS. Pembaca ingin tahu
apakah benar ketika itu ia disuruh pengusaha Hary Tanoe melobi Trump untuk
memuluskan pembangunan Disneyland di Cigombong.
Sebagai bab penutup, tentu orang menunggu
cerita di balik percaloan Freeport. Bagian akhir itu bisa dimulai dari
Menteri Energi Sudirman Said yang melaporkannya ke Majelis Kehormatan Dewan.
Setelah itu, Setya perlu membuka cerita pertemuannya dengan petinggi Freeport
di Hotel Ritz-Carlton, 8 Juni 2015. Pembaca pasti penasaran untuk tahu
kiatnya sebagai pemimpin tertinggi lembaga pembuat hukum
"berselancar" dalam kasus yang berpotensi besar menimbulkan
pelanggaran hukum itu. Ia perlu menambahkan tips, tentang teknik menguatkan
nyali sampai berani mencatut nama presiden dan wakil presiden.
Buku Setya akan "sempurna" kalau ia
sukses berkelit dari tiga jerat pidana yang disiapkan polisi dalam kasus
Freeport. Kalau tidak lolos, ia tetap bisa menyelesaikan bukunya dari mana
saja, termasuk dari penjara. Tak jadi soal, bukankah banyak tokoh besar
melakukan hal yang sama? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar