Konspirasi Kasus Setya Novanto
Sumaryoto Padmodiningrat ;
Anggota DPR periode 1999- 2004,
2004-2009
dan 2009-2014
|
SUARA
MERDEKA, 23 November 2015
MENARIK untuk
memunculkan teori konspirasi di balik pencatutan nama Presiden Joko Widodo-Wakil
Presiden Jusuf Kalla yang diduga melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, seperti
dilaporkan Menteri ESDM Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), Senin
(16/11).
Nama Jokowi-JK diduga
‘’dijual’’ Setnov, panggilan Setya Novanto, ke PT Freeport Indonesia untuk
meminta saham ‘’bodong’’ yang katanya buat Jokowi 11% dan JK 9% dari total
20%.
Setnov juga diduga
meminta jatah saham bodong 49% proyek PLTA Urumuka, Papua, dan meminta
Freeport menjadi investor sekaligus pembeli (off taker) energi listrik proyek tersebut. Mengapa teori
konspirasi perlu dimunculkan? Pasalnya, masingmasing pihak membantah dan
sekaligus menuduh.
Setnov, yang juga
wakil ketua umum Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie, dalam pertemuan dengan
JK sesaat setelah dilaporkan ke MKD, membantah mencatut nama Jokowi-JK.
Kolega Setnov, yakni dua Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah dan Fadli Zon, bahkan
tidak hanya membantah, melainkan pasang badan sekaligus menyerang balik
Sudirman.
Menurut keduanya,
Sudirman bisa dilaporkan balik ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Transkrip rekaman yang diserahkan Sudirman ke MKD, dinilai Fadli sebagai
bukti yang bisa rekayasa. Ancaman bagi pelaku pencemaran nama baik adalah
sembilan bulan penjara, seperti diatur Pasal 310 KUHP.
Fadli yang juga wakil
ketua umum Partai Gerindra mengaku akan ikut mempelajari materi hingga
bukti-bukti yang dilaporkan Sudirman ke MKD. Jika tuduhan Sudirman tak
terbukti, Fadli pun mendorong Setnov melaporkan balik Sudirman ke polisi.
Fahri, politikus PKS,
pun memunculkan teori konspirasi baru dengan menuding balik Sudirman yang
katanya menginginkan perpanjangan kontrak Freeport dilakukan segera, meski
kontraknya baru habis pada 2021.
Sudirman, kata Fahri,
merasa diserang karena ingin mempercepat perpanjangan kontrak Freeport namun
ada yang meminta diperlambat. Ada kecurigaan serangan Sudirman ke Setnov demi
‘’melumpuhkan’’DPR yang lebih dikuasai Koalisi Merah Putih (KMP), penentang
Jokowi-JK.
Bantahan yang
menguntungkan kubu Setnov juga datang dari juru bicara Freeport, Riza
Pratama. Ia membantah ada lobi tak resmi terkait perpanjangan kontrak di
Indonesia, termasuk soal adanya anggota DPR mencatut nama Jokowi-JK dalam
lobi itu.
Namun ketika disebut
laporan Sudirman berasal dari dokumen tertulis yang disampaikan petinggi
Freeport, Riza berdalih mungkin saja, dan ia mengaku tak tahu-menahu. Dalam
konteks ini, bisa saja Freeport terlibat konspirasi dengan dua kubu
sekaligus; dengan kubu pemerintah diwakili petinggi Freeport, dan dengan kubu
DPR diwakili juru bicaranya.
Bila terjadi
konspirasi di DPR, di mana para pimpinan DPR saling melindungi satu sama
lain, dan di sisi lain bersama- sama mengunci pihak lawan, maka hasil
penyelidikan MKD sudah bisa diduga; Setnov tak melanggar Kode Etik DPR atau
melakukan perbuatan tak terpuji sebagaimana dituduhkan Sudirman.
Lihat saja hasil
penyelidikan MKD terhadap pertemuan Setnov dan Fadli Zon dengan kandidat
capres AS Donald Trump yang ternyata keduanya hanya ditegur. Kali ini MKD pun
ditengarai akan ‘’masuk angin’’.
Sebab itu, bila bukti
yang dimiliki Menteri ESDM kuat maka biarkan saja Setnov melaporkan balik ke
polisi. Bahkan Sudirman mestinya senang karena kasus ini dibawa ke arena
hukum, bukan arena politik yang kemungkinan besar dimenangi para politikus
itu.
Perburuk Citra
Terlepas dari apakah
nanti pertarungan Sudirman-Setnov bergeser ke arena hukum atau tidak, dan
siapa pemenangnya, yang jelas isu pencatutan nama Jokowi-JK yang diduga
melibatkan Setnov memperburuk citra DPR.
Kendati posisi Koalisi
Indonesia Hebat (KIH), kini berganti nama menjadi P4 (Parpol-Parpol Pendukung
Pemerintah), di parlemen bakal menguat, dan sebaliknya posisi KMP melemah,
dengan adanya kasus Setnov secara umum tingkat kepercayaan publik terhadap
parpol dan DPR akan menurun.
Padahal tanpa kasus
ini pun kepercayaan publik terhadap parpol dan DPR cukup rendah, yakni
berkisar 23%-29%. Artinya, sekitar 60% publik tidak percaya. Begitu pun
tingkat kepuasan publik terhadap parpol dan DPR. Hasil survei Poltracking
Indonesia yang dirilis pada 18 Mei 2015, persentase kepuasan publik terhadap
DPR hanya 23,8% dan kepada parpol 24%.
Kita justru khawatir
pada Pemilu 2019 akan lebih banyak golput (golongan putih) ketimbang pemilu-pemilu
sebelumnya. Apalagi bila keputusan MKD nanti kembali mengecewakan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar