Selasa, 10 November 2015

Spirit Kepahlawanan dan Etika Santri

Spirit Kepahlawanan dan Etika Santri

Fathorrahman Ghufron  ;  Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A'wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
                                                     KOMPAS, 10 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam pandangan sejarawan Islam Nusantara, Agus Sunyoto, peristiwa 10 November 1945 yang bergelora di Surabaya sesungguhnya dipicu oleh resolusi jihad yang berkobar pada 22 Oktober 1945. Antarkedua momentum tersebut mengemban misi yang sama, yaitu membesutkan semangat perjuangan antarpelakunya dalam mandala keterlibatan rerata untuk melawan penjajah. Laku kepahlawanan yang dipersonifikasi pada diri Bung Tomo membingkai sebuah narasi etos yang bertitik sambung dengan resolusi jihad, di mana santri dan kiai memiliki tanggung jawab etis untuk menumbuhkan heroisme meraih kembali kemerdekaan yang pernah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Antara spirit dan etika

Dari perjalinan keduanya terbentuklah kesadaran kritis bernama jihad-yang dalam tulisan Kamaruddin Amin berjudul "Quo Vadis Hari Santri Nasional" (Kompas, 22/10) secara implisit penulis pahami-untuk mengkristalisasi imajinasi keindonesiaan dalam tiga elemen. Pertama, semangat kebangsaan. Kedua, cinta tanah air. Ketiga, rela berkorban untuk keutuhan negara. Ketiga elemen ini menjadi aliran darah merah putih yang memengaruhi daya perjuangan dan pengorbanan antarpelakunya untuk sama-sama menegakkan Indonesia yang damai.

Maka, ketika 22 Oktober dideklarasikan sebagai Hari Santri Nasional, sebenarnya ingin menganggit sebuah persenyawaan monumental dengan 10 November, yang antara dua pelaku sejarahnya menjadi pandu pergerakan masyarakat dalam spirit dan etika perjuangan yang semipermeabel.

Secara sosiologis, pengalaman semipermeabilitas, yaitu saling merembes dan memberikan wawasan epistemologi antara spirit dan etika dapat dicermati pada pemikiran Max Weber. Dalam buku Protestan Ethic and Spirit of Capitalism dijelaskan bingkai persenyawaan antara kapitalisme dan agama yang saling mewarnai untuk menuju kesalehan profesional di ruang publik.

Melalui rekonstruksi konsep calling yang merujuk pada ide bahwa bentuk tertinggi dari kewajiban moral bagi penganut gereja adalah memenuhi tugasnya dalam urusan duniawi, dan konsep ini memproyeksikan perilaku religius dalam aktivitas keduniaan sehari-hari yang dikembangkan sekte Calvinisme dalam agama Protestan, maka dapat disebut ada laku persenyawaan antara kapitalisme sebagai pendulang pendapatan dan agama sebagai pendulang pahala. Bahkan, dalam perkembangannya, agama Protestan jadi kekuatan etika dalam aksi massal tak terencana dan tak terkoordinasi menuju ke pengembangan kapitalisme.

Menurut Max Weber, teologi takdir yang dikembangkan sekte Calvinisme adalah doktrin "hanya orang-orang terpilih yang bisa diselamatkan dari kutukan, dan pilihan itu telah ditetapkan jauh sebelumnya oleh Tuhan". Melalui doktrin ini, kaum Protestan jadi dinamis dan progresif serta berlomba menjadi orang yang terpilih. Untuk itu, kaum Protestan harus memiliki keyakinan tinggi dan komitmen yang giat dalam kerja sebagai aktivitas duniawi dan melepaskan kemalasan dan kepasrahan agar tidak menjadi kaum yang terkutuk. Melalui doktrin ini pula, spirit kapitalisme tumbuh seiring bergeliatnya etika kaum Protestan dalam menjalani kehidupannya.

Secara semiotik, spirit kepahlawanan yang termanifestasi pada 10 November dan etika santri yang termanifestasi pada 22 Oktober mencerminkan jalinan intersubjective testability. Satu sama lain saling menguji dan memberikan masukan terhadap laku perjuangan yang bisa dipahami dan dilakukan demi meraih kemerdekaan dan perdamaian Indonesia.

Ada pelajaran berharga dari ruang perjumpaan keduanya, yang bisa direaktualisasikan pada hari ini, terutama terkait spirit dan etika dua momentum sebagai basis nilai berperadaban dan berkeadaban dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Apalagi di masa depan, Indonesia akan berhadapan dengan tantangan dunia global yang mensyaratkan adanya keberdayaan ekonomi, politik, hukum, agama, dan budaya sebagai landasan pacu progresivitas untuk menjadi bangsa yang bermartabat di kancah regional, nasional, dan internasional.

Kesadaran partisipatoris

Konsep jihad yang dijadikan lingua franca perjuangan secara lintas batas keimanan, etnis, suku, dan kohesi sosial lainnya bahkan bergerak secara semipermeabeldan dalam lingkup intersubjective testability perlu direaktualisasikan untuk membangkitkan Indonesia yang lebih baik dan maju. Jihad tidak lagi menjadi monopoli epistemik pada agama tertentu maupun identitas keterpelajaran sekelompok orang, seperti santri. Jihad dapat digerakkan secara dinamis dan dialektis yang diakses oleh berbagai pihak untuk kepentingan umum, sebagaimana pernah dilakukan Bung Tomo yang jadi pemantik spirit kepahlawanan.

Dalam konteks kekinian, jihad perlu dijadikan sebagai "tenaga penggerak" kebangsaan untuk mengelola Indonesia yang penuh dengan selaksa keberagaman sebagai preferensi dan teladan pergerakan perdamaian. Sebab, di tengah menguatnya kerentanan sosial di berbagai belahan dunia yang digerogoti oleh ego sektoral dan etno-religius sentrisme-dengan konflik dan perselisihan menjadi penanda timbulnya permusuhan antarkelompok yang berujung pada peperangan dan kejahatan kemanusiaan, seperti terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika-diperlukan kesadaran partisipatoris berbagai pihak untuk meleburkan identitas pribadinya ke dalam struktur rasa memiliki yang egaliter dan cair terhadap Indonesia.

Kita perlu belajar pada pejuang kemerdekaan, seperti Bung Tomo yang membesutkan spirit kepahlawanan dan menyatu dengan etika santri yang turut menggerakkan semangat heroisme dalam kobaran jihad meraih kemerdekaan. Bahkan, untuk melegitimasi perlawanan terhadap penjajah, berbagai kosakata dan adagium agama dimodifikasi oleh santri dan kiai secara membumi dan indonesiawi-sebagaimana yang dilakukan oleh Wahab Chasbullah melalui lirik lagu perjuangannya-sebagai pemantik rasa nasionalisme dan daya juang berbagai pihak.

Mengacu pada pengalaman mereka, maka sesungguhnya di ruang publik yang sangat heterogen dan multi-identitas, agama tak lagi menjadi ekspresi absolutisme salah satu pihak. Namun, ia dilibatkan secara relatif agar nilai dan spiritnya bisa diakses oleh berbagai pihak. Keberadaan santri yang mengerangkai landasan etikanya untuk menumbuhkan spirit kepahlawanan menjadi bukti bahwa agama adalah bangunan kepercayaan (faith) yang ukuran transendentalnya dihadirkan untuk membebaskan, bukan untuk membelenggu kreativitas, imajinasi, dan kearifan lokal.

Lalu, ketika sebagian kita masih menggunakan logika purinitas keagamaan yang bernuansa eksklusif-radikal, dan dengan logika parsial tersebut mendiskreditkan perbedaan habitus dan aliran pihak lain, patut dipertanyakan bagaimana kelompok tersebut memahami etika keberagamaan di ruang publik. Apalagi Indonesia yang dalam proses sejarahnya dimerdekakan oleh berbagai pihak dari beragam suku, agama, dan kelompok lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar