Pembangunan dan Peradaban
Azyumardi Azra ; Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta;
Anggota Komisi Kebudayaan Akademi
Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
10 November 2015
Keputusan pemerintah
untuk membangun kereta api cepat (medium, bukan supercepat seperti Shinkansen
atau TGV) Jakarta-Bandung lewat kerja sama dengan Tiongkok menjadi pertanyaan
banyak ahli ekonomi dan masyarakat. Ekonom
senior terkemuka sekelas Emil Salim menyatakan, pembangunan jalur kereta
cepat itu tidak ada urgensinya. Proyek itu hanya akan mengalirkan devisa ke
luar negeri dan—lebih buruk lagi—memperbesar kepincangan sosial (Kompas, 9/11).
Kalangan ekonom lain
menyatakan, proyek itu bukan investasi murni Tiongkok. Negara itu hanya
memberi semacam talangan karena kemudian harus dibayar konsorsium empat BUMN
yang dananya berasal dari rakyat. Kenyataan ini bertolak belakang dengan
pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa proyek itu tidak boleh menggunakan
anggaran negara alias dana rakyat.
Orang yang sering
bolak-balik ke kedua kota juga melihat proyek ini tidak bakal mendatangkan
banyak manfaat karena warga umumnya cenderung tetap lebih memilih Jalan Tol
Cipularang atau kereta api Argo Parahyangan. Pilihan ini masing-masing jauh
lebih murah. Argo Parahyangan bertarif Rp 75.000-Rp 120.000, sedangkan harga
tiket travel sekitar Rp 120.000. Proyeksi ongkos kereta cepat medium hampir
dua kali lipat, sekitar Rp 225.000.
Karena itu, menjadi
tanda tanya besar apakah cukup banyak penumpang tertarik menaiki kereta api
cepat medium Jakarta-Bandung yang direncanakan mulai beroperasi pada kuartal
I-2019. Jika terjadi, proyek itu merupakan pemborosan belaka.
Proyek ini tidak
konsisten dengan butir ketiga Nawacita yang selalu didengungkan Presiden
Jokowi tentang membangun dari pinggiran. Memang untuk tahun 2016 anggaran
transfer ke daerah dan dana desa meningkat signifikan menjadi Rp 782,2
triliun (dari Rp 664,4 triliun pada 2015).
Namun, walau ada
peningkatan anggaran untuk daerah dan desa, proyek pembangunan kereta api
cepat Jakarta-Bandung memperlihatkan inkonsistensi kebijakan pemerintah
Jokowi-Kalla. Sebenarnya, tanpa perlu penelitian dan kajian mendalam,
infrastruktur dan sarana transportasi antara kedua kota itu sudah sangat
memadai.
Justru lebih mendesak adalah pembangunan infrastruktur
jalan dan kereta api di luar Jawa. Dengan infrastruktur cukup baik—meski
terbatas seperti jalan raya—menjadi mungkin, misalnya, membawa warga
terasing, seperti Suku Anak Dalam di Jambi yang belum lama ini dikunjungi
Presiden, ke kebudayaan lebih tinggi dan peradaban.
Pasti masih banyak
suku terasing semacam Suku Anak Dalam atau suku Kubu lain di banyak wilayah.
Bahkan, banyak warga bukan suku terasing yang tidak atau belum menikmati
pembangunan karena infrastruktur jalan tak memadai sehingga sulit dilayani
alat transportasi apa pun.
Mempertimbangkan
berbagai poin itu, sudah saatnya perlu refleksi lebih jauh tentang makna
pembangunan—termasuk dalam hal sarana transportasi, seperti kereta api cepat
Jakarta-Bandung. Kasus ini secara jelas memperlihatkan bukan hanya
inkonsistensi dalam kebijakan dan praksis pembangunan, melainkan juga dalam
kaitan dengan peningkatan kebudayaan dan peradaban.
Sejak pembangunan masa Orde Baru sampai era Presiden
Jokowi, banyak kritik dikemukakan ahli. Boleh jadi setiap masa kepresidenan
ada kerangka dasar kebijakan pembangunan, tetapi realisasi dan praksisnya
lebih sering didasarkan pada pertimbangan politis dan pragmatis.
Karena itu,
pembangunan sering disebut kalangan akademisi dan budayawan sebagai tidak
memiliki strategi kebudayaan yang jelas dan konsisten—atau bahkan strategi
peradaban untuk memajukan seluruh bangsa Indonesia. Hasilnya, pembangunan
bukan hanya kian menciptakan disparitas ekonomi, tetapi juga kesenjangan
sosial-budaya dan peradaban di antara suku-suku dan warga.
Dengan demikian,
pembangunan belum berhasil melakukan transformasi ekonomi dan transformasi
sosial menyeluruh seperti dianjurkan Sri-Edi Swasono. Menurut Guru Besar UI
ini, UUD 1945 tegas menggariskan kebijakan nasional untuk melakukan transformasi
dalam kedua bidang kehidupan ini dalam rangka membangun peradaban Indonesia
yang berharkat dan bermartabat tinggi (Keindonesiaan:
Demokrasi Ekonomi, Keberdaulatan dan Kemandirian, 2015).
Sejauh ini,
pembangunan dalam batas tertentu memang telah menghasilkan transformasi
ekonomi. Namun, arahnya belum sesuai dengan pesan UUD 1945 yang menekankan
ekonomi kebersamaan dan ekonomi kerakyatan. Sebaliknya, ekonomi Indonesia,
aset dan sumber daya alam Indonesia kian terjerumus ke dalam penguasaan
kapitalisme, pasar bebas, dan neoliberalisme global—semakin menjauh dari
kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa.
Gejala sama terlihat
dalam transformasi sosial. Pertumbuhan ekonomi memang telah memunculkan kelas
menengah dalam jumlah signifikan. Namun, saat yang sama terjadi pula
penguatan gaya hidup konsumeristis dan hedonistis berbarengan dengan
merosotnya budaya kewargaan (civic
culture) dan keadaban publik (public
civility).
Kecenderungan ini
terlihat jelas dari kian padatnya kendaraan di jalan raya. Namun, kepatuhan
pada ketentuan hukum dan ketertiban kian turun hampir ke tingkat nadir.
Walhasil, jika
Indonesia sebagai negara besar ingin membangun peradaban lebih baik, mulai
dari sekarang perlu mengoreksi konsep, strategi, arah, dan praksis
pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar