Sepotong Nafsu
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
08 November 2015
John Emerich Edward
Dalberg-Acton, lebih populer dengan nama Lord Acton. Ia dilahirkan pada tahun
1834 di Naples, Italia, putra pasangan Sir Ferdinand Acton dan Marie Louise
Pelline de Dalberg, dari keluarga bangsawan Jerman. Naples dahulu adalah
sebuah negara berdaulat. Dan, kakek Lord Acton pernah menjadi perdana
menteri.
Setelah ayahnya
meninggal, Acton dibawa ibunya pindah ke Inggris. Di negeri ini, ibunya
menikah lagi dengan seorang politisi liberal, Lord Leveson, yang menjadi
menteri luar negeri di zaman Inggris dipimpin Perdana Menteri William Ewart
Gladstone (1809-1898). Gladstone dikenal sebagai perdana menteri yang
menentang penghapusan perbudakan karena memiliki perkebunan yang
mempekerjakan para budak. Ia juga dikenal menentang reformasi pemilihan
demokratik.
Lord Acton (1834-1902)
dikenal dengan pernyataannya bahwa kekuasaan cenderung korup. Pernyataan yang
kemudian banyak dikutip orang, hingga kini, itu mempunyai sejarah.
Pada tahun 1877,
Mandell Creighton (1843-1901), sejarawan dan uskup London, menerbitkan buku
berjudul A History of the Papacy. Dalam surat pribadinya kepada Creighton,
Acton mengkritik bukunya berkait dengan ”papal infallibility” keadaan tak
dapat berbuat kesalahan atau kekeliruan dari seorang Paus, dengan menulis
demikian, ”...Power tends to corrupt and absolute power corrupts
absolutely...”, orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila
kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin
menjadi-jadi. Kalimat selanjutnya, dalam surat itu berbunyi ”Orang besar
hampir selalu orang yang buruk....”
Jadi sebenarnya,
pernyataan yang sangat terkenal tersebut, ”kekuasaan cenderung korup” musti
dilihat dalam konteks ”papal infallibility”, yang ditentang oleh Acton.
Meskipun, dogma tersebut membutuhkan berbagai syarat untuk bisa dijalankan.
Akan tetapi, seperti
pepatah lama, honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah
pula tingkah lakunya. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah
apabila ia merasa sudah lebih daripada orang lain, menjadi manusia super,
bahkan semidewa; minta dipuja-puja, bahkan minta dikultuskan.
Banyak contoh tentang
hal ini. Sekadar menyebut, Saddam Hussein, yang sering disebut sebagai ”Singa
dari Babilon”, akhirnya tak mampu walau sekadar mengaum. Hosni Mubarak, yang
karena kokoh kekuasaannya, disebut sebagai ”Sphinx Giza”, runtuh juga.
Moammar Khadafy, yang dalam pidatonya di KTT Liga Arab, Maret 2009, dengan
lantang mengatakan, ”Saya seorang pemimpin internasional, pemimpin para
penguasa Arab, raja diraja Afrika...,” akhirnya jatuh juga.
Terlepas dari konteks
pernyataan masyhur Acton, kekuasaan memang sungguh memesona dan sekaligus menakutkan.
Karena memesona, kekuasaan selalu diperebutkan; diperebutkan dengan segala
macam cara, menurut istilah Niccolo Machiavelli. Penguasa selalu berusaha
sekuat tenaga untuk memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan
politiknya.
Dalam rumusan lain,
William Randolph, seorang kolonial asal Inggris penguasa lahan Virginia pada
abad ke-17, mengatakan, ”politikus adalah orang-orang yang akan melakukan apa
pun untuk mempertahankan posisinya, termasuk melakukan hal-hal yang
patriotis.”
Hans Morgenthau dalam
Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, menulis, motif
tindakan politik adalah tiga hal dasar: mempertahankan kekuasaan, menambah
kekuasaan, atau memperlihatkan kekuasaan.
Keinginan Recep Tayyip
Erdogan, misalnya, menjadikan jabatan presiden Turki tidak hanya simbol
(seperti sekarang ini), tetapi juga memiliki kekuasaan de facto, adalah salah
satu contohnya. Dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma
Partisi/AKP), Erdogan yang sekarang presiden Turki ingin mewujudkan mimpinya.
Mimpinya itu hanya bisa terwujud apabila AKP memenangi pemilu, menguasai
parlemen. Dengan menguasai parlemen, mereka bisa mengubah Konstitusi Turki
yang disusun militer setelah kudeta yang dilakukan pada tahun 1980.
Namun, dalam pemilu
awal bulan ini, AKP ”hanya” merebut 317 dari 550 kursi Parlemen. Mereka
memenangi pemilu, tetapi perolehan kursi di Parlemen kurang dari yang
disyaratkan (330 kursi) untuk mereferendum Konstitusi.
Meskipun demikian,
dalam dunia politik selalu ada kemungkinan, ibarat kata selalu ada jalan
keluar meski di dalam ruang besi yang tertutup rapat. Sebab, politik adalah
sebuah seni, seni kemungkinan; tentu dalam hal ini termasuk seni untuk
mewujudkan impiannya itu dengan mencari tambahan kursi, tambahan jabatan, dan
tambahan kekuasaan, karena kekuasaan memesona. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar