Selasa, 10 November 2015

Sepotong Nafsu

Sepotong Nafsu

Trias Kuncahyono  ;  Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 08 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

John Emerich Edward Dalberg-Acton, lebih populer dengan nama Lord Acton. Ia dilahirkan pada tahun 1834 di Naples, Italia, putra pasangan Sir Ferdinand Acton dan Marie Louise Pelline de Dalberg, dari keluarga bangsawan Jerman. Naples dahulu adalah sebuah negara berdaulat. Dan, kakek Lord Acton pernah menjadi perdana menteri.

Setelah ayahnya meninggal, Acton dibawa ibunya pindah ke Inggris. Di negeri ini, ibunya menikah lagi dengan seorang politisi liberal, Lord Leveson, yang menjadi menteri luar negeri di zaman Inggris dipimpin Perdana Menteri William Ewart Gladstone (1809-1898). Gladstone dikenal sebagai perdana menteri yang menentang penghapusan perbudakan karena memiliki perkebunan yang mempekerjakan para budak. Ia juga dikenal menentang reformasi pemilihan demokratik.

Lord Acton (1834-1902) dikenal dengan pernyataannya bahwa kekuasaan cenderung korup. Pernyataan yang kemudian banyak dikutip orang, hingga kini, itu mempunyai sejarah.

Pada tahun 1877, Mandell Creighton (1843-1901), sejarawan dan uskup London, menerbitkan buku berjudul A History of the Papacy. Dalam surat pribadinya kepada Creighton, Acton mengkritik bukunya berkait dengan ”papal infallibility” keadaan tak dapat berbuat kesalahan atau kekeliruan dari seorang Paus, dengan menulis demikian, ”...Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely...”, orang yang memiliki kekuasaan cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, maka kecenderungan akan jahat itu semakin menjadi-jadi. Kalimat selanjutnya, dalam surat itu berbunyi ”Orang besar hampir selalu orang yang buruk....”

Jadi sebenarnya, pernyataan yang sangat terkenal tersebut, ”kekuasaan cenderung korup” musti dilihat dalam konteks ”papal infallibility”, yang ditentang oleh Acton. Meskipun, dogma tersebut membutuhkan berbagai syarat untuk bisa dijalankan.

Akan tetapi, seperti pepatah lama, honores mutant mores, saat manusia mulai berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya. Kejahatan paling buruk seorang pemimpin itu adalah apabila ia merasa sudah lebih daripada orang lain, menjadi manusia super, bahkan semidewa; minta dipuja-puja, bahkan minta dikultuskan.

Banyak contoh tentang hal ini. Sekadar menyebut, Saddam Hussein, yang sering disebut sebagai ”Singa dari Babilon”, akhirnya tak mampu walau sekadar mengaum. Hosni Mubarak, yang karena kokoh kekuasaannya, disebut sebagai ”Sphinx Giza”, runtuh juga. Moammar Khadafy, yang dalam pidatonya di KTT Liga Arab, Maret 2009, dengan lantang mengatakan, ”Saya seorang pemimpin internasional, pemimpin para penguasa Arab, raja diraja Afrika...,” akhirnya jatuh juga.

Terlepas dari konteks pernyataan masyhur Acton, kekuasaan memang sungguh memesona dan sekaligus menakutkan. Karena memesona, kekuasaan selalu diperebutkan; diperebutkan dengan segala macam cara, menurut istilah Niccolo Machiavelli. Penguasa selalu berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan politiknya.

Dalam rumusan lain, William Randolph, seorang kolonial asal Inggris penguasa lahan Virginia pada abad ke-17, mengatakan, ”politikus adalah orang-orang yang akan melakukan apa pun untuk mempertahankan posisinya, termasuk melakukan hal-hal yang patriotis.”

Hans Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, menulis, motif tindakan politik adalah tiga hal dasar: mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, atau memperlihatkan kekuasaan.

Keinginan Recep Tayyip Erdogan, misalnya, menjadikan jabatan presiden Turki tidak hanya simbol (seperti sekarang ini), tetapi juga memiliki kekuasaan de facto, adalah salah satu contohnya. Dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi/AKP), Erdogan yang sekarang presiden Turki ingin mewujudkan mimpinya. Mimpinya itu hanya bisa terwujud apabila AKP memenangi pemilu, menguasai parlemen. Dengan menguasai parlemen, mereka bisa mengubah Konstitusi Turki yang disusun militer setelah kudeta yang dilakukan pada tahun 1980.

Namun, dalam pemilu awal bulan ini, AKP ”hanya” merebut 317 dari 550 kursi Parlemen. Mereka memenangi pemilu, tetapi perolehan kursi di Parlemen kurang dari yang disyaratkan (330 kursi) untuk mereferendum Konstitusi.

Meskipun demikian, dalam dunia politik selalu ada kemungkinan, ibarat kata selalu ada jalan keluar meski di dalam ruang besi yang tertutup rapat. Sebab, politik adalah sebuah seni, seni kemungkinan; tentu dalam hal ini termasuk seni untuk mewujudkan impiannya itu dengan mencari tambahan kursi, tambahan jabatan, dan tambahan kekuasaan, karena kekuasaan memesona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar