Kemarin dan Esok adalah Hari Ini
Bre Redana ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS,
08 November 2015
Bre Redana ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
|
Pada seputar Hari
Sumpah Pemuda akhir Oktober lalu, perbincangan yang berkaitan dengan bahasa
Indonesia terjadi di mana-mana, termasuk di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia. Di situ saya salah satu pembicara. Diskusi berhubungan dengan
kritik sastra, menyangkut peranan media cetak di tengah perkembangan dunia
cyber.
Dalam berbagai
pembicaraan mengenai media cetak dan media cyber, media digital, saya selalu
menegaskan posisi saya bahwa saya bertumbuh dalam tradisi koran, tradisi
buku, tradisi media cetak.
Rezim pemikiran
seperti kami menganggap, milenia yang telah berlalu, yang jejak tapaknya
sebagian masih melingkupi hidup kita, adalah suatu peradaban atau sivilisasi
yang dibentuk oleh tradisi literer. Ini berhubungan dengan proses evolusi
manusia. Memori, kesadaran, consciousness, menjadikan protoself bergerak
meninggalkan proto seangkatannya, menjadi manusia.
Proses evolusi manusia
sebagai makhluk berkesadaran makin dipercepat dengan dilahirkannya buku,
dimulai setahap demi setahap sejak ditemukannya papirus sebagai alat tulis,
ribuan tahun sebelum Masehi. Memori dan nalar atau reasoning itulah yang
membuka jalan bagi versi lanjut kesadaran, yang kemudian melahirkan
kebudayaan dan sivilisasi.
Media cetak seperti
buku, koran, dan majalah, telah menjadikan bahasa bukan saja sebagai sarana
komunikasi, melainkan juga sesuatu yang berhubungan dengan ekspresi, kognisi,
dan imajinasi. Dari situlah otak, mind, menunjukkan bukti superioritasnya,
yang mewujud antara lain dengan lahirnya teknologi, industri, yang merekahkan
modernisme.
Kini kita masuk zaman
digital. Semua aspek yang tak dicapai oleh perkembangan manusia pada milenia
sebelum ini, obsesi mengenai kecepatan, kebergegasan, kesegeraan,
kepraktisan, kesadaran baru mengenai ruang dan waktu, berhasil dipecahkan
oleh teknologi digital.
Bersamaan dengan itu,
sivilisasi yang terbangun oleh proses literer sebelumnya dirongrong oleh
kesadaran baru manusia mengenai apa yang mereka hendak pahami sebagai
kenyataan, reality, kasunyatan. Banyak aspek kesadaran manusia terkorup oleh
kesadaran baru dari kebudayaan visual dunia digital.
Semuanya: politik,
ekonomi, sosial, agama, rumah tangga, asmara, dan lain-lain. Tak
terbayangkan, kalau bercinta pun harus efisien dan cepat. Bahasa mengalami
epidemi yang terus meluas. Anda akan sulit berkomunikasi kalau tidak paham
istilah LOL, XOXO, FYI, ciyus, dan seterusnya.
Ada yang terputus dari
perkembangan ini. Bukan saja antara sesuatu yang real atau nyata dengan yang
hyper-real alias melampaui kenyataan, tetapi juga antara otak dan tubuh,
antara mind dan body.
Dulu kami menulis
dengan mesin tik. Di situ diperlukan pembelajaran tubuh, tepatnya
pembelajaran jari: huruf a, q, z pada mesin tik, misalnya, dipencet dengan
kelingking kiri. H, y, n, dengan telunjuk tangan kanan, dan seterusnya.
Begitulah praktik mengetik 10 jari. Terjadi proses penyelarasan pikiran
dengan jari sebelum memori beralih ke tubuh sampai kemudian kami mengetik
tanpa perlu memikirkan jari lagi. Memori otak telah melekat pada memori
tubuh.
Krida memori seperti
itu kini tak diperlukan, kecuali Anda berlatih olah kanuragan. Memori
artifisial dunia digital mengambil alihnya. Lebih praktis, lebih mudah,
istilahnya user friendly, lebih cepat, termasuk mungkin lebih cepat hidup,
buru-buru ke akhirat.
Sejatinya, asas
kecepatan bukanlah segala-galanya. Koran, yang dalam proses produksinya tak
memungkinkannya terbit setiap menit, setiap detik, melainkan setiap hari,
jelas memberitakan kejadian kemarin.
Adakah yang kemarin
masih relevan kalau media digital mampu memperbarui informasi setiap detik?
Ya, ya, jawabannya
tergantung bagaimana kita mengartikan sesuatu yang penting, utama, dan
substansial bagi hidup kita. Yang kemarin pun, berkemungkinan lebih aktual,
lebih bermakna, dibandingkan kicauan yang berkembang setiap detik.
Mengutip penyair
Rendra: kemarin dan esok adalah hari
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar