Selasa, 10 November 2015

Kemarin dan Esok adalah Hari Ini

Kemarin dan Esok adalah Hari Ini

Bre Redana  ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
            KOMPAS, 08 November 2015


                                                                       
Pada seputar Hari Sumpah Pemuda akhir Oktober lalu, perbincangan yang berkaitan dengan bahasa Indonesia terjadi di mana-mana, termasuk di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Di situ saya salah satu pembicara. Diskusi berhubungan dengan kritik sastra, menyangkut peranan media cetak di tengah perkembangan dunia cyber.

Dalam berbagai pembicaraan mengenai media cetak dan media cyber, media digital, saya selalu menegaskan posisi saya bahwa saya bertumbuh dalam tradisi koran, tradisi buku, tradisi media cetak.

Rezim pemikiran seperti kami menganggap, milenia yang telah berlalu, yang jejak tapaknya sebagian masih melingkupi hidup kita, adalah suatu peradaban atau sivilisasi yang dibentuk oleh tradisi literer. Ini berhubungan dengan proses evolusi manusia. Memori, kesadaran, consciousness, menjadikan protoself bergerak meninggalkan proto seangkatannya, menjadi manusia.

Proses evolusi manusia sebagai makhluk berkesadaran makin dipercepat dengan dilahirkannya buku, dimulai setahap demi setahap sejak ditemukannya papirus sebagai alat tulis, ribuan tahun sebelum Masehi. Memori dan nalar atau reasoning itulah yang membuka jalan bagi versi lanjut kesadaran, yang kemudian melahirkan kebudayaan dan sivilisasi.

Media cetak seperti buku, koran, dan majalah, telah menjadikan bahasa bukan saja sebagai sarana komunikasi, melainkan juga sesuatu yang berhubungan dengan ekspresi, kognisi, dan imajinasi. Dari situlah otak, mind, menunjukkan bukti superioritasnya, yang mewujud antara lain dengan lahirnya teknologi, industri, yang merekahkan modernisme.

Kini kita masuk zaman digital. Semua aspek yang tak dicapai oleh perkembangan manusia pada milenia sebelum ini, obsesi mengenai kecepatan, kebergegasan, kesegeraan, kepraktisan, kesadaran baru mengenai ruang dan waktu, berhasil dipecahkan oleh teknologi digital.

Bersamaan dengan itu, sivilisasi yang terbangun oleh proses literer sebelumnya dirongrong oleh kesadaran baru manusia mengenai apa yang mereka hendak pahami sebagai kenyataan, reality, kasunyatan. Banyak aspek kesadaran manusia terkorup oleh kesadaran baru dari kebudayaan visual dunia digital.

Semuanya: politik, ekonomi, sosial, agama, rumah tangga, asmara, dan lain-lain. Tak terbayangkan, kalau bercinta pun harus efisien dan cepat. Bahasa mengalami epidemi yang terus meluas. Anda akan sulit berkomunikasi kalau tidak paham istilah LOL, XOXO, FYI, ciyus, dan seterusnya.

Ada yang terputus dari perkembangan ini. Bukan saja antara sesuatu yang real atau nyata dengan yang hyper-real alias melampaui kenyataan, tetapi juga antara otak dan tubuh, antara mind dan body.

Dulu kami menulis dengan mesin tik. Di situ diperlukan pembelajaran tubuh, tepatnya pembelajaran jari: huruf a, q, z pada mesin tik, misalnya, dipencet dengan kelingking kiri. H, y, n, dengan telunjuk tangan kanan, dan seterusnya. Begitulah praktik mengetik 10 jari. Terjadi proses penyelarasan pikiran dengan jari sebelum memori beralih ke tubuh sampai kemudian kami mengetik tanpa perlu memikirkan jari lagi. Memori otak telah melekat pada memori tubuh.

Krida memori seperti itu kini tak diperlukan, kecuali Anda berlatih olah kanuragan. Memori artifisial dunia digital mengambil alihnya. Lebih praktis, lebih mudah, istilahnya user friendly, lebih cepat, termasuk mungkin lebih cepat hidup, buru-buru ke akhirat.

Sejatinya, asas kecepatan bukanlah segala-galanya. Koran, yang dalam proses produksinya tak memungkinkannya terbit setiap menit, setiap detik, melainkan setiap hari, jelas memberitakan kejadian kemarin.

Adakah yang kemarin masih relevan kalau media digital mampu memperbarui informasi setiap detik?

Ya, ya, jawabannya tergantung bagaimana kita mengartikan sesuatu yang penting, utama, dan substansial bagi hidup kita. Yang kemarin pun, berkemungkinan lebih aktual, lebih bermakna, dibandingkan kicauan yang berkembang setiap detik.

Mengutip penyair Rendra: kemarin dan esok adalah hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar