I Wish
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
08 November 2015
Setelah beberapa kali
menyaksikan serial televisi Scandal, baru belakangan ini timbul pertanyaan.
Apakah setiap manusia itu berhak jatuh cinta kepada siapa pun? Termasuk jatuh
cinta kepada pasangan orang lain yang sudah menikah?
Bubur ayam
Jatuh cinta yang saya
maksud bukan sekadar 'cinta monyet', tetapi benar-benar jatuh cinta. Artinya
menjalani hari-hari penuh asmara, dan di dalam serial televisi di atas, si
pria yang adalah Presiden Amerika Serikat memutuskan untuk menceraikan
istrinya.
Saya bahkan sama
sekali tak terusik ketika Olivia Pope sebagai pemeran utama menjelaskan kisah
asmaranya di layar televisi sebagai sebuah pertanggungjawaban hubungan
asmaranya yang tadinya gelap, dan yang sekarang menjadi terang benderang.
"I wish we'd never met. But we did. And I tried. I tried
and failed again to hide. To stop loving him. I was weak. I hated myself. And
when our affair was exposed, I had to follow my own advice and stand in my
truth."
Waktu mendengar
penjelasannya itu mulailah otak saya terpancing mengajukan berjuta-juta
pertanyaan seputar cinta. Saya sampai mengirimkan pesan kepada teman-teman
saya yang juga menyukai serial itu. Sayangnya, jawaban mereka tak bisa saya
tuliskan di sini.
I wish we'd never met. But we did. Apakah kalimat ini mengukuhkan
bahwa benarlah kalau cinta itu tak bisa diatur datangnya dan tak bisa diatur
kepada siapa kita akan jatuh cinta? Seandainya sebuah kata yang menjelaskan
ketidakmampuan manusia memprediksi akibat dari sebuah kejadian. Seandainya
hanya lahir ketika nasi telah menjadi bubur.
Tetapi, mengapa
penyesalan tetap terus dilakukan? Karena nasi sudah menjadi bubur. Tambahkan
saja ke dalamnya potongan ayam, kecap asin sedikit, telur setengah matang,
daun bawang, maka yang tadinya disesali telah menjadi bubur, kemudian
berakhir dengan menjadi bubur ayam yang enak.
And I tried and failed to stop loving him. Bagaimana orang
setangguh Olivia Pope ambruk juga karena cinta? Sesungguhnya saya mengerti
waktu ia mengatakan itu. Saya pernah melakukan sebuah hubungan gelap. Saya
telah mencoba dan mencoba dan gagal untuk berhenti mencintainya. Bahkan
sampai hari ini, ketika di dalam kepala saya tak bisa menepis yang saya
cintai itu. Teman-teman saya mengatai saya bodoh.
Maju atau mundur
Apakah menjadi bodoh,
menjadi tak berdaya, adalah sebuah kesalahan? Kalau itu dianggap salah,
siapakah yang salah? Manusianya sebagai pelaku cinta, atau cinta yang memberi
efek melemahkan dan membuat bodoh seseorang?
Orang hanya
menudingkan jarinya pada perselingkuhan. Orang tak mau dan bukan tak bisa
mengerti, bahwa ada manusia yang jatuh cinta bukan sekadar sebagai sebuah
permainan, tetapi akibat dari efek yang ditimbulkan cinta. Itu mengapa
sekarang saya mengerti kalau Olivia mengatakan: "I wish we'd never met."
Karena seandainya ia
tahu bahwa cinta itu seperti ini, ia tak akan melakukannya karena akan
melukai semua orang. Tetapi, apa dayanya seorang Oliva menghadapi kekuatan
efek dari cinta? Ia tak berdaya. Saya tak tahu kalau Anda. Saya juga tak tahu
apakah kalau perkawinan sudah berlangsung sekian tahun, Anda bisa dianggap
telah kuat dan hidup dalam kebenaran cinta?
Saya juga tak tahu
apakah kekuatan yang Anda miliki sesungguhnya karena ada obat kuat dalam
bentuk keberadaan seseorang di luar pasangan resmi yang Anda miliki, yang
mampu memberi energi dalam menjalani perkawinan yang naik dan turun.
I was weak and I hated myself. Ucapan itu buat saya, selain sebuah
pengakuan diri, juga bentuk nyata dari kebiasaan menganggap efek cinta selalu
benar. Yang dianggap tidak benar itu adalah manusianya yang lemah, sehingga
kebiasaan menganggap efek cinta itu benar, telah berakibat membuat seseorang
membenci dirinya sendiri.
Padahal, bukankah
manusia itu sendiri tahu bahwa mereka adalah makhluk yang juga lemah, bahkan
ketika tidak sedang jatuh cinta. Menjadi sakit, menjadi koruptor, menjadi
playboy, suka marah dan memaki, bukankah itu juga sebuah kelemahan?
Jadi mungkin, hanya
mungkin, kelemahan manusia itu tidak boleh dimintai pertanggungjawaban.
Sungguh tidak bermoral kalau kita meminta pertanggungjawaban itu. Meski itu
adalah inti permasalahannya. Lebih bermoral kalau kita menuduh orang menjadi
lemah dan membuat mereka merasa bersalah.
And when our affair was exposed, I had to follow my own advice
and stand in my truth. Apakah kebenaran dalam cerita asmara Olivia dan Sang Presiden?
Mereka jatuh cinta. Itu kenyataannya. Saya tak sedang mengaminkan
perselingkuhan dengan tulisan ini. Sejujurnya tulisan adalah sebuah
pertanyaan dan pergumulan panjang. Bahkan di pengujung tulisan ini saya masih
ingin bertanya kepada Anda dan diri saya sendiri.
Apakah saya dan Anda,
baik yang lajang maupun sudah menikah sekian tahun, bisa mengatakan kalau
saya sudah I stand in my truth? Apakah kebenaran yang sesungguhnya itu
menakutkan sehingga sebaiknya mundur saja, ataukah ungkapan the truth set you
free itu seharusnya dilakoni meski akan ada banyak tangan yang menuding,
sehingga maju tak gentar menjadi pilihan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar